Konsep Musyawarah Menurut Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A
Pembaca akan disuguhkan analisis dari penulis mengenai konsep musyawarah pandangan Prof. Dr. K.H Yunahar Ilyas, Lc., MA yang termaktub dalam buku Kuliah Akhlak Sub. Akhlak dalam bernegara. Munculnya pelbagai permasalahan dalam tingkat pucuk daun sampai grass root tidak lepas dari pola komunikasi yang kurang baik, bahkan cenderung abai terhadap protokol musyawarah sesungguhnya. Dalam artikel ini penulis mencoba memaparkan konsep-konsep dasar yang dapat dijadikan rujukan permulaan dalam membangun sebuah tatanan masyarakat yang komunikatif namun tetap berasas adab dan ilmu dalam Islam. Marilah pembaca budiman untuk menyimak ulasan ini.
Definisi Musyawarah
Dalam segi etimologis Prof. Yunahar memberikan definisi musyawarah yaitu bermula dari makna mengeluarkan madu dari sarang lebah bersandar dari kata syawara. Makna ini kemudian berkembang secara kontekstual menjadi: mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain-termasuk pendapat. Prof Yunahar juga meneruskan penjelasan ini dengan memberi garis penekanan, beliau menekankan bahwa kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik sejalan dengan makna dasarnya. (Yunahar Ilyas 2012, 229).
Dalam kaidah Bahasa Arab Prof. Yunahar menjelaskan bahwa kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara dari jenisnya termasuk dalam kata kerja yang yang berisfat dialogis bukan monologis atau dalam bahasa arab termasuk dalam kata kerja Mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik). Anggota musyawarah bebas mengutarakan pendapat yang ada dalam benaknya, harapannya dari dialog dalam musyawarah adalah dapat menginventarisir kelemahan dalam pendapat kemudian mengevaluasinya sehingga ketika memutuskan suatu perkara tak nampak kelemahannya. (Yunahar Ilyas 2012, 229).
Singkatnya, musyawarah secara bahasa (etimologis) diambil dari kata syawara mempunyai arti mengeluarkan madu dari sarangnya, secara kontekstual berkembang menjadi segala sesuatu yang dapat dikeluarkan dari yang lain termasuk juga pendapat. Musyawarah itu bersifat dialogis tidak monologis. Salah satu faedah dalam musyawarah adalah dapat menutupi kelemahan dalam pendapat sehingga ketika memutuskan suatu perkara tidak ada cacat di dalamnya.
Urgensi Musyawarah
Dalam makna musyawarah terdapat sesuatu yang sangat penting. Islam sangat memperhatikan dasar musyawarah ini, bersandar dari kalamullah tertuang dalam surat asy-syuraa’ ayat 37-38 bahwasanya syura mempunyai hubungan erat dengan shalat dan nahyi munkar, bukan sekadar mengemukaan pendapat kemudian disetujui bersama namun ada nilai-nilai islam yang lebih dalam yaitu shalat dan nahyi munkar. Allah Azza Wa Jalla berfirman:
Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji apabila mereka marah, mereka memberi maaf,. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-nya dan mendirikan Shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S. Asy-Syura: 37-38).
Dari ayat diatas Prof. Yunahar memberikan penjelasan bersandar dari tokoh Islan bernama Taufiq asy-Syawi penulis buku Syura Bukan Demokrasi cetakan Gema Insani tahun 1997 yang diterjemahkan oleh Dajamaludin Z.S, beliau memberikan penjelasan sebagai berikut: Dalam ayat diatas, syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam diturunkan sesudah iman dan shalat. Menurut Taufiq asy-Syawi, hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat sesudah ibadah shalat, sekaligus memberikan pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatanya sama dengan shalat dan zakat.Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah (Yunahar Ilyas 2012, 230).
Tak sampai disitu saja, Prof. Yunahar melanjutkan penjelasannya mengenai ayat diatas dengan mengambil penjelasan dari Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Ushul ad-Da’wah cetakan Baghdad di tahun 1976. Prof. Yunahar menegaskan:Abdul Karim Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah adalah ummat dan kewajiban Imam atau pemimpin. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk bermusyawarah dengan para sahabat (Yunahar Ilyas 2012, 230).
Menelaah dua penjelasan Prof. Yunahar mengenai musyawarah, beliau mengutip Q.S Asyu-Syura ayat 37-38 kemudian memberikan penjelasan dengan bersandar dua tokoh yaitu Taufiq Asy-Syawi dan Abdul Karim Zaidan. Dari penjelasan dua tokoh tersebut Prof. Yunahar terlihat mengambil sikap bahwa musyawarah menempati derajat ketiga setelah iman dan shalat, dari sikap ini sangat jelas bahwa musyawarah adalah hal yang sangat penting dan penuh nilai kesakralan. Dapat dianalisis bahwa musyawarah akan bermakna jika para pelakunya ahli dalam Iman dan ahli dalam Shalat bahkan lebih tegas lagi dua syarat untuk musyawarah adalah beriman dan melaksanakan sholat.
