Noblesse Oblige Sang Pemimpin

Abu Bakar

Foto Dok Ilustrasi

Noblesse Oblige Sang Pemimpin

Dalam sejarah peradaban umat manusia secara garis besar selalu muncul dua lapisan: elite dan massa; pemimpin dan pengikut. Stratifikasi ini terjadi dalam berbagai skala dan level. Terkait dengan strata yang pertama banyak nomenklatur yang dipakai bagi orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang, di antaranya: pemimpin, penguasa, raja, presiden, kaisar, dan sebagainya. Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin karena sang pemimpin membutuhkan orang-orang yang  dipimpinnya.

Dalam relasi antara dua lapisan tersebut tampaknya sang pemimpin yang kerap menempati posisi kontroversi dan menimbulkan polemik dalam dinamika kehidupan manusia. Gelombang protes dan aksi demo pun bisa merebak di mana-mana, baik di dunia maya maupun di alam nyata. Itulah misalnya yang terjadi sekarang ini terhadap Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, yang telah mengambil keputusan politik secara sepihak: Yerusalem menjadi ibukota negara Israel. Kecaman keras dan kritik pedas datang dari berbagai belahan dunia serta berbagai demonstrasi pun merebak di pelbagai penjuru bumi.

Jika pemimpin itu acapkali dipertanyakan dan digugat karena sering memicu kontroversi dan menimbulkan masalah yang kontraproduktif, lalus apa maknanya menjadi pemimpin?

Biasanya seseorang pemimpin menempati status sosial tertentu sebagai kelas elite atau termasuk the ruling class. Ada juga pandangan yang menyebutkan bahwa pemimpin itu bukan masalah kelas sosial atau kelompok khusus dalam suatu masyarakat atau bangsa karena yang penting adalah fungsi dan peran kontributifnya bagai masyarakat luas dan orang banyak.

Dengan kata lain, predikat sebagai pemimpin itu di samping menimbulkan kesan sendiri yang berkelas dan membanggakan, pada dasarnya menyiratkan beban dan tanggung jawab moril yang tidak ringan. Individu yang mempunyai kompetensi lebih dan kemampuan di atas rata-rata ini sepanjang zaman selalu ada menyertai laju sejarah dan arah peradaban umat manusia. Dengan kualitas dan kompetensi di atas rata-rata serta perannya yang menonjol, maka pemimpin memiliki akses dan kewajiban untuk menahkodai biduk sejarah  dan peradaban manusia. Tanpa kesadaran seperti ini maka sang pemimpin bisa terjerembab pada keangkuhan dan kediktatoran, merasa sebagai orang yang paling berkuasa dan penentu segala-galanya.

Boleh jadi untuk menemukan pemimpin yang hebat dan adil seperti yang dicontohkan oleh jungjungan kita Nabi Muhamamd Saw serta empat khalifah yang beroleh petunjuk ibarat mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Teramat sulit untuk menemukan sang pemimpin sebagai pelayan masyarakat luas (khadimul ummah) yang mengabdikan posisi dan status sementaranya itu untuk kebajikan publik dan kemajuan orang banyak.

Dalam konteks inilah terdapat pertautan noblesse oblige bagi sang pemimpin. Dalam leksikon, noblesse oblige berarti nobility obliges, the inferred obligation  of people of high rank or social position to behave nobly or kindly toward others (Webster’s New World Dictionary, 1991: 919).

Sesuai dengan strata dan tugas mulianya, maka sang pemimpin terkena aksioma ini sebagai kewajiban yang intrinsik dalam pengkhidmatannya yang tidak bisa dinegasikan. Sang pemimpin  adalah noble man karena gagasan tindakannya yang sarat pengabdian dan penuh ketulusan, bukan karena keturunan atau statusnya secara genealogis. Itulah noblesse oblige sang pemimpin, keningratan yang memberinya kewajiban. [asep p. bahtiar]

Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2018

Exit mobile version