Berguru Kepada Pak Zubaidi Bajuri Dan Pak Oskam
Ketidakpastian masa depan. Itu yang menghantui anak muda selepas sekolah atau setelah kuliahnya jebol.
Menurut penelitian seorang psikolog, ketidakpastian masa depan anak muda itu gara- gara dia dihadang dua ketidakpastian. Dengan apa aku hidup, ketidakpastian pekerjaan dan dengan siapa kau hidup, ketidakpastian pasangan hidup. Dan itulah yang menghantui diriku saat untuk pertama kali naik kereta api. Ke Jakarta, kota impian anak muda se-Indonesia. Aku naik kereta api diantar Mbah Zen, suami dari adik bungsu Mbah Putri saya dari Ibu alias Mbah Lor. Mbah Zen ditemani anaknya, Jazuri, teman sepermainan saya di Kotagede.
Mbah Zen sendiri dan anaknya secara berkala datang ke Jakarta membawa dagangan kerajinan yang terbuat dari tenunan bambu juga keramik yang dihias dengan anyaman bambu. Dia setor ke toserba Sarinah dan dan ke tempat lain. Kadang ke eksportir kerajinan. Di masa mudanya, Mbah Zen pernah keliling dunia, maklum dia bekerja sebagai pelaut. Dengan demikian soal rantau-merantau dia sudah hafal. Dan dia mendapat tugas dari keluarga besar saya untuk mengantar saya ke Jakarta untuk dipasrahkan ke Pak Bajuri Zubaidi. Saya di Kotagede dianggap tidak punya kegiatan yang jelas.
Lontang-lantung, sibuk hiking, latihan drama, diskusi, mengajar ngaji privat, dan menjadi Redaksi media cetak kelas kampung. Kerjaan banyak dan yang dihasilkan amat sedikit. Orang-orang tua Kotagede, lebih-lebih lagi yang punya anak gadis menilai saya masih nganggur dan tidak punya harapan masa depan. Ini yang menyebabkan, sebagai anak muda, saya mengalami patah hati. Orang-orang tua itu tidak mau punya menantu seperti saya. Ada yang baru pendekatan langsung dapat isyarat penolakan. Ada yang punya sinyal positif, tahu-tahu sakit dan meninggal dunia.
Jadi istilah para penyanyi pop, saya menuju Jakarta naik kereta api ini membawa hati yang luka.
Gerbong kereta api mengguncang-guncang tubuh saya sekaligus mengguncang kesadaran saya bahwa hidup malas-malasan dan sibuk untuk hal yang tidak produktif sedang menjadi masa lampau. Saya dalam proses memasuki hari kini dan masa depan di Jakarta.
Saya turun di Stasiun Gambir naik bajaj menuju kantor PP Muhammadiyah di Jalan Menteng Raya 62 Jakarta Pusat. Gedung kuno peninggalan Belanda, ada musholla sederhana, deretan kamar mandi, percetakan kecil di belakang, aula untuk pertemuan dan latihan Tapak Suci dan kamar-kamar untuk menginap para tamu, dan Kantor majelis tingkat PP. Juga ada kantor PP Pemuda Muhammadiyah dan PP IPM yang letaknya bersebelahan. Tidak ada kantin. Kalau mau makan, di Menteng 58 depan kantor PB PII.
Saya dan rombongan menginap di salah satu kamar itu. Yang mengurusi para tamu adalah orang Kotagede, kakak kelas saya. Dia beruntung, diajak ke Jakarta ketemu dengan Pak Zubaidi Bajuri diterima menjadi pegawai kantor PP Muhammadiyah Jakarta, lalu diterima menjadi pegawai Kantor Departemen Agama pusat. Setelah dia menjadi pegawai Depag, dia masih kerja di Menteng Raya 62 dengan kegiatan mengurusi para tamu.
Beberapa hari saya tinggal di tempat ini. Mbah Zen dan anaknya mengurusi dagangannya. Saya mencoba mengenali siapa saja yang aktif dan sibuk di sini.
