Kekerasan Seksual pada Anak, Perilaku Otak Hewan Ternak dan Branding Iron
Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Those who do not remenber the past are condemned to repeat it.
Mereka yang tidak mengingat masa lalu
dapat dipastikan akan melakukannya kembali.
(George Santayana, Filsuf Spanyol, 1863 – 1952)
Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 70 tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak, bahwa yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak adalah pelaku tindak pidana persetubuhan kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual, memaksa, melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Data di bawah ini menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan kejadian kekerasan seksual pada anak, data kami ambil dari situs KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).
Tabel 1. Jumlah Kekerasan Seksual pada anak (2016 – 2020)
Jenis kekerasan Seksual pada anak | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 |
Anak sebagai korban kekerasan seksual (Pemerkosaan/Pencabulan) | 192 | 188 | 182 | 190 | 419 |
Anak Sebagai Korban Prostitusi Anak | 112 | 104 | 93 | 64 | 29 |
Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA) | 69 | 89 | 80 | 71 | 23 |
Sumber : Situs laman KPAI (https://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-pengaduan-anak-2016-2020)
Jai Hwa Cat (Pendekar Pemetik Bunga), dalam cerita silat karangan Kho Ping Ho alias Asmarawan, adalah pendekar atau jago silat yang mata keranjang (baca ke ranjang), suka menculik gadis-gadis muda (bukan anak-anak) lalu diperkosa. Dengan demikian, perilaku Pelaku Kekerasan Seksual Anak lebih bejat daripada perilaku bejat Jai Hwa Cat.
Manusia menurut Al-Qur’an adalah ciptaan Allah yang diberi tugas untuk menjadi khalifah (QS Al-Baqarah [2] : 30) di atas Bumi. Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan ini, manusia tidak dibedakan menurut latar belakang kesukuan maupun jenis kelamin, semua setara di hadapan Allah dan diberi kebebasan untuk berpikir, berkehendak dan bertindak. Namun agar fungsi kekhalifahan ini berjalan sesuai dengan yang dikehendaki Allah, maka Allah memberikan rambu-rambu petunjuk, yang dalam kisah tentang proses penciptaan Adam disebut dengan istilah “kalimat” (QS Al-Baqarah [2] : 37). “Kalimat” ini, meminjam istilah Nurcholis Madjid (2007), berfungsi sebagai “spiritual safety net” (jaring pengaman spiritual), yang akan selalu menjadi pembimbing atas kebebasan yang diberikan Allah. Kalau demikian, maka istilah “kalimat” tidak lain agama.
Cara Nabi Muhammad Memperlakukan Orang-Orang Berdosa
Al-Qur’an bagi kaum Muslimin adalah verbum dei (kalamu-Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu meletakkan dasar untuk kehidupan individual dan sosial kaum Muslimin dalam segala aspeknya. Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap Muslim (Amal, 2019).
Menurut Nasution (2001), Islam di Indonesia pada umumnya dikenal hanya dari aspek teologi, dan itu hanya dari aliran tradisionalnya dari aspek hukum, yaitu menurut mazhab Syafi’i dan dari aspek ibadah. Aspek-aspek lainnya, moral, mistisisme, falsafah, sejarah dan kebudayaan serta aliran-aliran dan mazhab-mazhab lainnya kurang dikenal. Oleh karena itu pengetahuan kita di Indonesia tentang Islam tidak sempurna. Dengan kata lain hakikat Islam tidak begitu dikenal. Ini menimbulkan kesalahpahaman tentang Islam. Jadi Islam, berlainan dengan apa yang umum diketahui, bukan hanya mempunyai satu-dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek. Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek mistisisme, aspek falsafah, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan lain sebagainya.
Selanjutnya Islam berpendapat bahwa hidup manusia di dunia ini tidak bisa terlepas dari hidup manusia di akhirat, bahkan lebih dari itu corak hidup manusia di dunia ini menentukan corak hidupnya di akhirat kelak. Kebahagiaan di akhirat bergantung pada hidup baik di dunia. Hidup baik menghendaki masyarakat manusia yang teratur. Oleh sebab itu Islam mengandung peraturan-peraturan tentang kehidupan masyarakat manusia.
