BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Momen spesial bagi generasi penerus bangsa tersebut selalu ramai diperingati setiap tahunnya. Namun tahun ini sepertinya tidak seramai sebelumnya karena masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir.
Praktisi pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Bandung (UMBandung) Esty Faatinisa, S.Psi., S.Pd., M.Pd. punya pandangan menarik mengenai kondisi anak Indonesia saat ini.
Kalau berpatokan kepada data yang ada, Esty mengatakan, beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi anak di Indonesia memang tampak sedikit memprihatinkan. Yakni ada kecenderungan angka kekerasan terhadap anak grafiknya meningkat selama masa pandemi Covid-19.
”Baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik, cenderung meningkat. Pelakunya siapa, ini juga membuat kita sangat miris, yakni oknum orangtua, hal ini justru terjadi ketika pendampingan Pembelajaran Jarah Jauh atau PJJ yang sejatinya berjalan dengan menyenangkan,” kata Esty, Jumat (23/07/2021).
Kenapa hal itu bisa terjadi? Esty menilai penyebabnya karena memang orangtua itu bukan guru seperti layaknya di sekolah formal. Oleh karena itu, ketika dibebankan tugas-tugas untuk mengajar anak, tentu kemampuan mereka kurang sesuai dengan kapasitasnya.
”Apalagi jika ditambah dengan keterbatasan secara kemampuan pendidikan dan sosial-ekonomi akibat pandemi, itu sangat mempengaruhi bagaimana kekerasan tersebut bisa terjadi,” lanjut Esty.
Banyak lembaga pendidikan anak usia dini seperti PAUD, kelompok bermain, murid-muridnya turun drastis. Kenapa demikian? Esty menilai, ada sebagian orangtua yang merasa sia-sia jika anaknya sekolah karena belajarnya masih dilakukan secara daring. Lebih baik diam di rumah saja. Tidak perlu belajar.
”Padahal pembelajaran untuk anak usia dini atau masa kanak-kanak sangatlah berperan dalam kemajuan peradaban. Oleh karena itu, tonggak-tonggaknya ini harus kita tancapkan sedini mungkin sehingga mereka bisa terstimulasi sesuai dengan tahap perkembangan anak,” tutur Esty.
Namun, apakah ada anak-anak selama pandemi Covid-19 ini merasa enjoy dan nyaman dalam belajar? Tentu ada banyak. Esty mengatakan, kondisi anak yang seperti itu terbangun ketika orangtua mampu mengolah berbagai kegiatan anak-anak di rumah dengan menyenangkan.
”Saat ini kalau kita mau jujur, aspek sosial, interaksi sosial, yang mana itu jadi ciri khas dari anak-anak, mereka senang bersosialisasi, senang berteman, senang mengeksplorasi lingkungan, semua itu banyak terjegal selama pandemi. Jadi apa yang dibutuhkan anak-anak, yakni bagaimama suasana rumah yang setidaknya mampu mengakomodasi hal tersebut,” kata alumnus Universitas Islam Bandung ini.
Rumah harus menjadi tempat yang paling menyenangkan bagi semua anak-anak. Orangtua jangan terlalu banyak menjegal fitrah anak di rumah dengan istilah “jangan begini” dan “jangan begitu”. Kalau sudah seperti itu, Esty berpendapat, justru akan membuat anak jadi depresi.
Ketua Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini UMBandung ini berharap anak-anak di seluruh Indonesia mendapat kenyamanan. Apa pasal? Kenyamananlah yang mereka butuhkan sekarang.
”Yakni kenyamanan dalam belajar, dalam mereka bermain, walaupun itu dilakukan di rumah. Sehingga, kebahagiaan mereka, walaupun beberapa hal sekarang, sekali lagi, dalam kondisi saat ini tidak memungkinkan, tetapi tetap kita sebagai orangtua, sebagai guru, bagaimana bisa mengakomodasi dan memfasilitasi mereka (anak-anak) mereka agar tetap bahagia ada di rumah,” tegas Esty.
Masa depan anak-anak
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung satu tahun lebih, berdampak serius terhadap gambaran masa depan anak-anak Indonesia. Akan seperti apa generasi penerus di kemudian hari, tidak ada yang pasti.
”Saya membaca dan menganalisis data bahwa saat ini banyak anak yang putus sekolah, angka stunting juga meningkat, karena apa, dampak dari pandemi, memang sangat berpengaruh terhadap sosial-ekonomi. Orangtuanya yang terkena dampak secara langsung sosial-ekonomi, secara tidak langsung ya anak-anak mereka, sehingga banyak stunting karena mal-nutrisi dan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan mereka. Ini sangat disayangkan dan memprihatinkan,” kata dosen UMBandung yang saat ini sedang melanjutkan program doktoral di UPI Bandung.
Esty mengakui, pembentukan karakter anak-anak secara tidak langsung juga akan terpengaruh dari situ. Selain itu, banyak juga anak-anak putus sekolah sekarang karena keterbatasan akses untuk mengikuti sekolah secara daring. Tidak semua anak bisa menikmati pendidikan online saat ini.
Bisa juga karena persepsi orangtua yang membuat mereka putus sekolah. Persepsi orangtua seperti apa? Misalnya ada orangtua yang punya pemikiran untuk apa sekolah jika belajarnya dilakukan daring.
”Meskipun begitu, saya optimis bahwa masa depan anak-anak Indonesia tetap cerah. Meskipun ada masalah di sana-sini, tetapi itu bukan alasan bahwa kita tidak optimis, kita harus optimis. Kuncinya semua pihak harus bekerja bersama-sama, bagaimana untuk bisa mengedukasi dalam rangka pemerataan pendidikan, khususnya untuk anak-anak,” katanya.
Tidak ada strategi pembelajaran yang paling efektif, menurut Esty, dalam masa pandemi ini, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi atau karakteristik anak-anak. Sehingga dengan itu, kita bisa sedikit bisa bergerak dalam menyelematkan masa depan anak-anak Indonesia agar menjadi cerah.
“Saya mengajak seluruh pihak, dalam hal ini bagi yang memang punya kapasitas untuk bisa mengedukasi, marilah kita berjuang untuk bersama-sama agar pendidikan anak-anak kita bisa terselamatkan. Jangan sampai mereka putus sekolah. Kemudian kekerasan fisik dan verbal selama PJJ tidak lagi terjadi. Begitu juga dengan kita mengedukasi orangtua dan anak sehingga menjadi kolaborasi untuk kemudian terbentuk keluarga yang bahagia di masa pandemi,” pungkas Esty. (Feri/Bandung)