Al-Qanun Fi Al-Tibb: Karya Klasik Ibnu Sina di Bidang Kedokteran
Oleh: Azhar Rasyid
Ibnu Sina (di Barat dikenal sebagai Avicena) adalah nama penting dalam sejarah medis dunia. Lahir di Desa Kharmaitan, di dekat Bukhara (Uzbekistan) tahun 980 dan meninggal di Hamadan (Iran) pada tahun 1037, Ibnu Sina menghasilkan berbagai karya yang membantu orang sezamannya untuk memahami berbagai fenomena kesehatan. Bahkan, buku-buku yang ditulis oleh sosok yang bernama lengkap Abū ‘Alī Al-Husayn ibn ‘Abd Allāh ibn Sīnā ini masih dibaca dan ditelaah orang hingga kini.
Keberhasilan Ibnu Sina sebagai seorang ilmuwan tidak lepas dari pendidikan yang ia jalani di masa mudanya serta berbagai peluang untuk maju yang ia peroleh. Ia adalah murid yang tekun dan cerdas. Ia telah membaca dan menghafal Al-Qur’an sejak ia masih sangat muda: usia 10 tahun. Pada umur yang sama ia juga sudah menghafal banyak syair Arab. Minatnya yang lain adalah pada ilmu logika. Ia membaca karya para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Tapi saat usia 13 ia lalu mencoba mendalami ilmu lain: ilmu kedokteran. Tiga tahun kemudian ia sudah terlibat menangani orang sakit.
Kesempatan besar datang padanya saat Sultan Bukhara sakit. Para dokter istana sudah angkat tangan. Ibnu Sinalah yang kemudian berhasil menyembuhkan sang sultan. Bentuk apresiasi sang sultan datang dalam bentuk sebuah kesempatan yang tidak bisa didapat semua orang di zaman itu: akses pada perpustakaan kerajaan yang menyimpan sangat banyak koleksi buku ilmu pengetahuan. Di sanalah Ibnu Sina memperoleh berbagai macam pengetahuan yang kemudian bermanfaat untuk bahan baginya dalam menulis berbagai karya ilmiahnya.
Ia menulis ratusan buku sepanjang usianya. Salah satu buah pemikiran Ibnu Sina yang paling berpengaruh ialah kitab Al-Qānūn fī al-tibb, yang dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai The Canon of Medicine. Buku ini menjadi rujukan di berbagai sekolah medis di Eropa.
Karya Fenomenal Ibnu Sina
Al-Qānūn fī al-tibb mulai ditulis oleh Ibnu Sina pada tahun 1012 saat ia tengah berada di Jurjan, Iran. Di buku ini ia meramu pengetahuan dari berbagai sumber, mulai dari Romawi, Yunani, hingga Islam.
Al-Qānūn fī al-tibb disusun secara sistematis ke dalam lima bagian atau buku. Bagian pertama membahas persoalan umum dalam ilmu kesehatan. Di sini pertama-tama dibahas tentang alam dan unsur-unsurnya (bumi, udara, api dan air). Lalu, objek kajian berpindah pada anatomi tubuh manusia. Selanjutnya, dibahas tentang sebab-sebab munculnya penyakit serta gejala ketika seseorang terserang penyakit. Aspek-aspek lain yang dibahas dalam bagian ini adalah soal kebersihan, jenis-jenis penyakit, makanan dan kesehatan, serta soal kematian.
Bagian-bagian selanjutnya membahas perihal berbagai aspek kesehatan. Pembagiannya adalah sebagai berikut: Bagian 2 (Obat-obatan Tunggal), Bagian 3 (Penyakit-Penyakit Spesifik pada Organ-Organ), Bagian 4 (Penyakit-Penyakit yang Tidak Spesifik pada Organ), dan Bagian 5 tentang apa yang dikenal sebagai “The Formulary and Aqrabadhin”.
Dalam sebuah versi terjemahan Bagian 1 ke dalam bahasa Inggris tahun 1966, di samping bagian 1, terdapat pula tiga lampiran. Lampiran pertama merupakan ringkasan yang sifatnya umum. Lampiran kedua berisi informasi perihal tanaman yang bisa dipakai untuk pengobatan. Ini mencakup glosarium berisi tanaman-tanaman penyembuh yang disebutkan di Bagian 1, nama-nama mereka di pasaran, serta bagian-bagian mana saja dari tanaman yang bisa dipakai untuk penyembuhan.
Gavin Koh, seorang spesialis di Universitas Cambridge, dalam sebuah tulisannya, “The Canon of Medicine (Al-Qānūn fī al-tibb) by Ibn Sina (Avicenna) 11th century” di British Medical Journal menyebut beberapa kontribusi penting Al-Qānūn fī al-tibb pada ilmu kesehatan. Pertama, temuan Ibnu Sina tentang relasi antara diabetes dan tuberkolosis. Ibnu Sina juga menemukan bahwa tuberkolosis merupakan sebuah penyakit menular.
Adapun temuan lainnya mencakup penjelasan Ibnu Sina tentang penyebab utama dan penyebab tambahan di balik terjadinya lumpuh pada wajah. Di samping itu, dari Ibnu Sinalah generasi ahli kedokteran berikutnya mendapat istilah “tailed nucleus” (nukleus berekor). Ibnu Sina juga berhasil menyusun gambaran yang akurat tentang anatomi mata.
Lebih lanjut Gavin Koh menyebut:
“Pengaruh The Canon [AlQānūn fī al-tibb] dalam pemikiran kesehatan bisa diukur selama berabad-abad. Buku itu memperkenalkan konsep sindrom (sebuah konstelasi tanda-tanda dan gejala-gejala) sebagai sebuah bantuan untuk melakukan diagnosis dan menetapkan tujuh aturan untuk evaluasi terhadap pengobatan-pengobatan baru— ini merupakan kerangka yang esensial untuk uji klinis.”
Pengaruh kitab Al-Qānūn fī al-tibb ini tidak hanya di seputaran Asia Tengah dan dunia Arab saja, tapi juga menyentuh Eropa. Adalah seorang sarjana dan penerjemah Italia bernama Gerard de Sabloneta yang mengalihbahasakan buku ini dari Bahasa Arab ke Bahasa Latin pada abad ke-13. Di Uzbekistan, kelima bagian buku ini diterjemahkan ke Bahasa Uzbek antara tahun 1954- 1960. Di berbagai universitas di Eropa, umpamanya di Montpellier dan Louvain, buku ini hingga ke pertengahan abad ke-17 dipakai sebagai buku rujukan di bidang ilmu kedokteran.
Kini, kitab Al-Qānūn fī al-tibb sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, walau tidak semuanya mencakup kelima bagian buku. Terjemahan yang sudah dilakukan di antaranya adalah ke bahasa Latin, Inggris, Perancis, Urdu, Cina dan Ibrani. Buku ini tak hanya dipuji karena isinya yang membawa terobosan baru, tapi juga pada gaya bahasanya yang indah.
Di dunia Islam sendiri, menimbang berbagai kontribusinya pada ilmu kesehatan, ia diberi gelar “pangerannya para dokter”, sebuah istilah yang menunjukkan kedudukan pentingnya di antara para sejawat kedokterannya. Kini, sejumlah perguruan tinggi masih menggunakan buku ini sebagai buku ajar mereka.
Azhar Rasyid. Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2018