Demikianlah terdapat peraturan-peraturan mengenai hidup kekeluargaan (perkawinan, perceraian, waris dan lain-lain), tentang hidup ekonomi dalam bentuk jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan lain-lain, tentang hidup kenegaraan, tentang kejahatan (pidana), tentang hubungan Islam dan bukan Islam, tentang hubungan orang kaya dengan orang miskin dan sebagainya. Semua ini dibahas dalam lapangan hukum Islam yang dalam istilah Islamnya disebut ilmu fikih. Fikih memberikan gambaran tentang aspek hukum dari Islam.
Nabi diberi tugas untuk bertanggung jawab menerima, mengartikan dan menyampaikan wahyu Allah. Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS Al-Ahzab [33]: 21).
Rasulullah mengajarkan pada kita moralitas yang masuk akal dan perilaku luhur lewat contoh-contoh pribadi beliau, mengikuti tradisi Rasul dan Nabi sebelum beliau.
Menurut Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam bukunya “Cara Nabi Muhammad Saw. Memperlakukan Orang di Berbagai Level Sosial” (2017), antara lain berisi cara Nabi Muhammad memperlakukan orang-orang yang berdosa. Dalam hadist tentang Abu Umamah, ketika ia menceritakan seorang pemuda datang kepada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”. Nabi bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?. Pemuda itu menjawab: “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah!”. Beliau bersabda: “Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai”. Lanjut Nabi bertanya: “Relakah engkau jika puterimu, saudari kandungmu, bibi – dari jalur bapakmu, bibi – dari jalur ibumu – dizinai?”.
Semuanya dijawab: “Tidak”. Lalu Rasulullah meletakkan tangannya di dada (selama berabad-abad orang merasa yakin bahwa pusat perilaku bukanlah otak, jantung [atau hati] paling sering dikatakan mekanisme utama kegiatan manusia) pemuda itu sambil bersabda: “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikan hatinya, dan jagalah kemaluannya”. Setelah kejadian itu, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina. Dengan demikian, meyakinkan pendosa dengan menggunakan pembuktian-pembuktian logis, yang disertai rasa takut terhadap hukuman Allah, bisa menjadi sebuah penghalang yang kuat antara dia dan perbuatan dosa.
Nabi sangat berhati-hati dalam mengimplementasikan hukuman “Hudud” dari Allah. Hudud adalah hukuman-hukuman tertentu yang diwajibkan atas orang yang melanggar larangan-larangan tertentu, seperti berzina, menuduh berzina, minum minuman keras, mencuri, merampok. Ketika seorang wanita dari suku Ghamid datang kepada beliau dan berkata: Wahai Rasulullah, bersihkanlah aku”. Beliau menjawab: “Celaka kamu! Kembalilah, mohonlah ampun kepada Allah, dan bertaubatlah kepada-Nya dengan taubat yang sesungguhnya”. Wanita tadi mengaku bahwa dirinya telah hamil akibat berbuat zina dan mendesak Nabi agar dirinya segera dihukum. Nabi bersabda: “Tidak, sampai engkau melahirkan yang ada di dalam kandunganmu”.
Salah satu dari kaum Anshar bersedia mengambil tanggung jawab merawat dia hingga ia melahirkan anak. Orang Anshar itu datang kepada Nabi dan memberitahu bahwa wanita itu sudah melahirkan. Nabi bersabda: “Dalam kasus ini kita tidak akan merajam dia dengan batu dengan membiarkan bayinya tanpa ada yang menyusui”. Salah satu dari orang Anshar berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, tanggung jawab mengasuh anak itu akan ada padaku”. Maka wanita itu pun dirajam sampai mati. Lalu beliau memerintahkan wanita itu diangkat, dan beliau menyalatinya, dan mereka pun memakamkannya.