Prof. Yunahar menegaskan kembali perihal musyawarah dengan kisah perang Uhud yang diterdokumentasikan dalam al-Qur’an surat Ali-Imran: 159. Dalam konteks perang Uhud ini pasukan Islam hampir mengalami kehancuran disebabkan pasukan pemanah yang kurang patuh dengan hasil musyawarah sebelum perang. Namun Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dalam menindak kejadian ini. Selanjutnya, penegasan mengenai musyawarah dianalogikan oleh Abdul Qodir Abu Faris dengan analogi, Rasulullah adalah orang yang ma’shum, meskipun Beliau ma’shum tetapi beliau tetap melaksanakan musyawarah dengan para sahabat.(Yunahar Ilyas 2012, 230) Ini sebuah renungan untuk kita bersama bagaimana dengan kita?
Dimensi Musyawarah
Aspek-aspek yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan terbatas tidak bebas, ini bersandar dari penjelasan Prof. Yunahar, beliau menjelaskan: “Berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya, dimana segala sesuatu bisa dan harus dimusyawarahkan supaya terwujud kehendak mayoritas dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat, maka Islam memberikan batasan-batasan hal-hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan. Karena musyawarah adalah pendapat orang, maka apa-apa yang sudah ditetapkan nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat tidak boleh mengungguli nash (Yunahar Ilyas 2012, 232).
Menelaah pemaparan Prof Yunahar mengenai dimensi yang boleh dimusyarahkan, beliau memulai dengan kalimat pembeda yaitu penegasan musyawarah bukanlah demokrasi karena terdapat berbedaan sangat mendasar antara keduanya. Demokrasi berasaskan kebebasan berpendapat menuju daulat rakyat namun musyawarah mempunyai batasan nash Islam, dengan prinsip musyawarah adalah ijtihad manusia maka tidak elok jika lebih meninnggi darinya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Maka jelas posisi musyawarah tidak sama dengan demokrasi, hanya dalam pelaksanaan sekilas hampir sama namun prinsipnya sangat berbeda.
Ranah musyawarah adalah ranah yang bersifat ijtihadiyah. Ini dicontohkan oleh para sahabat jika mendapati sebuah urusan dan diminta untuk mengemukakan pendapat maka Rasulullah-lah yang menjadi public figure utama ketika itu. Lalu apa yang diutarakan sahabat ketika hendak mengemukaan pendapat?, ialah bertanya kepada Rasulullah apakah hal yang dibicarakan ini sudah Allah wahyukan atau sudah di-ijtihad-kan Rasul?, jika ternyata dalam ranah ijtihad Nabi, maka barulah mereka mengemukaan pendapat (Yunahar Ilyas, 2012, 232).
Prof Yunahar mensitir ayat qur’an, wa syawirhum fi al-amr, wa amruhum syura bainahum. Menurutnya kata al-amr mengandung arti common problems yaitu masalah-masalah yang menyangkut kepentingan atau nasib anggota masyarakat yang bersangkutan, dalam pernyataan ini Prof. Yunahar merujuk kepada buku Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci karya Dawam Rahardjo terbitan tahun 1996 (Yunahar Ilyas, 2012, 232).
Dalam hal Common Problems dibutuhkan konsesus bersama sebagai hasil dari amaliyah musyawarah, Prof Yunahar mengambil contoh konsessus bersama dalam level keluarga yaitu kesepakatan suami-isteri dalam hal penyapihan bayi sebelum umur dua tahun berlandaskan kepada surat al-Baqarah ayat 233, Allah berfirman: “…apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduannya…”. (Yunahar Ilyas, 2012, 233).
Telah terang dari penjelasan di atas, bahwa paling tidak penulis menemukan beberapa temuan penting yaitu: pertama musyawarah bukan demokrasi, kedua musyawarah lingkupnya adalah Ijtihadiyah namun tetap dalam panduan langsung Rasul, ketiga musyawarah adalah salah satu jalan dalam menyelesaikan common problems dengan mengasilkan konsesus bersama atau kesepakatan bersama dengan tetap pada prinsip syari’ah.
