Mengenang 2 AR, Tokoh Besar Muhammadiyah

Buya AR Sutan Mansur dan Pak AR Fakhrudin

Mengenang 2 AR, Tokoh Besar Muhammadiyah, Buya AR Sutan Mansur dan Pak AR Fakhrudin

Oleh: Masud HMN

Dalam Muhammadiyah ada dua tokoh yang namanya berawal AR. Pertama AR Sutan Mansur atau Abdul Rasyid Sutan Mansur yaitu ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1953-1959 asal Maninjau Sumatera Barat dan yang kedua AR Fakhrudin atau Abdul Razak Fakhrudin ketua umum Muhammadiyah 1968-1990 asal Kauman Yogyakarta. Dua tokoh ini bersahabat meski AR Sutan Mansur lebih tua usia. Mereka berkontribusi besar dalam berkhidmat terhadap organisasi Muhammadiyah

Sehingga ada ungkapan dalam Muhammadiyah yaitu Muhammadiyah dilahirkan di Kauman Yogyakarta dan dibesarkan di Minangkabau. Ini menjelaskan literasi symbol peran mengembangkan organisasi sosial kegamaan yang berlambang matahari itu pada periode di belakangnya. Yakni berdirinya Muhammadiyah tahun 1912 di Yogyakarta hingga kini tetap eksis dengan amal usahanya di seluruh Indonesia.

Dua tokoh ini AR Sutan Mansur dan AR Fakhrudin tak syak lagi menjadi peletak dasar kemajuan Muhammadiyah lintas wilayah, suku dan tradisi. Sutan Mansur berkontribusi pada membangun kepribadian Muhammadiyah, sementara AR Fakhrudin dakwah kelembutan dan kesejukan. Keduanya dengan fungsi Muballigh yang aktif berkeliling mengunjungi wilayah Indonesia, telah berjasa besar memberi pencerahan warga Muhammadiyah dan umat Islam.

Jika ditelusuri aktivitas kedua tokoh ini kita menemukan sukses mereka sebagai Muballigh Muhammadiyah. Hampir semua pengurus wilayah mengenal mereka. Banyak wilayah mereka kunjungi, mulai Sumatera, Kalimantan Sulawesi dan Nusantara bagian wilayah Timur.

Nah, temuan ini selayaknya menjadi warisan beharga yang dilanjutkan. Muhammmadiyah dibesarkan oleh para Muballignya dan Muhammadiyah akan kehilangan aktualisasi organisasi tanpa Muballigh.

Mitsuo Nakamura, seorang intelektual asal Jepang telah mencoba menguraikan analisisnya bagaimana Muhammmadiyah lahir berkembang dalam masyrakat yang berubah mengikuti lintasan tonggak sejarah.

Nakamura dalam bukunya berjudul Bulat sabit Diatas Pohon Beringin yang terbit tahun 1985 itu kemudian menjadi referensi penting untuk mengikuti fase pemikiran modern Islam di Indonesia, Muhammadiyah khususnya.

Dalam pandangan Nakamura, motivasi mengangkat judul Bulan Sabit Diatas Pohon Beringin itu – terbit teakhir 2017– berbasis anggapan dasar bahwa bulan sabit adalah konsep Islam modern. Sementara pohon beringin adalah simbol tradisional Jawa.

Hasil penelitian di Kota Gede Yogyakarta dilakukan cukup lama, sehingga analisis yang dilakukan cukup kuat. Terutama pergumulan pikiran tradisonal Jawa dengan modernisasi Islam yang ditawarkan Muhammadiyah menemukan bentuknya. Pemikiran Islam modern “memenangkan” pergumulan pemikiran tradisional masyarakat Jawa masa itu penuh dengan takhyul, khurafat, syirk, dan bid’ah.

Disini, kita temukan bahwa peran Muballigh Muhammadiyah dengan konsep Islam Modern, telah berfungsi sebagai platform titik temu Muhammadiyah dengan masyarakat luas. Intinya melaksanakan kegiatan di masyarakat. Pembangunan mengembangkan Islam dalam berbagai segi kehidupan. Kita kini bersyukur dengan kemajuan yang telah dicapai

Tetapi tidak berarti Muhammadiyah akan sukses selamanya. Keadaan bisa saja berubah, musim beralih. Hari ini panas esok mungkin hujan. Menjadi tantangan generasi kini untuk menjawab tantangan dimaksud.

Seperti firman Allah dalam al Quran

Watilkall ayyami nudawiluha bainannnas…….

Kami edarkan masa diantara manusia

(Al-Quran surah Ali Imran, 140)

Ayat ini memberi peringatan bahwa keadaan masa yang berubah, bukankah terdapat tanda-tanda Islam mulai disudutkan di negeri ini. Fenomena maksiat, ketidakjujuran, hilangnya perilaku sopan santun terus terjadi. Bisa saja Islam tak dipedulikan lagi.

Kita harus menyadarinya, bahwa ada ungkapan Islam tidak akan hilang di dunia mungkin tidak. Tetapi Islam bisa saja mundur dan lenyap di bumi Indonesia jika umat Islam tidak membangun kekuatan dan menjaga eksistensinya.

Dalam kaitan itu peran dakwah lewat Muablligh yang telah dirintis Buya AR Sutan Mansur dan Buya AR Fakhrudin perlu kita kenang dan kita teruskan. Kita membangun pola keluasan faham keagamaan dengan meneladani beliau seraya mengairahkan daya juang sebagai pelanjut bengkalai perjuangan organisasi yang mereka tinggalkan. InsyaAllah

Dr Masud HMN, Dosen Pascsarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Exit mobile version