Mengenal Social Champions
Oleh: Dr. Mukhtar Hadi, M.Si.
Di tengah-tengah bencana yang sedang melanda selalu ada orang-orang berhati mulia dan welas asih untuk membantu sesama yang sedang mengalami kesusahan baik akibat dari bencana itu sendiri maupun karena terdampak resikonya. Sekarang ini ketika bencana wabah covid-19 semakin tidak terkendali dan pemerintah terlihat semakin kewalahan, muncul di masyarakat sebuah aksi solidaritas atas nama kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras, etnis, dan golongan. Mereka bahu membahu, bergotong royong menolong orang-orang yang terpapar covid-19 dengan menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan. Di beberapa tempat muncul gerakan sosial untuk membantu dan memobilisasi yang lain untuk bersama-sama membantu kesusahan oran lain.
Sekelompok orang membuat dapur umum dengan biaya secara patungan dari kantong pribadi dan para donatur. Mereka menyediakan nasi kotak dengan lauk pauk yang memenuhi standar gizi yang baik, lalu dibagikan kepada orang-orang yang sedang melakukan isolasi mandiri di rumah atau tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat isolasi bagi pasien covid-19. Di tengah kelangkaan oksigen karena banyaknya pasien covid-19 yang membutuhkan, ada sekelompok anak muda yang menyediakan tabung oksigen secara gratis dengan pinjam pakai atau menyediakan oksigen isi ulang secara gratis.
Ada juga yang membuat peti jenazah secara sukarela lalu peti jenazah itu didistribusikan ke beberapa rumah sakit yang membutuhkan tanpa harus membayar. Beberapa rumah sakit, khususnya di pulau Jawa sejak gelombang kedua pandemi covid-19 melanda memang banyak yang kekurangan stok peti jenazah karena tingginya angka kematian akibat covid-19. Di rumah sakit tersebut, tingkat kematian akibat Covid-19 ada yang mencapai angka 30 kematian bahkan lebih dalam sehari. Karena jenazah covid harus dimakamkan dengan dimasukkan ke dalam peti, banyak rumah sakit yang kehabisan stok peti jenazah. Bantuan peti jenazah tentu saja akan sangat membantu rumah sakit dan keluarga korban. Beberapa orang ada yang menyediakan rumahnya atau rumah kost yang dia miliki untuk dapat digunakan secara sukarela bagi mereka yang membutuhkan tempat untuk isolasi mandiri. Banyak lagi bentuk-bentuk solidaritas yang lainnya atas nama kemanusiaan.
Demikianlah, dalam setiap bencana selalu ada aksi solidaritas yang lahir secara spontan di tengah-tengah masyarakat. Solidaritas seperti ini adalah modal sosial yang sangat penting bagi kita untuk bersama-sama melawan pandemi covid-19. Apalagi bencana non alam seperti pandemi tidak hanya cukup diserahkan kepada pemerintah semata. Belakangan ketika gelombang kedua covid-19 melanda di negeri ini kita menyaksikan bahwa pemerintah mulai kewalahan dengan penyediaan sarana dan pembiayaan dalam mengatasi pandemi yang semakin tidak terkendali. Banyak rumah sakit pemerintah dan tenaga kesehatan mulai ambruk dalam menangani pandemi. Munculnya orang, kelompok, organisasi atau lembaga yang ikut handarbeni dalam membantu pemerintah dalam menanggulangi bencana patut untuk disyukuri dan ditumbuh kembangkan terus menerus.
Para volunter yang dengan secara sukarela tanpa pamrih ikut membantu orang-orang yang kesusahan di masa bencana ini yang oleh sosiolog Imam B.Prasojo disebut sebagai Social Champions, para juara dalam gerakan sosial baru. Mereka bergerak ketika negara dinilai membutuhkan bantuan. Mereka tidak besar tetapi mampu menggerakkan dan menggalang aksi sosial secara efektif. Di tengah hiruk pikuk sosial media yang berisi konten hoak, olok-olok, dan guyonan satire tanpa ujung, gerakan seperti ini laksana oase di tengah padang pasir yang gersang. Walaupun harus juga diakui gerakan seperti ini terkadang masih berserakan, belum terkoneksi dan terorganisir secara baik.
Umat Islam dan Social Champions
Islam adalah agama rahmat, bukan hanya bagi umat Islam sendiri, tetapi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamiin). Kasih sayang, welas asih, tolong menolong, adalah nafas yang mengalir dalam setiap ajarannya. Salah dua dari nama-nama Allah yang baik adalah Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, yang artinya Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika Allah Yang Maha Mulia memiliki sifat pengasih dan penyayang, maka umat Islam sebagai hamba Allah sudah sewajarnya bahkan merupakan suatu keharusan untuk menginternalisasikan sifat Allah yang mulia itu dalam dirinya. Rasulullah SAW, manusia paling mulia di sisi Allah, sepanjang sejarah kehidupannya adalah juga seorang yang lemah lembut, peduli terhadap sesama dan penebar kasih sayang yang melintasi iman, etnis, bangsa dan golongan. Beliau adalah uswatun khasanah (contoh teladan yang baik) bagi kita semua.