Apabila Nabi menghukum seseorang karena suatu kejahatan, maka beliau tidak menyalahkan orang itu dan melarang orang lain mengutuki dia. Nabi pun melarang mendoakan yang buruk terhadap pendosa. Namun Nabi kadang menghukum seorang pendosa dengan tidak mendoakannya agar orang lain tidak melakukan dosa serupa. Beliau tulus dan seimbang dalam cinta dan kasih sayangnya, karena beliau adalah seorang Nabi yang diasuh oleh Allah, Pencipta dan Penyedia semua makhluk, untuk membimbing dan memberi kabar gembira buat makhluk-makhluk yang memiliki kesadaran.
Beliau mengajarkan umatnya bahwa setiap pribadi bertanggung jawab untuk keselamatannya sendiri dan bahwa setiap orang, laki-laki maupun perempuan, dapat langsung mendekati Allah tanpa perantara apa pun entah itu Nabi, orang suci maupun imam. Nabi mendorong kita untuk merespons pesan Allah, dan menerima anugerah dan penyelamatan-Nya lewat iman, amal saleh dan mengarah pada kehidupan moral dan etik yang bertanggung jawab. Singkat cerita, jika menggunakan bahasa zaman now, Nabi mengajak kepada para follower-nya agar senantiasa melakukan 5 M, yaitu: 1) Menyembah hanya kepada Allah Swt semata; 2) Menggunakan akal-budi; 3) Menjauhi perbuatan dosa; 4) Melakukan amal saleh; dan ke 5) Mohon selalu ampunan dan rahmat Allah Swt. Maka, Nabi melakukan strategi 3 T, yaitu: Tuntunan, Tontonan dan Tatanan.
Perilaku Otak Hewan dan Branding Iron
Makhluk yang pertama kali melakukan hubungan seks seperti manusia sekarang ini ialah buaya. Binatang ini merupakan satu-satunya jenis yang memiliki penis. Sebelum itu, kehidupan seks makhluk hidup lebih bersifat sederhana. Penis mempunyai dua arti; yang pertama berarti suatu organ pada laki-laki atau binatang jantan yang jelas dapat dilihat. Kedua, penis berarti organ yang dapat dimasukkan ke dalam tubuh lawan jenis ketika mengadakan hubungan seks. Organ seks laki-laki mengalami perubahan dan evolusi ini terus berlangsung sampai akhirnya mencapai kesempurnaan dalam bentuk dan fungsinya, yang kemudian fungsinya juga bertambah menjadi alat pembangkit gairah seks pada perempuan. Bentuknyapun sudah sangat sesuai dengan bentuk vagina, labia atau bagian luar kelamin perempuan dan klitoris. Akibat perubahan ini manusia mengenal kenikmatan yang disebabkan hubungan kelamin oleh dua jenis alat kelamin yang berlainan. Demikianlah keadaan itu berlangsung sampai 50.000 tahun (Reuben, 1982).
Menurut Endraswara (2005), hewan buaya juga digunakan sebagai metafora pria yang mengintip gadis yang sedang mandi dan kemudian terjadi persetubuhan, digambarkan dalam tembang Sinom, penulis Babad Demak, bait ke-6 dan ke-7 serta bait ke-13 – bait ke–15 (pupuh VI) sebagai berikut:
Baya pan wus karseng sukma, bajul brangta lan jalmestri, wau ta dyah kang asiram, dangu denya kungkum warih, tan na tinaha galih, karenan neng jroning ranu, siram tanpa pasatan, srira sedaya keksi, pan gumawang maya-maya katingalan.
Bajul seta dangu ngekswa, mring mewantah kang dus warih, kagiwang ing tyas kasmaran, nedya ngrasuk lan sang Dewi, sakedhap malih warni, sifat jalma anom bagus, ….
Kalih duk campuh paningal, lir kilat barung lan tathit, tyas rempu tanpa jamuga, sang kakung tan draneng galih, tandya mreeki ririh, sang Retna alon sinambut, pinondhong akangihan, pan sarwi dipunarasi, sang Dyah lejang dibekta manjing papreman.