Di Percetakan di bagian belakang, saya ketemu orang Kotagede yang lama merantau ke Jakarta. Dia paman dari Buldanul Khuri, saudara ibunya. Namanya Pak Wahid. Dia pimpinan percetakan. Dia tahu saya diajak ke Jakarta oleh Mbah Zen. Saya juga ketemu kakak kelas saya SD yang bekerja serabutan, antara lain menjadi makelar kredit di bank. Di dalam kantor ada menantu orang Kotagede yang setelah isterinya meninggal dunia dia diajak Pak Zubaidi Bajuri ke Jakarta dan bisa masuk menjadi staf administrasi PP Muhammadiyah Jakarta.
Waktu itu saya merasa diarahkan untuk menjadi karyawan kantor PP ini.
Beberapa hari kemudian setelah saya ketemu pak Zubaidi dan diminta menghubungi Kepala Kantor PP Muhammadiyah Jakarta di rumahnya, ternyata saya ditolak, tidak diterima bekerja di kantor ini. Waduh, sudah jauh-jauh datang dari Jakarta meninggalkan tanah air Kotagede, di Jakarta tidak bisa bekerja.
Pak Zubaidi yang kemudian menjadi guru kehidupan saya tenang-tenang saja mendengar saya ditolak oleh kepala kantor PP Muhammadiyah Jakarta.
“Mus, di Jakarta ini tidak ada yang gratis. Setiap makanan yang masuk perut harus kau bayar dengan kerja. Untuk sementara kau boleh tinggal di rumah saya, dan boleh makan minum tetapi kau harus bekerja membersihkan kamar mandi, kaca jendela dan merapikan rumput di taman. Setuju?”
“Ya,” pak jawabku sambil membayangkan jenderal Thariq bin Ziyad sudah membakar kapal masa silam siap menaklukkan daratan Andalusia di depan matanya.
“Setelah pekerjaan selesai kamu saya beri modal karcis bis kota untuk mencari kerja. Apa saja boleh, mau menjadi penjual abu untuk cuci piring, menjadi penjual sayur juga boleh. Yang penting mendapat pekerjaan.”
Saya terpukul sekaligus tersinggung. Bagaimana mungkin saya guru ngaji, penulis cerita anak, penyair, wartawan amatir di Yogya, kok di Jakarta banting stir menjadi penjual abu atau sayuran. Tetapi karena terlanjur sudah di Jakarta, saya tidak membantah apa yang disampaikan oleh Pak Zubaidi Bajuri. Sebab dari rumah saya sudah dibekali nasehat agar menyenangkan hati orang yang menjadi induk semang di Jakarta.
Di rumah ada mesin ketik. Saya membongkar koper sederhana saya, mengambil kertas dan karbon juga amplop yang saya bawa dari rumah Kotagede.
Saya menulis cerita anak-anak dan cerita humor anak. Saya masukkan amplop lalu dengan modal karcis bis kota dan sedikit uang saya naik bis kota menuju Kantor Redaksi majalah anak-anak Kawanku. Kebetulan saya sudah kenal dengan Redaksi dan pendiri majalah ini, Pak Trim Sutejo, karena pernah ketemu di Yogyakarta.
“Pak Trim, saya sedang di Jakarta. Ini saya titip tulisan saya.”
“Kamu kerja di mana?”
“Saya masih mencari kerja Pak. Dari pada menganggur saya nulis Pak.”
“Wah, bagus. Terima kasih atas tulisan. Lantas caramu mengecek tulisan kamu dimuat bagaimana?”
“Saya kan aktif main di Gelanggang Remaja Bulungan, di sana ada kios koran dan majalah. Saya juga aktif main di TIM, di sana juga ada penjual majalah dan koran.”
Saya juga mengetik puisi dan saya kirim ke Panji Masyarakat, Pelita, Sinar Harapan. Saya juga rajin mengirim berita ke Harian Masa Kini Yogya.
