Kader Muhammadiyah dan Buku

Kader Muhammadiyah dan Buku

Oleh: Feri Anugrah

SEWAKTU Sekolah Menegah Atas (SMA), guru saya pernah menasihati bahwa pelajar itu harus identik dengan buku. Saya tafsirkan, pelajar itu harus rajin membaca dan menelaah buku.

Ketika guru kami berkata seperti itu, belum ada yang namanya media sosial atau telepon seluler secanggih sekarang. Praktis, informasi hanya bisa kami dapatkan dari media cetak surat kabar dan tentu saja buku—selebihnya dari media lain, termasuk media televisi.

Tidak salah memang beliau berkata seperti itu karena beliau sendiri adalah pencinta buku sejati. Di rumahnya ribuan buku terpajang. Mungkin di kabupaten itu, beliaulah guru sekaligus ulama Muhammadiyah yang paling banyak koleksi bukunya. Bahkan, beliau punya rumah khusus untuk menyimpan ribuan bukunya. Memang luar biasa beliau ini!

Suatu waktu saya silaturahmi ke rumah beliau, wah banyak sekali buku di rumah beliau yang asri dan teduh ketika itu. Buku-buku beliau dari berbagai genre, terutama buku agama dan kitab kuning. Termasuk ada juga majalah “Suara Muhammadiyah” edisi reguler dan yang sudah dibundel.

Rupaya beliau cukup lama—mungkin—berlangganan majalah tertua di Indonesia ini. Bahkan majalah-majalah tersebut tetap rapi, bersih, enggak ada yang sobek, meskipun sudah lama dibaca. Keren sekali.

Kalau membaca buku, beliau selalu menyiapkan pensil untuk menggarisbawahi atau melingkari bahasan yang menarik dalam buku tersebut. Jadi, jangan kaget kalau buku-buku beliau selalu ada guratan pensilnya. Mungkin alasannya supaya mudah ditemukan dan sebagai penekanan bahasan.

Oh ya pergi ke mana pun, beliau selalu membawa buku di tasnya. Sering beliau menasihati kami ketika itu dalam kalimat motivasi yang lain yang kurang lebih seperti ini: “Bapak itu kalau berangkat kerja naik bus dari rumah selalu membaca buku di perjalanan.”

Ya, memang itu betul sekali. Itu adalah fakta. Ulama senior Muhammadiyah ini pencinta buku sejati dan menjadi contoh bagi kami murid-muridnya dalam mengakrabi buku. Bahkan menjadi contoh sekaligus teladan bagaimana seharus kader Muhammadiyah harus identik dengan buku.

Ketika beliau berbicara, nadanya tegas dan bernas. Apalagi kalau menjadi pemateri dalam pengajian bulanan atau pengajian-pengajian lain, bahasannya selalu mudah dipahami para jemaah, selalu ada informasi dan analisis yang baru, kutipan-kutipannya juga menarik, dan enak didengarkan.

Saya berasumsi, beliau seperti itu tentu saja karena kedalaman ilmu beliau dan juga karena “efek samping” beliau yang memang pencinta buku sejati. Tiada hari tanpa membaca.

Jadi motivasi

Waktu itu, buku koleksi saya masih sedikit. Ya sudahlah, saya perlahan-lahan mulai menyisihkan uang jajan untuk membeli buku. Kebetulah di depan sekolah saya ada sebuah toko buku milik seorang ustad (non-Muhammadiyah) yang punya paham agak sedikit ”berbeda” dengan Muhammadiyah.

Walaupun buku-buku di toko itu beraliran “keras” dan “kanan”, tetapi saya sering membeli buku dari toko tersebut. Tidak ada yang salah kan dengan apa yang saya lakukan? Toh sama-sama buku, sama-sama sumber ilmu dan informasi, serta sama-sama bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Selain buku, saya juga sering membeli dan membaca majalah yang terbit bulanan. Waktu itu, saya sering membeli majalah “Sabili” di pusat kota yang jaraknya dari sekolah saya sekira lima belas menitan kalau berjalan kaki. Cukup dekat.  Akhirnya koleksi buku dan majalah saya lumayan banyak.