Kakung dhatengaken karsa, kyat sura mangesthi lungit, Dyah sumarah datan lawan, sru kagyat kepraneng lungit, katemben sang lir suji, pinaresmen ing tilam rum, labet Dyah wus diwasa, brangta mring kakung kayektin, ing asmara penuh limut tengah lena.
Dumugi nggen pulang raras, kakung putri sihnya sami, tan winarna ing resminya, sang Dyah kadya nendra ngimpi, sasolahireng resmi, sampunnya wudhar pulang yun, wau ta sang kusuma, tumrun saking jinem wangi, pura sirna katingal malih bengawan.
Sudah menjadi suratan takdir, buaya jatuh cinta kepada seorang perempuan, yaitu seorang gadis yang sedang mandi, lama gadis itu mandi di air, tidak ada prasangka di hati, kelihatan sangat senang di dalam air telaga, mandi tanpa busana, seluruh tubuhnya kelihatan, tampak bayangan samar-samar bagi yang memandang.
Buaya putih lama memandangnya, terhadap seorang gadis yang sedang mandi di air, terlintas di hatinya perasaan asmara, berkeinginan untuk menggauli sang Dewi, sebentar saja sudah berubah wujud, menjadi seorang pemuda yang tampan …..
Ketika keduanya beradu pandang, seperti kilat yang bersahutan dengan petir, hatinya remuk tanpa terkira, yang laki-laki tidak sabar hatinya, dengan perlahan-lahan mendekatinya, sang Gadis dengan perlahan disambut dan dipondong serta diciumi, sang Gadis kemudian dibawa ke atas tempat tidur.
Yang laki-laki mulai berinisiatif, dengan kuat berkeinginan untuk bersetubuh, sang Gadis menyerah tidak melawan, keras dan terkejut ketika sudah bersanggama, bersatu seperti disunduk (ditusuk), disetubuhi di tempat yang harum, sepertinya sang Gadis sudah dewasa jatuh cinta kepada sang laki-laki, di dalam permainan asmara yang melenakan.
Sesampainya mereka merasa puas, laki-laki perempuan rasa cintanya sama, tidak dapat diungkapkan tentang persetubuhannya, setelah selesai sang gadis hendak pulang, kemudian turun dari pelukan laki-laki yang wangi, lantas hilang dan terlihat lagi bengawan.
Mengapa adegan atau peristiwa tersebut di atas dapat terjadi? Sebab, laki-laki diciptakan Tuhan sebagai makhluk visual (melihat, memandang). Maka tidak mengherankan muncul guyonan, laki-laki umur 20-an bayangan hidup, membayangkan saja anu-nya sudah hidup. Ketika umur 30-an, pandangan hidup, memandang saja langsung hidup . Umur 40-an pegangan hidup, jika dipegang baru mau hidup. Umur 50-an perjuangan hidup, harus berjuang dulu baru hidup. Umur 60-an riwayat hidup !
Sedangkan perempuan adalah makhluk tactiel (perabaan, diraba, dielus, diciumi), maka muncul guyonan, perempuan itu supel alias suka dipeluk dan seksi, jika digesek langsung bereaksi. Mana tahan ! Selanjutnya, perempuan itu seperti dunia, ketika umur 20-an seperti Afrika, setengah dijelajahi. Umur 30-an seperti India, hangat, alami dan misterius. Ketika umur 40-an seperti Amerika, teknik sempurna. Umur 50-an seperti Eropa, tinggal puing-puing belaka. Saat umur 60-an seperti Siberia, semua orang tahu di mana letaknya, namun tidak seorangpun ingin pergi ke sana !
Hubungan seks itu baru direstui Tuhan, bahkan bernilai ibadah dan dihargai serta diterima masyarakat, jika dilakukan dalam ikatan perkawinan yang syah. Dengan demikian, CINTA menjadi Cerita Indah Nan Terasa Abadi, sampai kaken-ninen. Bukan sekedar CINTA, yaitu Cerita Indah Namun Tiada Arti !