Yang paling sering memuat tulisan saya adalah majalah Kawanku. Honor saya ambil langsung ke kantor redaksi. Dengan demikian saya jadi punya uang sedikit-sedikit. Apalagi ketika ketahuan saya rajin membersihkan rumah dan taman, pak Zubaidi tiap bulan memberi uang. “Ini untuk beli es atau makan nasi rames,” katanya.
Untuk makan sebenarnya tidak begitu masalah. Sebab selain main di Bulungan dan TIM saya juga sering main di Menteng Raya 62. Penjaga Kantor PP IPM saya akrab, saya sering membantu dia dan juga berlatih teater di situ. Kalau bapak-bapak PP rapat, penjaga kantor PP IPM dan Pemuda Muhammadiyah selalu mendapat jatah makan. Kalau aula ada pertemuan, juga sering dapat jatah snack. Atau kalau saya di Bulungan ada warung poci, demikian juga kalau di TIM. Kalau di TIM, penjaga gedung PP IPM bernama Bambang habis gajian saya ditraktir makan. Dia orangnya unik. Selalu pesan nasi separo porsi dengan sayur banyak dan telur goreng dua potong. Yang empunya warteg dekat TIM hafal kebiasaannya.
Pak Zubaidi Bajuri membiaarkan saya dengan kegiatan saya ini.
Tentu saja saya selalu pamit akan kemana hari itu. Dengan demikian tujuan saya jelas. “Ben ora kaya Cah ilang,” kata pak Zubaidi.
Suatu hari saya diberi tahu bahwa ada Cah Kotagede yang mengelola majalah peternakan namanya Ayam dan Telur. Dia mess atau bertempat tinggal di kantor majalah itu, di dekat Blok M. Saya kontak, ternyata guru ngaji saya di Pengajian API Masjid Gede Kotagede. Kang Ndiman dan kakaknya. Saya bilang mau main ke situ, lalu saya diberi ancar-ancar tempatnya. Saya naik bis kota menuju tempat ini. Ketemu.
Ngobrol gayeng. Maklum lama tidak ketemu. Saya diberi contoh majalah itu. Saya perhatikan, jurnalistik majalah khusus ternyata tidak jauh berbeda dengan terbitan umum. Bedanya ada penekanan tertentu yang membuat pembaca tertarik.
Ketika senja, datang orang dari Kebumen. Ternyata dia tukang pijat yang rutin datang ke tempat guru ngaji saya ini. Dia memijat mat-matan atau pelan-pelan sambil menjelaskan titik titik-titik simpul syaraf yang berhubungan dengan organ vital tubuh. Saya mendengarkan dan mengingat-ingat apa yang disampaikan. Titik ini terhubung dengan perut. Titik itu terhubung dengan dada. Suatu hari pengetahuan memijat ini bermanfaat bagi saya dan teman-teman.
Karena memijat dua orang, selesai malam. Saya telepon ke Pak Zubaidi Bajuri kalau malam itu saya menginap. Pak Zubaidi membolehkan.
Kami berempat makan malam lalu ngobrol. Waktu itu, saat merantau di Jakarta ketemu dengan sesama Cah Kotagede senang bukan main. Kami bertukar kabar. Dan pengalaman saya waktu naik bis kota saya beberapa kali ketemu Cah Kotagede. Demikian juga waktu ketemu tetangga yang berdinas di Angkatan Laut, dia mengajak saya ke rumah dia di Cilincing. Karena tidak menginap saya tidak pamit ke pak Zubaidi. Hanya ketika pulang saya ceritakan pertemuan itu.
O, ya, sehabis ketemu pengelola majalah peternakan saya ditawari untuk mengelola peternakan yang akan dia bangun di pinggir kota Jakarta. Waduh, walau saya pernah kursus beternak ayam sampai bisa membuat alat penetas tetapi ke Jakarta bukan untuk menjadi peternak. Saya terlanjur asyik dengan dunia tulis menulis.
