In Memoriam KH. Nasruddin Razak, Mantan Ketua PWM Sulawesi Selatan
Oleh : Nurhira Abdul Kadir
Sesungguhnya, saya merasa kerdil dan kecil untuk membuat tulisan kenang-kenangan kepada seorang kiai dari Persyarikatan Muhammadiyah yang begitu kharismatik seperti beliau, KH Nasruddin Razak. Saya sangat kuatir bahwa kelemahan ingatan akan masuk ke dalam catatan saya, malah menjadikan figure beliau terbaca “tak cukup”. Akan tetapi perasaan dekat kepada beliau, rasa kehilangan, cukuplah menjadi penuntun menuliskan ini. Mohon maafkan jika ada yang keliru, anggap saja catatan ini dibuat oleh seorang penonton di pinggir jalan yang karena begitu berdesakannya penonton di sekitarnya, tak dapat melihat seluruh cerita dengan baik.
Meskipun saya lahir dari keluarga blasteran ayah Muhammadiyah dan ibu Nahdhatul Ulama, lalu dikader di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), kedekatan saya dengan Muhammadiyah Sulawesi Selatan adalah sebatas IMM. Jika ditanya siapa pengurus Pimpinan Wilayah Muhammadiyah di masa tahun 90-an itu, yang saya tahu hanya satu, KH Djamaluddin Amien. Yang lain tidak.
Belakangan, mau tak mau, saya harus kenal dengan pucuk-pucuk pimpinan wilayah lantaran saya menikah dengan salah satu putra ideologis beliau, 10 Agustus 2003. Seorang pemuda yang sepanjang hidupnya setelah merantau lepas dari asuhan orang tua, menjadikan Muhammadiyah sebagai rumahnya dan pengurus-pengurusnya sebagai orang tuanya. Walhasil, nama-nama yang dulunya tak saya kenali adalah tokoh-tokoh yang mengambil peran di hari pernikahan kami: KH Jamaluddin Amin menjadi pemberi nasehat perkawinan, KH Nasruddin Razak menjadi saksi. Sementara KH M. Husain Unding, Lc., saat itu sebagai Ketua Muhamamdiyah Majene, adalah mewakili pihak keluarga mempelai pria.
Ketua PWM Sulsel pada masa kami baru-baru saja memulai karir dalam dunia rumah tangga pada tahun 2003 adalah KH Nasruddin Razak. Pada saat itu, saya bertugas sebagai dokter PTT di pedalaman Sulawesi barat, sementara suami tinggal di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jalan Perintis Kemerdekaan km 10 No 38. Saat putra pertama kami lahir, akikahnya pun di Gedung Muhammadiyah situ. Kami bertiga menghabiskan hampir keseluruhan masa cuti melahirkan saya di gedung itu. Dan saya lihat sendiri, sebagai ketua PWM, Kiai Nas berkantor hampir tiap hari.
Suatu ketika pada jam makan siang, pak Kiai Nas masih duduk di ruangan beliau. Kuatir setiap saat bisa dipanggil, saat saya sms bahwa makan siang untuk suami sudah siap, suami pergi berpamitan ke ruangan pak Nas, sambal basa-basi mengajak makan siang. Tiba-tiba tak disangka beliau betul-betul ikut berdiri. Suami pun akhirnya panas dingin sendiri, apak kira-kira yang dimasak istriku? Dan kalaupun ada, apakah bisa untuk tiga orang?
Ketukan di pintu tak biasanya, saya bergegas membuka, lalu dibisiki, ada Pak Nas akan makan siang dengan kita, bisiknya. Muka ini rasanya merah padam. Lauknya pun asal-asalan, dan ruangan pun awut-awutan. Kalang kabut saya merapikan ruangan seadanya dan menata makanan sebelum beliau masuk, ikut duduk dengan kami tanpa sedikit pun menunjukkan perubahan raut muka pada betapa sederhananya makanan yang disajikan.
“Saya tidak tahu kalau ibu dokter ada di sini.” ujar beliau.
“Bahkan lebih lagi harusnya saya tahu karena si kecil juga ada di sini.” Tunjuk beliau pada putra kami yang masih bayi merah.
“Tidak pernah ada suara bayi yang terdengar dari sini, sepertinya Ananda jarang sekali menangis.” lanjut beliau.
***
Saya beberapa kali datang ke rumahnya. Pertama, seingatku, saat salah satu putra beliau berulang tahun. Tahun 2004-an mungkin, saya kebetulan ada di Makassar, ijin dari lokasi tugas di pedalaman Polewali Mandar. Dengan motor honda warna merah, saya dibonceng suami menuju ke rumahnya dalam kompleks perumahan yang padat di wilayah Sudiang Kecataman Biringkanaya, Makassar.
Kami sempat mampir ke beberapa toko mainan, bingung hendak memilih hadiah apa yang kira-kira sesuai untuk anak laki-laki. Selepas membeli kado dari toko mainan, kami lanjut ke sana. Meskipun datang dengan motor, saya ingat bagaimana suami kesulitan mencari tempat memarkir motor. Masuk ke rumah beliau, keribetan yang tadi terasa saat mencari tempat parkir sirna. Teduh wajah kiai sepuh ini mengembang senyum. Serasa pulang ke rumah.