Menurut Reuben (1982), seandainya penis dan vagina tidak berhubungan dengan otak, persetubuhan akan merupakan hubungan mekanis, spontan yang tidak menarik, tetapi mungkin sangat efisien. Satu-satunya yang menyebabkan hubungan seksual sebagai hubungan yang membahagiakan ialah otak. Tetapi sebaliknya otak pun dapat menjadi sumber ketidakpuasan hubungan ini.
Menurut Endraswara (2005), dalam falsafah seksual Jawa, di antara pegangan hidup yang memuat budi pekerti luhur Jawa adalah bathok bolu isi madu. Bathok artinya tempurung kelapa, bolu berasal dari bo (bolongan) lu (telu), yaitu tempurung berlubang tiga. Tempurung tersebut berisi madu, yaitu sesuatu yang manis rasanya, yang berguna bagi hidup. Lubang tiga ini, di samping melukiskan tiga peristiwa hidup yaitu lahir, hidup dan mati, juga melukiskan hubungan seks yang mengenal proses purwa-madya-wusana. Yakni, hubungan seks yang baik mengenal awal, permainan, dan relaksasi. Upaya yang dilakukan sampai harus menemukan madu di dalam tempurung agar dapat dijadikan bekal bertemu Tuhan. Modal dasar mendapatkan madu tersebut, antara lain pelaku seks harus bertindak yang berpedoman pada budi pekerti luhur. Dengan cara demikian, akan mengetahui “dununge lair, urip lan pati” , sekaligus di dalamnya ada awal-tengah-akhir permainan seksual.
Bathok, juga melukiskan uteg (otak) yang menggerakkan hidup manusia, termasuk seks. Dalam uteg, terdapat rahsa, sukma dan budi. Ketiga unsur ini disebut trigatra. Rahsa, yaitu batin yang melindungi kenikmatan apa saja yang dilukiskan sebagai batas samudera tanpa batas, untuk menjelaskan bahwa luas rasa itu tak ada batasnya. Sukma yang ada di otak, tak bisa disimak dengan menggunakan mata biasa. Orang Jawa menggambarkan jika ingin melihat sukma seperti ungkapan golek galihing kangkung, sukma itu ada tapi tak jelas adanya. Budi yang ada di dalam otak, bertugas mengendalikan daya cipta manusia, termasuk kreativitas dalam permainan seks. Seks pun membutuhkan budi yang berkembang, agar mampu menciptakan teknik-teknik mencapai kenikmatan. Melalui budi, manusia bisa muncul aneka keinginan. Budi pula yang menuntun manusia bertindak luhur dalam seks, tak semaunya sendiri.
Bathok bolu sebagai simbol daya seks memuat tiga hal yang disebut tripurba, yaitu : 1) Bathok bolu sanggalabrana, yaitu tingkah laku manusia yang mau mengasah uteg. Jika uteg sering diasah, dengan cara mengasah mingising budi, akan semakin tajam dan bersih. Uteg akan semakin beertambah manis seperti madu. Untuk mengasah budi sebagai grenda (wungkal) adalah laku batin. Jadi, laku batin akan memupuk budi luhur, sehingga hubungan seks menjadi beradab dan nalar, bukan naluriah semata; 2) Bathok bolu rungbinangun, artinya orang yang bisa menjaga kesucian otak. Otak akan dijaga sebaik-baiknya dengan tak melakukan perbuatan hina dalam seks. Perbuatan seks yang di luar batas kewajaran, dianggap akan mengotori otak; dan 3) Bathok bolu dhentapalindriya, artinya gambaran otak yang penuh pertimbangan (wicaksana). Orang yang mampu melakukan hubungan seks dengan pertimbangan nalar, jauh lebih baik dibanding yang sekedar ujas-ujus, semaunya sendiri.