“Kalau ingin terjun ke dunia penulisan boleh, tapi yang serius ya,” kata pak Zubaidi.
“Ya, Pak,” jawabku.
Hari-hari berikutnya saya rajin membaca iklan di Kompas. Ketemu. Ada iklan kalau Balai Pendidikan Wartawan Jakarta membuka pendaftaran.
“Saya mau ikut pendidikan wartawan di tempat ini Pak,” kataku sambil menyodorkan iklan itu.
“O, di jalan Gunung Sahari. Jauh juga.”
“Saya berangkatnya dari Menteng Raya jalan kaki cepat Pak.”
“Untuk uang pendaftaran?”
“Saya sudah punya Pak, honor saya dari majalah Kawanku.”
“Ya, sudah. Ini karcis bis kota saya tambah.”
“Terimakasih pak.”
Hari berikutnya saya naik bis kota jalur 101 dari Blok M menuju Menteng Raya. Sehabis shalat Ashar saya langsung meloncat berjalan cepat menuju jl Gunung Sahari. Lewat depan Pasar Senen terus ke utara. Berhenti di depan kompleks perkantoran. Saya bertanya kepada penjaga gedung. Diantar naik menuju Balai Pendidikan Wartawan Jakarta berada. Saya ketemu pak Oskam atau OS Kamajaya. Dia yang kemudian mendidik calon Wartawan dengan gaya Spartan.
Mulailah saat itu saya tiap sore dididik pak OS Kamajaya yang dia memperkenalkan diri sebagai mantan atau pensiunan Pemimpin Redaksi sebuah koran di Bandung. Kami sekitar dua puluh orang dengan patuh menjalankan perintahnya. Langsung praktek. Teori belakangan. Dia selalu membawa koran ibukota yang beritanya ringkas tidak bertele-tele.
“Kalian harus jadi wartawan yang cerdas dan tangkas,” katanya.
Seorang teman nyeletuk,” Juga cermat Pak.”
“Ya, betul. Cerdas cermat tangkas. Seperti acara di televisi.”
Kami semua tertawa.
“Cerdas itu kalian mencari dan menulis berita dengan menggunakan otak. Maksudnya, carilah ide terbaik di dalam fakta yang kalian peroleh. Ide pokok dalam fakta akan menjadi judul berita.”
“Cermat dalam arti kalian tidak boleh salah menangkap fakta dan menuliskannya. Ejaan atau istilahnya atau penulisan nama dan jabatan narasumber, amanat terjadinya peristiwa, dan detail peristiwa tidak boleh salah sama sekali.”
Belum lagi ada yang komentar, pak OSKAM meneruskan mencecar kami dengan doktrin untuk wartawan berkualitas. “Tangkas artinya cepat tanggap dalam mencari bahan berita, mengembangkan dan menuliskannya. Dimana pun kalian berada harus mampu membayangkan adanya potensi berita di situ. Tanpa diperintah, kalian harus cepat bergerak menangkap berita itu.”
“Wah, mirip pasukan komando, Pak.”
“Ya, kalian harus menjadi wartawan komando.”
Dan untuk menguji kecerdasan, kecermatan dan ketangkasan kami dalam menulis, dia berhari-hari menugasi kami meringkas berita, atau mengedit berita.
“Ini ada berita lima puluh kata. Tolong diedit menjadi tiga puluh kata.”
“Ini diringkas jadi duapuluh lima kata.”
“Ini, terserah kalian. Yang penting diedit.”
“Rombak berita ini. Yang paling penting didahulukan!”
Otak kami bergerak cepat. Tangan kami berderap menuliskan kata-kata dalam susunan kalimat yang lebih hidup.
“Inilah cara saya mendidik kalian. Belajar jurnalistik dari belakang. Dari praktek mengedit berita dulu. Ini akan lebih efektif menghasilkan ketrampilan jurnalistik, keterampilan menulis kalimat efektif, berita efektif.”