Ketika lulus SMA dan kuliah di Bandung, kebiasaan membeli buku serta majalah terus berlanjut. Sebabnya, ketika aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), senior-senior saya ternyata koleksi bukunya banyak. Saya senang betul ketika itu. Saya bisa pinjam atau baca sepuasnya.

Lingkungan SMA dan kuliah, sama-sama mendukung saya untuk mengakrabi buku. Setidaknya saya bisa belajar mencintai buku dengan membacanya secara perlahan-lahan. Meskipun saya bukan pencinta dan kutu buku sejati yang koleksi bukunya sangat banyak.

Ketika diskusi atau kajian di sekretariat IMM, para senior sering mengutip pendapat A atau B yang bersumber dari buku. Wah itu kelihatan sangat keren sekali. Ketika itu, rasanya kurang pas kalau di sekretariat IMM tidak membaca buku, minimal membaca informasi dari surat kabar langganan.

“Gerakan keilmuan” ketika saya aktif di IMM memang terasa. Saya pun tersemangati oleh senior-senior yang memang pencinta buku sejati—meskipun ada juga yang kurang berminat dengan buku, dia hanya semangat kalau demonstrasi di jalanan, bagi dia, buku hanyalah barang aneh.

Pengaruh lingkungan

Ikut nimbrung di lingkungan yang suasana literasinya baik, saya kira harus kita lakukan. Jangan menjauhi lingkungan atau orang Muhammadiyah yang seperti itu. Ketik ada orang Muhammadiyah pintar, saleh, koleksi bukunya banyak, diskusinya menarik, orang semacam ini harus didekati. Minimal kita bisa meminjam buku atau menimba ilmu dari dia. Cukup praktis kan?

Bayangkan saat ini, ada sebagian orang untuk membaca buku saja enggak punya waktu, kecuali kalau mau ada ujian atau tes CPNS. Itu pun dilakukan dengan terpaksa. Saat ini, orang lebih asyik berselancar di media sosial sampai kadang-kadang lupa waktu dan abai terhadap pekerjaan.

Mau informasi apa pun ada di media sosial. Mau buku? Banyak. Mau ceramah agama? Juga banyak. Mau ini mau itu, semuanya ada di media sosial. Hanya, konsekuensinya, kita akan terpapar virus hoaks kalau tidak pandai memilih informasi dan berita yang jelas kebenarannya. Ini realitas yang sebenarnya.

Oleh karena itu, mengakrabi buku di era digital, sangat penting dilakukan karena buku saya pandang sebagai klarifikator yang baik mengenai sesuatu hal, di samping tentu bertanya kepada ahlinya. Namun kadang-kadang juga mengakrabi buku membikin kita kesal dan kelihatan kuno untuk sebagian orang.

Membawa dan membaca buku di bus kota, di gerbong kereta api, atau di halte bus, rasanya aneh. Kenapa? Karena semua orang di tempat-tempat itu sudah dipastikan “senam jari” dengam hapenya masing-masing. Foto-foto atau bikin konten untuk media sosial.

Ke mana bukunya? Dengan kondisi macam begini, apakah buku akan punah? Selama manusia membutuhkan kata-kata, selama itu pula buku akan tetap ada. Bahkan akan ada terus sampai hari kiamat kurang dua hari.

Membaca dan mencintai buku fisik di erat digital di negara yang daya baca masyarakatnya rendah, butuh perjuangan yang sangat luar biasa. Bahkan itu saya katakan sebagai perjuangan mahaberat.

Simpulan saya saat ini kita sebagai kader Muhammadiyah harus tetap akrab dengan media sosial, dunia digital, dengan tentu tidak boleh meninggalkan kebiasaan baik orang-orang pintar nan arif, yakni membaca buku. Jadi, sudah berapa banyak koleksi buku kita di rumah? Wallahu’alam.

Feri Anugrah, Kader Muhammadiyah, Berkhidmat di UMBandung

Exit mobile version