Dalam hidup ini selalu ada akibat dari perbuatan. Bila yang kita lakukan adalah perbuatan baik, maka akibatnya akan baik. Demikian juga bila yang kita lakukan adalah perbuatan jelek, maka akibatnya akan jelek. Akibat baik dan jelek dari segala perbuatan dan kebebasan justru terjadi ketika kita boleh memilih dua akibat itu. Mau akibat mana yang Anda pilih? Dan Tuhan pun mengingatkan manusia, jika kamu beruntung karena rahmat-Ku. Sebaliknya, bila kamu celaka karena ulahmu ! (QS An-Nisa [4] : 79).
Menurut Aswin (1995), manusia bukan sekedar superior animal, tetapi ia diciptakan sebagai makhluk yang unik. Kemampuan adaptasi yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya, kemampuan manipulatif tangan-tangannya yang mengagumkan dan kemampuan berkomunikasi dengan bahasa. Lebih dari itu, menurut Jacob (1975), apa yang merupakan ciri khas manusia ialah kemampuannya berpikir dengan otaknya. Dengan ciri khas otak yang dimilikinya, manusia menamakan dirinya Homo Sapiens, yang secara optimistis berarti Manusia, Si Bijak.
Otak dan perilaku saling terkait, kedua-duanya sangat kompleks, dan secara evolusioner kedua-duanya berjalan bersama-sama. Setiap perilaku, baik pikiran, perasaan, ataupun tindakan manusia berawal di dalam otak. Otak merupakan sumber fisik perilaku dan bertindak sebagai pusat komando pengendalian perilaku.
Menurut ahli biologi evolusi Paul Mc.Lean (1974 dalam Pasiak, 2007) membagi otak menurut perkembangan evolusinya, membagi hierarki otak menjadi tiga dalam satu otak yang secara singkat disebut “Triune Brain”, yaitu : 1) Otak Reptil, yang mula-mula muncul, otak ini terutama berfungsi mendukung kegiatan vegetatif tubuh manusia seperti bernapas, pengaliran darah; 2) Otak Paleomamalia (paleo = kuno, tua), muncul di atas Otak Reptil, selain ditemukan pada manusia, juga ditemukan pada hampir semua binatang. Kedua otak ini, otak reptil dan otak paleomamalia membentuk sistem limbik yang bertanggungjawab pengaturan emosi yang responsnya, hadapi (fight) atau lari (flight).
Sistem limbik yang merupakan pusat pengaturan emosi yang sebagian isinya adalah informasi bawah sadar dan terbentuk selama jutaan tahun evolusi kehidupan manusia. Sifat sistem ini berciri : reaktif, cepat tanggap, dan tanpa berpikir; dan 3) Otak Neomamalia (neo = baru), merupakan lapisan otak yang paling akhir muncul. Lapisan paling atas ini bertanggungjawab untuk kegiatan berpikir tingkat tinggi (high order thingking) antara lain persepsi dan bahasa. Lapisan ini hanya ada pada mamalia tertentu dan paling lengkap pada otak manusia. Perkembangan bagian otak “modern” ini menyebabkan manusia tidak sekedar “binatang super” yang lebih unggul daripada makhluk-makhluk hidup lainnya, tetapi lebih dari itu, ia adalah unik.
Hukum otak gunakan atau hilang, use it or loose it. Menurut Pasiak (2007), keunggulan manusia sudah jelas tergantung pada perkembangan otaknya. Fungsi otak memang menjadi ukuran keberadaan otak itu. Yang dinilai bukan ada tidaknya otak, sejauh mana otak dapat berfungsi. Karena otak yang difungsikan secara maksimal akan membawa pencerahan pada manusia. Mula-mula otak rasional yang dipakai (panca indera berperan penting). Bila buntu, tugas akan diambil oleh otak intuitif (pada Archimedes melalui fenomena Eureka). Jika kedua otak ini masih gagal, maka Tuhan akan bermurah hati memberi informasi yang akurat melalui otak spiritual.