Saya hari-hari pertama hadir di Balai Pendidikan Wartawan ini heran, mengapa pak OSKAM tidak mengajarkan unsur berita 5W1H, bagaimana menulis lead atau teras berita dan lainnya seperti yang ada dalam buku biasa jurnalistik. Dia mengenalkan cara belajar jurnalistik yang berbeda. Untuk memproses wartawan yang efektif dalam mencari berita kemudian menulis berita yang efektif kalimatnya, dia mengajak kami bagaimana belajar jurnalistik dari belakang. Baru setelah kami tangkas, cermat dan cerdas dalam mengedit berita Pak OSKAM mengenalkan sumber-sumber yang potensial untuk digali beritanya.
Ini antara lain bisa diperoleh dari pencermatan kita terhadap berita yang telah ditulis dan dimuat di koran. Jadi mencari berita dari berita yang ada. Itulah makanya di kantor redaksi selalu ada radio, televisi, koran yang banyak juga pesawat teleks yang setiap detik mengirim berita. Itu cara pertama. Cara kedua adalah dengan mengamati keadaan dan perkembangan keadaan sekeliling. Kalau perlu meneliti dengan sungguh-sungguh.
“Menulis berita itu jangan hanya mengandalkan what what saja, why dan how-nya yang diperdalam,” katanya tiba-tiba menyebut unsur berita.
“Seorang wartawan komando selalu tahu dimana saja bahan berita tersembunyi atau disembunyikan orang.”
Dengan kata lain, bagi wartawan komando tiada hari tanpa berita. Selalu ada berita setiap hari. Seorang wartawan komando harus peka menangkap gejala dan arah gejala ini sehingga ketika dia memburunya dia tidak salah sasaran.
Cara ketiga, menurut Pak OSKAM harus mengoleksi narasumber sebanyak mungkin, lengkap dengan kapasitas intelektualnya dan kecenderungan berfikirnya. Koleksi narasumber ini bermanfaat ketika suatu sepi peristiwa. Kita bisa memancing berita dengan wawancara ke narasumber. Apalagi kalau narasumber ini jago meneliti dan bekerja di sebuah pusat studi. Amat mudah memancing berita yang paling hangat. Isyu yang menarik bisa digali dari hasil penelitian dia.
Tidak terasa kami memasuki bulan puasa. Saya membawa takjil, makanan dalam bungkusan dan minuman dalam botol. Untung saya berpengalaman menjadi pecinta alam, soal menyiapkan takjil merupakan masalah kecil. Saat berbuka, saya pun menikmati takjil yang saya bawa.
“Mulai besok kalian praktek lapangan. Mencari berita langsung. Pagi mencari bahan berita siang menulis berita dan sore setor berita. Untuk itu kalian saya berkali surat tugas dan tanda pengenal,” kata pak OSKAM membuat dada kami berdebar kencang.
Kami awalnya mencari berita berombongan. Peserta didik di Balai Pendidikan Wartawan ini dibagi dua kelompok. Hari berikutnya dibagi menjadi empat kelompok. Hari berikutnya lagi kami mencari berita sendiri-sendiri.
Saya mencari berita di Terminal bus Pulogadung. Saya mewancarai pedagang asongan dan ikut berlarian ketika dikejar petugas. Di tempat persembunyian, di warung, wawancara diteruskan. Berita yang saya tulis dipuji pak OSKAM.
Setelah berhasil mencari dan menulis berita dengan kalimat efektif dan menarik tibalah saat terakhir di pendidikan wartawan ini. Yaitu kami harus menyetor paper atau laporan pengalaman mengikuti pendidikan. “Kecerdasan otak kalian, kecermatan dalam memilih ide dan ketangkasan kalian menuangkan pengalaman mengikuti pendidikan menjadi tulisan yang mempesona saya tunggu.”
“Boleh pakai analisis pak?”
“Boleh.”