Aksiologi Musyaawah
Setelah penulis mengupas definisi, urgensi, dan dimensi musyawarah sekarang penulis melanjutkan pembahasan bagaimana teknis musyawarah yang dicontohkan oleh Rasulullah. Tatacara musyawarah serta keharusan mengikuti, menentukan jumlah anggota musyawarah tidak ada nash yang menerangkannya dari al-Qur’an maupun Hadith. Namun Rasulullah mencontohkan teknis musyawarah ternyata sangat variatif tidak monoton. Setidaknya Prof. Yunahar memberikan tiga contoh yang dikerjakan Rasul. Pertama kadang kala seorang memberikan pertimbangan kepada Beliau, lalu Beliau melihat pendapat itu benar, maka beliau mengamalkannya. Pendapat ini dikemukaan melihat kejadian pemilihan tempat strategis ketika perang Badar yang diusulkan oleh al-Hubaib al-Mundzir. Kemudian kejadian yang sama ketika Salman al-Farisi mengusulkan strategi perang dengan menggali parit atau perang Khandaq. Kedua kadang-kadang beliau musyawarah dua atau tiga orang saja. Kebanyakan yang diajak musyarawah adalah Abu Bakar dan Umar. Ketiga kadang juga beliau bermusyawarah dengan seluruh masa melalui cara perwakilan setiap masa, seperti dalam perang Hunain tentang harta rampasan dan permohonan bantuan melaui utusan Hawazin. Penjelsan ini bersandar dari keterangan Muhammad Abdul Qodir Abu Faris seperti yang Prof Yunahar kutip dalam bukunya (Yunahar Ilyas 2012, 233).
Dalam mengambil istinbath bahwa musyawarah sangat fleksibel dan dibutuhkan proporsional dalam melaksanakannya, meskipun fleksibel tetapi tidak menafikan manfaat awal dari musyawarah yaitu menentukan keputusan terbaik sesuai dengan kondisi, disamping itu musyawarah juga memiliki faidah memperkuat ukhuwah al-Islamiyah dan rasa tanggungjawab bersama. Selanjutnya, Prof. Yunahar memberikan tujuh keutamaan dalam musyaawarah yaitu mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindarkan celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati dan mengikuti atsar, rumusan ini bersandar kepada perkataan Ali bin Abi Tholib yang tertuang dalam buku Abdul Qodir Abu Faris (Yunahar Ilyas 2012, 234).
Etika Musyawarah
Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan maka dalam pemabahasan ini akan mengungkan bagaimana sikap dalam bermusyawarah. Allah sudah memberikan irsyadat melalui Surat Ali Imran: 159 terkandung di dalamnya adab dalam bermusyawarah. Pertama lemah-lembut terhindar dari konfrontasi yang bernada perkataan kasar agar mitra musyawarah tidak beranjak dari majlis. Kedua pema’af, persiapan utama dalam melaksanakan musyawarah adalah mental yang pema’af karena dalam dinamika musyawarah tidak memungkinkan akan berhadapan dengan perbedaan pendapat atau keluar perkataan yang akan menyinggung pihak lain. Maka dari itu mental pema’af harus dihadirkan dalam musyawarah. Terakhir ketiga, mohon ampunan kepada Allah SWT. Untuk mencapai hasil maksimal hubungan harmonis dengan anggota upacara haruslah baik lebih-lebih kepada sang Khaliq, maka dalam setiap musyawarah hubunhgan dengan sang Khaliq harus selalu terkoneksi kuat tanpa lengah yaitu dengan membersihkan diri selalu memohon ampun kepada Allah SWT untuk diri sendiri maupun untuk jamaah anggota musyawarah ketika itu (Yunahar Ilyas 2012, 234).
Epilog
Demikian pembahasan mengenai musyawarah dalam perspektif Prof. Yunahar, tidak berlebihan bahwa beliau dalam mengutarakan argumennya bersandar kepada sumber yang otoritatif dan dapat meramunya dengan baik sistematis serta adil. Sehingga penulis merasa dimudahkan dalam menganalisa kajian musyawarah ini. Sebagai penutup, penulis mensarikan dari definisi, urgensi, dimensi, aksiologi dan etika musyawarah. Bahwasanya musyawarah pada intinya adalah mencari sesuatu yang paling baik dan bukan demokrasi yang bebas, dalam sisi urgensi musyawarah mempunyai dua syarat yaitu beriman dan melaksanakan sholat. Selain itu, ini menandakan nilai tinggi sakralitas dalam musyawarah. Dalam sisi dimensi sudah barang tentu dalam ranah Ijtihadiyah tidak melampaui Nash Islam. Kemudian dalam aksiologi dan etika, musyawarah sangat menjunjung komunikasi sesuai porsi serta komunikasi harmonis dalam menentukan keputusan. Wallahu ‘alam bish showab.
Alvin Qodri Lazuardy, Founder Majelis Budaya Ilmu Tegal (MABIT) dan Pengasuh PP. Muhammadiyah Ahmad Dahlan Kab.Tegal
Sumber: Prof. Dr. K.H Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: LPPI UMY, 2012