Hijrah: Momentum untuk Evaluasi Kepemimpinan

hidup

Foto Dok Ilustrasi

Hijrah: Momentum untuk Evaluasi Kepemimpinan

Oleh: Fahmi Salim

Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam UHAMKA

PPKM level 2-4 se-Jawa Bali kembali diperpanjang hingga 16 Agustus 2021. Karena, menurut pemerintah, PPKM berhasil menurunkan kasus Covid-19 hingga 59,6% dari puncak kasus. Sebelumnya, kasus Covid-19 terus mengalami peningkatan, bahkan Indonesia pernah berada di posisi tertinggi kasus kematian di dunia akibat virus Corona mencapai 1.449 kasus. Tentu, kita sangat prihatin sekaligus khawatir virus ini makin mengancam keselamatan warga.

Selain makin menggencarkan vaksin untuk mencapai Herd Immunity, pembatasan kegiatan masyarakat yang disebut PPKM ini juga dianggap sebagai solusi. Namun, di sisi lain PPKM berdampak serius terhadap kondisi ekonomi. Daya beli masyarakat makin menurun. Angka kemiskinan terus meningkat. Banyak pelaku usaha pun, terutama UMKM, terpaksa mengibarkan “bendera putih” akibat tak mampu lagi menanggung beban operasional.

Strategi pemerintah untuk kembali menggairahkan ekonomi begitu sangat dinanti. Tak cukup hanya memberikan bantuan tunai untuk masyarakat miskin. Selain dananya terbatas, tak mungkin mampu membuat masyarakat bertahan lama di tengah situasi sulit ini. Jangan ditanya soal aksi solidaritas masyarakat untuk saling membantu sesama saudaranya. Masyarakat Indonesia terkenal dengan jiwa sosial dan kedermawannya dalam kondisi sesulit apa pun.

Untuk membangun optimisme keluar dari krisis ini, negara harus dikomando dalam satu kepemimpinan yang solid dan terpercaya. Kebijakannya harus makin menenangkan masyarakat bukan memecah belah dan mempersulit rakyatnya. Para elit politik harus menjauh dari narasi kontestasi jelang Pilpres 2024.  Jangan lagi ketidakadilan dipertontonkan di tengah-tengah kita hingga melunturkan kepercayaan masyarakat. Saatnya, kita bersatu untuk keluar dari krisis.

Aktualisasi Hijrah

Maka, memasuki bulan Agustus ini jelang perayaan kemerdekaan RI harus dijadikan sebuah momentum evaluasi, sekaligus bagi umat Islam bertepatan dengan peringatan tahun baru Islam 1443 Hijriyah. Bulan Muharram ini salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Alloh, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa (Q.S. at Taubah :36).

Menurut Abdullah Ibnu Abbas RA, di bulan-bulan mulia ini kita dilarang untuk berbuat dzolim dan berbuat dosa. Karena, dosa yang dilakukan di bulan haram ini lebih besar dosanya dibandingkan bulan lainnya. Bahkan, Rasululloh menyebut Muharram sebagai bulannya Alloh, sebagaimana sabdanya. “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam” (HR. Muslim).

Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi, disunnahkan untuk berpuasa di hari Asyuro (tanggal 10 Muharram). Kemudian, ditambah untuk berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, untuk membedakan dengan kaum Yahudi. Karena, ketika datang ke Madinah, Nabi menyaksikan orang-orang Yahudi biasa berpuasa satu di hari di tanggal 10 Muharram, Mereka berkata, “Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan bala Firaun. Maka Nabi Musa berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah.” Rasululllah pun bersabda, “Aku lebih berhak mengikuti Musa daripada mereka”, Maka beliau berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa” (HR. Bukhari).

Memperingati tahun baru Islam jangan cuma perlombaan parade ucapan selamat dan doa para petinggi negara dan ulama. Di tengah Pandemi Covid-19 sudah saatnya para pemimpin (ulama dan umaro) makin tersadarkan dengan ujian berat ini untuk kembali kepada Alloh, salah satunya dengan menggali nilai-nilai hijrah Nabi dan mengalirkan energinya untuk membangun negeri ini.

Hijrah dalam beberapa ayat Al-Quran dan hadist nabi selalu digandengkan dengan kata iman dan jihad, Misalnya dalam surat Attaubah ayat 20, “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”.  Begitu pula disebutkan dalam hadist Nabi bahwa setan akan selalu menghadang manusia di tiga jalan, yaitu di jalan menuju Islam (iman), lalu di jalan menuju hijrah, kemudian menghadangnya sekali lagi di jalan menuju jihad (HR. Nasa’i).

Hijrah secara bahasa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hijrah bisa dimaknai secara fisik, seperti hijrah kaum muslim dari Mekah ke Habasyah atau hijrah nabi dari Mekah ke Madinah. Hijrah tempat ini tak perlu lagi kita lakukan. Sebab Nabi bersabda, “Tak ada lagi hijrah setelah fathu Makkah! Yang tersisa adalah jihad dan niat.” Dalam konteks Indonesia, kita wajib bersyukur bisa tinggal di Indonesia, negeri yang syiar Islam bisa ditegakkan dengan baik. Tak ada pelarangan untuk menjalankan syariat Islam, meskipun kita harus akui masih ada syariat Islam yang belum sepenuhnya kita perjuangkan secara konsekuen.

Hijrah harus difahami secara maknawi, yaitu meninggalkan kekufuran dan kesesatan, menuju cahaya keimanan. Karena itulah, hijrah merupakan sebuah transformasi diri, untuk mengubah akidah, pola pikir, akhlak, dan ibadah serta perjuangan, agar sesuai garis Al-Quran dan sunnah. Rasululloh bersabda, “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah” (HR Bukhari Muslim). Esensi hirah adalah perubahan. Setiap muslim wajib untuk mengubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Setiap saat, kita harus melakukan hijrah, karena diingatkan oleh Nabi bahwa hijrah belum berakhir hingga berakhirnya taubat, dan taubat tidak akan berakhir sampai matahari terbit dari barat.” (HR Ahmad, Abu Daud, Thabrani dan Baihaqi).

Hijrah Nabi menjadi titik balik kemenangan dakwah Islam. Diawali dengan baiat Aqabah, yaitu sumpah setia, dari beberapa orang suku Khazraj dan suku Aus dari Yatsrib. Setelah itu,  pengikut Rasulullah makin banyak. Inilah yang mengkhawatirkan kaum kafir Quraish, hingga mereka  merancang untuk membunuh nabi. Namun, Alloh menyingkap makar mereka dengan menurunkan wahyu-Nya, “dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS al-Anfal: 30).

Perjalanan hijrah Nabi sangat dramatis dan menegangkan. Saat itu para pemburu sempat mengejar Rasulullah hingga ke gua Tsur. Namun, mereka terkecoh melihat mulut gua tertutup dengan jaring laba laba. Mereka menganggapnya sebagai pertanda tak ada orang yang masuk ke dalam gua. Inilah cara Allah melindungi Nabi Muhammad. Sementara, Abu Bakar begitu ketakutan saat para pemburu berada di mulut gua, namun ditenangkan oleh nabi.

La Tahzan

“Hai Abu Bakar, jangan engkau bersedih (La Tahzan), karena Alloh bersama kita.” Itulah pesan Sang Rasul. Keyakinan bahwa Alloh pasti menolong hamba-Nya yang beriman terkadang hilang dari diri kita. Kita seringkali takut berlebihan bahkan paranoid terhadap pandemi Covid-19. Padahal, ketakutan yang berlebihan bisa menurunkan imunitas tubuh, sebagai senjata utama untuk melawan berbagai virus. Tapi, selain modal keimanan yang kuat, kita pun tetap harus menjalankan sunatulloh menjaga diri dengan melaksakan protokol kesehatan. Rasululloh pun ketika berhijrah merencanakan dan menerapkan strategi yang matang dengan menempuh rute berlawanan kemudian bersembunyi di gua Tsur, menyiapkan perbekalan, menyewa penunjuk jalan dan sebagainya. Setelah itu, bertawakkal kepada Alloh dan mengharapkan pertolongan-Nya.

Umat Islam adalah mayoritas penduduk di Indonesia. Para pemimpin di negeri ini sebagian besar lahir dari rahim keluarga muslim. Tapi, kenapa kita belum bisa menjadi umat terbaik yang pantas menjadi saksi dan teladan umat manusia? Kenapa kita gemar saling menghujat untuk melampiaskan amarah dan fitnah baik kepada sesama bahkan kepada para pemimpin kita? Kenapa kita makin terpuruk hanya karena jasad renik yang Alloh ciptakan berupa virus Covid-19?

Maka, saatnya kita mengevaluasi diri. Kita harus berani jujur, hingga detik ini kita tidak bisa amanah untuk mengelola negeri yang berlimpah kekayaan alam ini. Kita tidak bisa menegakkan keadilan yang menjadi syarat terciptanya persatuan. Kita tidak mencintai saudara kita, sebagaimana kaum Anshor terhadap Kaum Muhijirin. Kita banyak tergoda oleh syahwat harta dan kekuasaan. Karena negeri yang penuh berkah itu adalah negeri Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghaffur, yaitu negeri yang pemimpin dan rakyatnya tidak berpaling dari peringatan Alloh. Mereka teguh dalam keimanan dan ketakwaannya.

Semoga peringatan tahun baru Islam menjadi momentum untuk berhijrah, yaitu kita semua berkomitmen untuk memperbaiki diri. Setidaknya dimulai dari diri sendiri dan keluarga kita. Lalu, kita mendoakan para pemimpin kita dengan sekuat tenaga beramar makruf nahi munkar, agar mereka ikut tergerak untuk memperbaiki diri dalam amanah kepemimpinannnya. Karena parade doa dan istighosah untuk keselamatan bangsa dan negara akan sia-sia, ketika kita tidak berusaha menasehati dan memberikan peringatan. Bukankah setiap hijrah para Nabi selalu diawali dengan Qum fa Andzir, bangkitlah dan berikan peringatan? Baru setelah itu, wa li Rabbika fashbir, kita bersabar terhadap keputusan Allah yang akan menimpa kita.

Wallohu A’lam 

Exit mobile version