Setelah paper disetor kami diberi sertifikat sebagai peserta didik. Disitu tidak tercantum nilai.
“Nilai kalian bergantung hasil kerja kalian nanti di koran atau majalah atau di bagian humas sebuah kantor,” katanya saat perpisahan yang membuat hati terharu terhadap ketulusan dan ketekunan dia mendidik kami.
Di saat orang setua dia istirahat di rumah menikmati hari tua, pak OSKAM setiap hari bekerja keras mendidik calon wartawan.
Dengan bekal pendidikan ini saya percaya diri ketika saya kemudian oleh Pak Zubaidi Bajuri dimasukkan menjadi pegawai musiman untuk melayani penyelenggaraan haji di kantor Departemen Agama pusat. Jabatan pak Zubaidi Bajuri adalah Ditgara Haji atau Direktur Penyelenggara Haji, eselon di bawah Dirjen. Saya bertugas menjaga dokumen jamaah haji, mulai dari pengadaan paspor, data asrama, manifes penumpang pesawat yang akan berangkat, jadwal pemberangkatan jamaah haji dan pemulangan jamaah haji. Semua dijaga ketat dan saya mendapat tugas piket memantau pesawat pengangkut jamaah dari bandara. Saya bertugas di depan pesawat komunikasi elektronik yang dalam berkomunikasi menggunakan kode tertentu. Saya menghafal kode itu yang sebagian pernah saya pelajari waktu di Pramuka.
Di Departemen agama ini saya berguru kepada Pak Zubaidi Bajuri tentang keharusan jujur dalam bekerja. Walau karena kejujuran beliau ini menyebabkan beliau malah digeser dari jabatannya, kemudian dilempar ke daerah dan karena konsisten bekerja bersih beliau dilempar lagi entah kemana.
Inilah yang membuat saya frustrasi. Saya frustrasi menyaksikan tokoh agama yang jujur yang berada di sebuah sistem birokrasi yang saya cium ada bau korupsi kemudian dikalahkan oleh sistem birokrasi ini. Ini cara Tuhan untuk menyelamatkan Pak Bajuri agar kebersihan pribadi dan integritas pribadinya terjaga.
Sepuluh tahun lebih kemudian, ketika saya sudah jadi wartawan, malah jadi Redpel, dalam perjalanan menuju kota Padang untuk mengikuti acara nasional Wartawan senior, saya mampir ke rumah beliau di kompleks perumahan Depag.
“Saya sekarang mengajar di universitas Asy Syafi’iyah. Ilmu yang saya dapat di pesantren menjadi bermanfaat,” katanya merendah.
“Lho, Bapak dulu kan pernah menjadi Kepala Kantor Penelitian dan Pengembangan Depag. Buku dan ilmu Bapak jelas melimpah Pak,” kataku membuat wajah beliau berseri.
Rupa beliau yang pensiunan sudah melupakan peristiwa di kantornya dulu.
Oya, saya ingat, setahun sebelumnya waktu saya ketemu beliau di Banda Aceh waktu Muktamar Muhamadiyah ke-43 saya sempat berkata, “Untung Pak waktu di Jakarta saya ikut pendidikan wartawan. Jadi sekarang bisa percaya diri bekerja sebagai wartawan.”
Pak Bajuri tertawa.
“Kamu memang nekad dan bersemangat. Masak menuju tempat pendidikan yang demikian jauh-jauh tempuh dengan jalan kaki.”
“Tapi waktu pulang dari Jalan Gunung Sahari saya naik oplet menuju Terminal Lapangan Banteng cari bus kota turun di Blok A. Dari Blok A jalan kaki pulang ke rumah Pak.”
“Lumayan jauh juga?”
“Ya, Pak. Kalau pas pulang perut lapar saya jajan burjo panas Pak. Pengganjal perut.”
Saya sekarang baru sadar kalau Ilmu itu kelakone kanthti laku. (Mustofa W Hasyim. 2021).