“Kebenaran itu berasal dari Tuhanmu. sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS Al-Baqarah [2] : 147). Maka, selanjutnya Tuhan memberi petunjuk : “Gunakanlah kalbumu (otak depan, bukan hati) untuk memahami ayat-ayat Allah. Gunakan matamu (otak belakang) untuk melihat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Gunakanlah telingamu (otak samping) untuk mendengar petunjuk-petunjuk Allah. Jika lalai, akibatnya perilaku manusia seperti binatang ternak, bahkan bisa lebih sesat lagi, sehingga mudah digiring ke Neraka Jahanam tinggal bersama jin yang juga tidak memakai otak !” (QS Al-A’raf [7] : 179).
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan tuhannya hawa nafsunya. Maka apakah engkau dapat menjadi wakil atasnya?. Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memahami? Mereka tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya” (QS Al-Furqan [25]: 43 – 44). Menurut Shihab (2012) kata hawa adalah kecenderungan hati (emosi atau perasaan) kepada dorongan syahwat tanpa kendali akal. Menjadikan tuhannya hawa nafsunya, berarti tuhan yang disembah oleh yang bersangkutan dijadikannya sesuai keinginan hawa nafsunya. Yakni, dia menjadikan tuhannya adalah apa yang disenanginya, bukan karena tuhan tersebut berhak untuk dipertuhan.
Dengan demikian, yang bersangkutan dicela bukan saja karena menyembah tuhan selain Allah, tetapi juga karena melakukan aneka kedurhakaan – misalnya berzina, mencuri, menganiaya dan sebagainya karena mengikuti kehendak hawa nafsu yang selalu mendorong kepada keburukan. Mereka tidak lain hanyalah seperti binatang ternak yang juga tidak mampu mendengar ajakan Nabi dan tidak memiliki akal bahkan seperti binatang yang hanya makan, minum dan hubungan seks, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu karena binatang mengikuti nalurinya walau tidak memiliki fitrah kesucian, sedang mereka mengabaikan nalurinya serta mengotori fitrahnya. Binatang tidak menjerumuskan diri dalam kebinasaan, sedang mereka menjerumuskan diri.
Binatang mengikuti penggembala dan menurut bila ditegur apalagi dihardik, sedang mereka membangkang penuntunnya. Dengan demikian binatang memiliki sedikit kemampuan untuk mendengar dan mengikuti, sedang mereka tidak memiliki sedikitpun. Ayat di atas menggabung mereka mendengar dan mereka menggunakan akal atau memahami. Penyebutan keduanya mengisyaratkan bahwa sarana perolehan kebahagiaan adalah salah satu dari kedua hal tersebut. Yaitu menggunakan akal yang sehat untuk meraih kebenaran atau, kalau tidak, mendengar tuntunan orang lain yang memiliki akal sehat. Surah Al-Mulk [67] : 10 merekam ucapan orang-orang kafir yang terjerumus ke nereka. Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengar atau berakal niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni nereka yang menyala-nyala”.
Dahi merupakan lambang kemuliaan. Menurut Pasiak (2012), tulang dahi merupakan tulang tengkorak yang paling tebal karena melindungi otak yang hanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia, hewan tidak, yaitu Prefrontal Cortex yang ibaratnya CPU pada komputer. Adapun fungsi Prefrontal Cortex adalah : 1) Pengendali Nilai, maka orang yang menggunakan Prefrontal Cortex-nya perilaku akan bernilai di mata Tuhan maupun manusia, termasuk ketika melakukan hubungan seks karena mengamalkan petunjuk Tuhan lewat Kitab Suci maupun yang diajarkan Nabi; 2) Perencanaan Masa Depan, adapun mencari masa depan yang bernilai tidak hanya ketika hidup di dunia, tetapi kelak ketika hidup di akhirat.