Seorang muslim dituntut untuk memiliki kesalehan individual dan sekaligus kesalehan sosial. Kesalehan individual diwujudkan dengan menjalankan ritual ibadah secara vertikal hanya kepada Allah SWT dengan dasar tauhid yang kuat, sementara kesalehan sosial diwujudkan dalam bentuk ibadah sosial secara ghorizontal dengan sesama manusia. Ibadah sosial itu wujudnya adalah menghormati dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan, berbuat baik kepada sesama, membantu dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Berinteraksi dengan akhlakul karimah, kasih sayang dan tidak saling menyakiti baik secara terang-terangan atau tersembunyi. Wujud dua kesalehan ini yang dalam bahasa Al-qur’an dilukiskan dengan frasa hablum minallah dan hablum minannas, menjalin hubungan (tali) dengan Allah SWT dan menjalin hubungan (tali) dengan sesama manusia. Allah SWT berfirman :
ضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيۡنَ مَا ثُقِفُوٓاْ إِلَّا بِحَبۡلٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبۡلٖ مِّنَ ٱلنَّاسِ وَبَآءُو بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَسۡكَنَةُۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلۡأَنۢبِيَآءَ بِغَيۡرِ حَقّٖۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ
Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Ali Imron (3) : 112).
Berdasarkan ayat di atas, Allah mengingatkan bahwa manusia akan diliputi kehinaan jika tidak memegang teguh tali hubungan dengan-Nya dan tali hubungan dengan sesama manusia. Kehinaan itu berupa kemurkaan dari Allah dan kehidupannya diliputi kesengsaraan di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian baik ada bencana maupun tidak ada bencana, Islam mengajarkan agar setiap manusia memiliki jiwa dan semangat social champions, para juara dalam membantu orang lain. Menolong yang tanpa pamrih, tanpa melihat siapa yang dibantu, semata-mata hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT. Inilah puncak dari kesalehan, yaitu kesalehan yang utuh dan kaffah, saleh secara individual dan saleh secara sosial.
Seorang muslim yang waktunya dihabiskan untuk shalat, berdzikir, membaca al-Qur’an, berpuasa dan ibadah-ibadah lainya dalam rangka memenuhi kehausan hasrat spiritual yang bersifat individual lalu mengabaikan hubungannya dengan orang lain, tidak peduli kepada penderitaan sesama, maka tidak ada jaminan surga baginya. Surga yang didambakannya tidak cukup dengan keasyikan spiritual individual. Surga hanya bisa diraih jika seseorang melakukan ibadah individual dan ibadah sosial secara sekaligus. Orang-orang yang terlalu asyik dengan ibadah vertikalnya kepada Allah lalu melupakan ibadah sosial maka akan jatuh dalam kelompok orang yang muflis, atau orang yang rugi, bangkrut dan karenanya justru neraka tempat yang layak baginya. Penegasan ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: «أتدرون من المفلس؟» قالوا: المفلس فينا من لا دِرْهَمَ له ولا متاع، فقال: «إن المفلس من أمتي من يأتي يوم القيامة بصلاة وصيام وزكاة، ويأتي وقد شتم هذا، وَقَذَفَ هذا، وأكل مال هذا، وسَفَكَ دم هذا، وضرب هذا، فيعطى هذا من حسناته، وهذا من حسناته، فإن فنيت حسناته قبل أن يقضى ما عليه، أخذ من خطاياهم فطُرِحَتْ عليه، ثم طرح في النار».
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di tengah kami adalah orang yang tidak punya dirham dan kekayaan.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) salat, puasa dan zakat. Namun ia datang telah mencela si A, menuduh si B, memakan harta si Fulan, menumpahkan darah si fulan dan memukul si Anu. Maka orang yang itu diberi dari kebaikannya, yang ini juga diberi dari kebaikannya. Hingga jika semua kebaikannya habis padahal semua dosanya belum habis, diambillah kesalahan-kesalahan (dosa orang yang dizaliminya), lalu dilimpahkan padanya, kemudian ia pun dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).
Secara logika, tidak satupun manusia yang mau merugi atau bangkrut. Manusia yang normal ingin selalu beruntung. Karena itu mempertimbangkan secara masak-masak apa yang akan dilakukan sebagai suatu yang niscaya agar tidak mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan yang dialami manusia di dunia ini masih memiliki peluang untuk diperbaiki selagi kita masih sehat dan memiliki kemauan. Namun kebangkrutan yang kita alami pada saat hari perhitungan amal di akhirat nanti tidak ada peluang lagi untuk memperbaikinya meskipun manusia merengek-rengek untuk dikembalikan lagi di dunia dan berjanji akan memperbaikinya.
Oleh karena itu, manusia yang cerdas adalah mereka yang sudah sedia payung sebelum turun hujan, yang mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sebelum menghadapi yaumul hisab atau hari perhitungan. Mempersiapakan diri dengan keshalehan individual dan keshalehan sosial adalah kunci untuk menghindari kebangkrutan dalam hidup. Seorang muslim yang baik hendaknya menjadi champions (pemenang) tidak hanya di dunia namun juga pemenang di akhirat.
Bukankah doa yang selalu kita munajatkan setiap saat adalah berharap untuk mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat serta terhindar dari api neraka? Rabbanaa aatina fiddunya hasanah, wafil akhiroti khasanah, waqiinaa ‘adabannar. Jika itu benar, maka syaratnya adalah masuk dan amalkan Islam secara kaffah. Shaleh secara individual dan shaleh secara sosial. (mh.24.07.21)
Dr. Mukhtar Hadi, M.Si., Anggota BPH UM Metro