“Masuk, Fitra!” sapa beliau. KH Nasruddin Razak.
“Iya, Ustadz” suami saya merunduk mencium tangan Kiai Nas dengan penuh hormat.
Kunjungan itu, diikuti lagi dengan kunjungan lainnya. Boleh dikata, di setiap ada ‘alasan’ untuk datang, suami pasti mengajak saya ke sana. Motor honda tua kami semakin ringkih dan ringkih saja. Pertama ke sana berdua saja. Selanjutnya ketambahan satu anak, lalu dua anak, berempat di atas motor.
Pergi ke rumah kakek, demikian judul kunjungan kami ketika anak-anak mulai besar. Dan anak-anak berlaku serupa cucu di rumah kakek mereka di rumah Kiai Nas. Suatu ketika, ibu Nas bahkan menguras seluruh isi satu toples kue beliau lantaran setelah pamitan dan diminta naik duduk ke motor, salah satu bocah kami kembali lagi ke ruang tamu dan mengambil kue dari dalam toples yang belum diberesi.
Saat motor honda merah sudah sakit-sakitan dan tak bisa lagi jalan jauh. Gantinya, sebuah mobil Avanza perak. Seperti orang tua sendiri yang begitu senang anaknya akhirnya punya mobil, Kiai Nas dan Ibu sampai bela-belain keluar dari rumah menemani kami jalan ke mana kami memarkir mobil, ikut memastikan mobil kami bisa keluar dari jalanan kompleks yang rumit.
Terakhir ketemu langsung pak Kiai Nas adalah saat pamitan mau sekolah ke Wollongong, NSW. Beliau begitu sumringah. Seperti biasa tiap kami datang. Ibu juga, selalu ikut duduk bersama kami. Beliau bercerita tentang aktivitasnya masa pensiun, tetap mengurusi umat, menjawab konsultasi dan memberi pandangan terkait persoalan yang menimbulkan polemik di tengah masyarakat dalam berbagai forum. Tak urung mencerikan kisah-kisah masa lalu, kebersamaan dengan tokoh-tokoh mahasiswa yang adalah wajah-wajah yang dikenal luas dalam belantika keilmuan nusantara, Dr. Nurkholis Majid, dan nama lainnya.
Oleh pak Nas, dalam kesempatan itu, saya juga diminta agar jika sakit, banyak-banyak mengobati dengan bacaan-bacaan ayat Qur’an ke area tubuh yang sakit, sesuatu yang tak saya sangka-sangka akan diajarkan oleh seorang Kiyai Muhammadiyah.
Sebulan yang lalu, tercekat hati mendengar kabar bahwa rumah yang memiliki kesan yang dekat kepada kami itu, “rumah kakek” demikian anak-anak dulu menyebutnya habis dilalap api. Beberapa foto yang disebar di grup Whatsapp, tak mampu saya melihatnya lama-lama. Kursi-kursi antik di mana kami biasa duduk bersilaturahmi, rak-rak buku, tidak ada yang tersisa.
Dua minggu lalu, adik kami bertandang kepada beliau. Bukan di rumah itu, tetapi di rumah keluarga lainnya. Suami dengan segera membawa hape ke ruang belajar saya dan memastikan saya juga ikut terlibat dalam video call kami dengan beliau saat itu. Wajah yang terlihat begitu redha. Tak terlihat kesedihan. Seolah-olah musibah itu tak terjadi, sementara ibu yang duduk di belakang beliau, menahan tangis.
Senyum beliau mengembang senang mendengar kabar bahwa di sini kami tetap sibuk ber-Muhammadiyah. Lebih senang lagi mendengar bahwa suami menjadi ketua Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales. Suaranya mendadak lebih riang. Kabar ‘mengurusi Muhammadiyah” bahkan hingga ke tanah yang sejauh ini rupanya suatu hiburan yang menyenangkan untuk beliau. Seperti seorang guru yang mendengar muridnya meraih suatu pencapaian.
Innalillahi wainnailaihi rojiun, tak terduga, itulah kenangan terakhir yang akan tinggal dalam benak kami mengenai beliau. Tak ada kabar sakit. Tak ada kabar masuk rumah sakit. Allah menakdirkan bahwa gambaran terakhir yang akan kami lihat darinya adalah kegembiraan dan keriangan pada kabar mengurus umat. Gambaran pada ketabahan dan keredhaan terhadap takdir kehilangan yang hanya orang-orang yang betul-betul paripurna kepercayaannya pada ketentuan Tuhan yang dapat menjalaninya sedemikian tenangnya.
Selamat jalan ayahanda, KH Nasruddin Razak. Kepergianmu adalah kehilangan sekaligus pengingat pada kami yang masih tinggal. Bahwa salah satu obor amar ma’ruf, nahi munkar persyarikatan yang kemarin kau genggam sekuat-kuat kesanggupanmu, sepenuhnya kini berada di tangan kami. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi, wa’fuanhu.
Wollongong, 6 Agustus 2021
Nurhira Abdul Kadir, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar / Mahasiswa Program Ph.D. bidang Public Health, the University of Wollongong, Australia.