Jika gagal menggunakan Prefrontal Cortex Tuhan mengancam kelak akan diseret ke Neraka pada dahinya (QS Al-‘Alaq [96] : 15), maka dalam melakukan hubungan seks tetap memperhatikan kepatutan & kepantasan sesuai ajaran agama; dan 3) Pengambilan Keputusan. Meskipun manusia satu-satunya makhluk di muka bumi yang diberi kebebasan membuat pilihan (free choice), kebebasan memilih akan menghasilkan kebebasan berkehendak (free will) dan kebebasan melakukan tindakan (free act), maka dalam melakukan hubungan seks dengan mempertimbangkan akal budi, tidak semau gue. Dengan demikian, maka Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak adalah wujud nyata orang yang perilakunya hewani, tidak manusiawi, perilaku hewan ternak ! Orang yang tidak menggunakan anugerah Allah Prefrontal Cortex-nya !
Kata branding kata dasarnya brand (cap, tanda). Istilah brand sendiri pertama kali digunakan oleh orang-orang Inggris pada abad ke-19 sebagai bentuk memberi tanda kepada hewan-hewan ternak dan juga budak dengan memberi cap besi panas pada tubuh mereka. Saat itu mereka menyebut dengan kata burn (membakar). Kemudian kata brand mulai populer digunakan oleh orang-orang Jerman dengan makna yang sama yaitu menandai sesuatu dengan menggunakan cap besi panas, brennen. Jadi brand adalah cap, merek atau tanda yang dikenakan sebagai tanda pengenal.
Pada zaman Kekaisaran Romawi, banyak orang menjadi budak karena diculik atau negerinya ditaklukkan. Para tawanan dijual dan biasanya tidak akan pernah pulang atau bertemu dengan keluarga mereka lagi. Banyak budak dipekerjakan sampai mati di pertambangan, sedangkan mereka yang bekerja di ladang dan di rumah keadaannya lebih baik. Seorang budak mungkin dipaksa memakai kalung besi dengan tulisan yang menjanjikan imbalan bagi orang yang mengembalikan si budak jika ia melarikan diri. Budak yang berkali-kali mencoba kabur akan dicap dahinya dengan cap besi panas (sear with a hot iron) , biasanya dengan huruf F, artinya Fugitivus (pelarian) atau tulisan yang menunjukkan bahwa ia dimiliki oleh seorang tuan atau majikan.Tanda ini tidak akan dapat dihapus, sehingga sampai di mana dan kapan pun budak itu akan dikenal siapa pemiliknya.
Oleh karena itu, jika hewan ternak dicap besi panas pada pinggulnya, budak dicap besi panas pada dahinya, maka Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak juga layak dicap besi panas pada dahinya, dengan tulisan PKSPD, karena perilakunya seperti hewan ternak sekaligus karena bersedia menjadi budak hawa nafsu seksualnya akibat mempertuhankan hawa nafsu seksualnya. Pelaksanaannya tidak menyulitkan bagi eksekutor atau algojo, juga jelas lebih praktis daaripada kebiri kimia . Dengan demikian, tidak perlu pelaksanaannya melibatkan tenaga dokter ! Sekaligus memperkecil risiko dokter melanggar sumpah jabatan dokter !
Secara mandiri penulis telah melakukan survey dengan melibatkan 100 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Fakultas Hukum di beberapa Universitas di Jogjakarta dan hasilnya terdapat 33% mahasiswa FK dan FH yang setuju pemberlakuan Iron Branding pada pelaku kekerasan seksual pada anak. Mengapa mahasiswa FK dan FH? Karena merekalah yang nantinya terdampak jika hukuman kebiri kimia diberlakukan, satu sebagai pengadil dan satunya sebagai eksekutor.
Last but not least, biarkanlah hukuman dijatuhkan kepada beberapa orang agar orang lain tidak berbuat jahat, poena ad paucos, metus ad omnes perveniat. Adagium ini mengandung kedalaman makna yang berfungsi sebagai prevensi umum agar orang lain tidak berbuat jahat (Hiariej, 2021). Selamat Hari Anak Nasional.
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Spesialis Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD