Makna Beragama yang Memudahkan dan Menggembirakan

Makna Beragama yang Memudahkan dan Menggembirakan

Riuh rendah pandemi covid-19 ternyata bukan hanya soal dampak wabah itu terhadap kesehatan dan ekonomi tetapi juga menyentuh aspek keagamaan. Betapa tidak, dalam rangka mencegah penularan covid-19 itu pemerintah melakukan berbagai pembatasan dan salah satu yang dibatasi adalah aktivitas peribadatan yang mengumpulkan atau menyebabkan berkumpulnya orang banyak. Shalat Jama’ah di masjid dan musholla yang sebelum pandemi berjalan normal tanpa hambatan, kini dibatasi hanya lima puluh persen, bahkan di wilayah yang masuk zona merah dilarang dilakukan.

Bukan melarang shalatnya, tetapi yang dilarang shalat berjama’ah di masjid, dan sebagai gantinya shalatnya disuruh sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Dalam dua kali Idul fitri dan Idul Adha, tahun 1441 H dan 1442 H umat Islam dianjurkan untuk melaksanakannya juga di rumah masing-masing, tidak dianjurkan di lapangan terbuka ataupun masjid. Bukan hanya shalat Id, namun ibadah haji yang sudah sangat ditunggu-tunggu oleh sebagian besar umat Islam selama dua tahun ini tidak dibuka secara luas oleh pemerintah Arab Saudi kecuali hanya terbatas saja.

Sebenarnya bukan hanya umat Islam saja yang mengalami pembatasan dalam peribadatan. Mereka yang non-Muslim mengalami hal yang sama. Peribadatan rutin terutama misa mingguan bagi umat Katholik juga dibatasi kapasitasnya. Di beberapa daerah yang masuk zona merah dilarang dan misa diarahkan untuk dilaksanakan secara daring. Upacara keagamaan umat Hindu dan Budha juga mengalami hal yang sama. Intinya tidak jauh berbeda, dibatasi kapasitasnya atau dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan secara daring jika memungkinkan atau peribadatan cukup dilaksanakan di rumah masing-masing.

Dalam menghadapi dan menerima kebijakan pembatasan aktivitas peribadatan itu masyarakat umumnya terbelah. Ada yang menerima kebijakan itu dengan alasan-alasan rasionalnya, namun tidak sedikit pula yang tidak  bisa menerima atau setidaknya kurang sependapat. Bagi yang bisa menerima umumnya memahami bahwa wabah pandemi itu memang betul-betul nyata dan oleh karenanya pembatasan perbadatan bisa dipahami sebagai ikhtiar untuk mencegah penularan wabah yang lebih besar.

Bagi yang menolak atau tidak sependapat beralasan bahwa soal ibadah adalah persoalan azasi bagi setiap orang beragama yang jika tidak sesuai dengan ajaran syariat agama maka bisa menyebabkan ibadah tidak diterima atau terasa kurang afdhol jika segala ketentuannya tidak sama persis dengan apa yang diajarkan. Lebih-lebih ada yang berpandangan, justru ketika bencana terjadi maka harus semakin intens dalam beribadah dan berdoa kepada Tuhan supaya wabah segera berakhir. Karena itu jangan dilarang-larang atau dibatasi.

Silang sengketa dan riuh rendah menanggapi kebijakan ibadah di masa pandemi ini bisa kita lihat dan  rasakan dalam dunia maya terutama di sosial media dan pemberitaan media. Bermunculan hujatan kepada pemerintah yang dinilai berusaha menjauhkan umat dari agamanya sampai menuduh bahwa pemerintah telah disusupi ideologi anti agama. Sosial media dipenuhi dengan konten hoax, baik dalam bentuk foto, video, ujaran atau tulisan yang tujuannya untuk membangun opini bahwa wabah adalah akal-akalan pemerintah untuk mengkebiri kebebasan beragama yang ujungnya akan menghapus agama dari bumi pertiwi.

Semua kebijakan yang beririsan dengan persoalan agama selalu dicurigai sebagai cara halus dan perlahan untuk menghancurkan agama. Bahkan kebijakan pemunduran atau pengurangan libur hari raya keagamaan yang maksudnya untuk mengurangi mobilitas masyarakat supaya tidak menjadi cluster baru wabah covid-19 dicurigai sebagai upaya tidak menghargai dan menghormati hari besar keagamaan. Padahal yang digeser bukan tanggal dan hari besar keagamaannya namun yang digeser adalah hari libur untuk memperingati hari besar keagamaan tersebut.

Beragama itu Ringan

Manusia terkadang memang aneh. Ada jalan yang mudah namun malah memilih jalan yang susah dan terjal. Sering mengeluh terhadap beban yang diberikan, tetapi begitu diberikan kemudahan namun lebih memilih beban yang berat dan terkadang malah memilih yang lebih berat lagi. Padahal agama itu mudah, tidak menyulitkan dan tidak memberikan beban yang diluar kemampuan manusia. Allah SWT sekali-kali tidak pernah menuntut seorang hamba untuk melakukan suatu perbuatan di luar kemampuan hamba tersebut. Dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 286 Allah menegaskan hal tersebut :

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ …

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang dikerjakannya…” (QS.Al-Baqarah (02): 286)

Banyak contoh yang ditunjukkan dan dilakukan oleh Rasulullah SAW tentang ringannya beragama terutama dalam soal peribadatan. Dalam Islam shalat lima waktu itu hukumnya wajib bagi umat Islam, tidak boleh ditinggalkan. Tatacara (kaifiyat) shalat juga telah dijelaskan dan dicontohkan. Kaifiyat shalat itu harus dilakukan secara tertib dan teratur. Kalau tidak, maka shalatnya menjadi tidah sah. Shalat yang tidak sah berarti tidak diterima oleh Allah SWT. Namun bagi mereka yang karena kondisinya tidak bisa melaksanakan shalat sesuai ketentuan yang telah ditetapkan itu, Allah berikan rukhsah (keringanan/dispensasi) kepadanya.

Shalat harus dilaksanakan dengan berdiri secara sempurna, tetapi bagi orang yang tidak bisa berdiri sempurna karena sakit atau alasan lain yang syar’i, ia bisa melaksanakan shalat dengan cara duduk. Jika tidak bisa duduk, ia bisa melakukannya dengan cara berbaring dan menggunakan gerakan yang sebisa dia lakukan. Kalau dengan berbaring dan menggerakkan anggota badan ia juga tidak mampu, maka ia bisa melakukannya dengan isyarat. Kewajibannya tetap namun pelaksanaanya bisa ringan dan mudah sesuai dengan kondisi dan situasi.

Berpuasa di bulan Ramadhan bagi setiap mukmin yang mukallaf adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar. Namun demikian bagi mereka yang sedang sakit dan karena sakitnya itu bisa bertambah parah jika berpuasa atau sedang bepergian yang jaraknya secara syar’i cukup bisa dijadikan rukhsah, maka mereka boleh tidak berpuasa dan menggantianya di hari lain. Bagi perempuan yang hamil dan menyusui yang khawatir terhadapat perkembangan janin dan bayinya jika berpuasa boleh tidak berpuasa dan bisa menggantinya dengan membayar fidyah. Orang tua yang sudah renta dan lemah, boleh tidak berpuasa dan kewajiban puasanya bisa  diganti dengan membayar fidyah. Ringan, mudah dan ada dispensasi.

Mari kita lihat peristiwa yang dijelaskan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang seseorang yang tergopoh-gopoh setengah agak malu menghadap Rasulullah dan mengakui kesalahannya karena telah menggauli istrinya di siang hari di bulan Ramadhan. “Celakah saya Ya Rasul, karena saya telah menggauli istriku di siang hari di bulan Ramadhan” Maka Rasulullah SAW memberikan pilihan kaffarat (hukuman) kepadanya tiga hal. Yang pertama Rasul memerintahkannya untuk memerdekakan seorang hamba sahaya. Maka orang itupun mengatakan bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk memerdekakan seorang hamba sahaya.

Rasulullah tersenyum. Maka diperintahkannya orang itu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut, lalu ia menjawab bahwa ia orang yang lemah dalam agama, jangankan puasa dua bulan, puasa satu bulan saja ia telah melakukan pelanggaran. “Saya tidak sanggup ya Rasul”, katanya.  Lagi-lagi Rasulullah tersenyum saja dan Beliau tidak marah. “Kalau begitu kamu harus memberi makan fakir miskin sejumlah 60 orang”, kata Rasul. Orang itu mengatakan, “Bagaimana mungkin saya memberikan makan kepada 60 fakir miskin, saya sendiri susah mendapatkan makan untuk diri sendiri dan keluarga saya”. Rasulullah tersenyum, dan Beliau juga tidak marah.

Lalu rasul memberikan sekeranjang kurma untuk orang tersebut seraya berkata “ Kalau begitu bawalah kurma ini dan berikan kepada orang yang paling miskin di sekitar tempat tinggalmu”, orang itu menjawab dengan agak tersipu, “Ya Rasulullah tidak ada orang yang lebih miskin dariku di tempat tinggalku”. Mendengar jawaban yang ketiga ini Rasulullah pun tersenyum agak terbahak, lalu Beliau perintahkan orang itu untuk pulang dan membawa sekeranjang kurma itu untuk diberikan kepada keluarganya. Orang itupun pulang dengan sukacita dan berurai air mata karena ternyata ia bisa mendapatkan maaf atas segala kesalahan sekaligus mendapat limpahan cinta dari orang yang sangat dihormatinya.

Riwayat di atas menggambarkan betapa Rasulullah SAW sendiri mencontohkan sikap wisdom (bijak) dan tidak mudah menghakimi seseorang walapun orang itu secara terang-terangan melakukan pelanggaran terhadap syariat agama Islam. Bayangkan, jika seandainya Rasulullah tidak bersikap bijak dan bersikap sebaliknya yaitu menetapkan bahwa ia telah melakukan perbuatan dosa besar yang tidak termaafkan karena tidak bisa membayar kaffarat.

Boleh jadi orang itu akan bersedih hati sepanjang hidupnya dan merasa hidupnya tidak berarti di hadapan Allah SWT. Atau bisa jadi sebaliknya, akan meninggalkan agama yang diyakininya karena agamanya membuat dia semakin berat dan tertekan serta merasa dosanya tidak termaafkan. Dia akan lari dari agamanya karena ia menilai Tuhanya adalah Tuhan yang kejam yang tidak memiliki sifat pengasih dan pemaaf.

Begitulah Rasulullah mencontohkan dalam mengajarkan agama. Tidak saklek, tidak hitam putih, dan tidak melulu soal halal haram. Ini tidak seperti yang banyak dilakukan oleh beberapa pendakwah belakangan ini yang mengajarkan agama seolah-olah agama itu methenteng terus, kalau tidak begini ya begitu, kalau tidak surga ya neraka, kalau tidak halal ya haram. Wajar jika kemudian efeknya tidak selalu seperti yang diharapkan. Ada memang yang kemudian menjadi lebih baik dan taat, namun karena selalu dibekali dengan cara berfikir hitam putih, ia menjadi kurang toleran terhadap segala perbedaan. Tidak sedikit pula yang justru lari dan meninggalkan agama karena ia merasa beragama menjadi terasa semakin berat, membebani dan tidak menggembirakan.

Allah Memudahkan dan Tidak Menghendaki Kesukaran

Sesungguhnya Allah SWT tidak menghendaki kesukaran bagi manusia. Allah memberikan banyak kemudahan, karena itu ambilah kemudahan-kemudahan itu dan hindari kesukaran-kesukarannya. Dalam kasus kebijakan pembatasan peribadatan di masa pandemi misalnya  bukan berarti kewajiban peribadatannya yang dilarang, kewajibannya tidak gugur karena pandemi, namun jangan sampai peribadatan yang dilakukan itu justru melahirkan kesusahan yang lebih besar yaitu rusaknya dan hilangnya nyawa manusia.

Dalam firman Allah di ayat yang lain Allah juga mengingatkan agar manusia jangan sampai menjerumuskan diri di dalam kebinasaan. Sebab itu usaha untuk menjaga diri dan mencegah secara dini dari kebinasaan adalah merupakan bagian juga dari beribadah keada Allah SWT. Dengan demikian pembatasan dan pengaturan peribadatan di masa pandemi harus dimaknai sebagai kondisi yang di dalamnya terdapat rukhsoh atau keringanan dalam beribadah. Mengambil rukhsoh yang diberikan Allah itu akan lebih baik bagi manusia daripada memaksakan diri yang justru akan menimbulkan kerusakan dan kebinasaan bagi manusia. Allah berfirman :

…يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (QS.Al-Baqarah (2):185) .

Ayat di atas sebenarnya berbicara dalam konsteks puasa, dimana bagi mereka yang berhalangan atau karena alasan tertentu seperti sakit, bepergian, hamil, atau sedang menyusui sehingga tidak bisa melaksanakan puasa ia bisa menggantinya dengan puasa pada hari lain diluar di luar bulan Ramadhan atau menggantinya dengan membayar fidyah. Kelonggaran itu sebagai bentuk kemudahan dan menghilangkan kesukaran yang akan dialami manusia jika memaksakan diri untuk beribadah yang sesuai dengan ketentuan tekstualnya.

Tentu saja, ayat di atas juga bisa kita gunakan dalam konteks yang berbeda-beda dengan memahami prinsip umumnya, yaitu bahwa Allah itu maha luas ilmunya dan Maha Bijaksana terhadap mereka yang beriman. Kebijaksanaan Allah itu yang kemudian dinyatakannya bahwa Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran dalam segala sesuatu yang dilakukan manusia.

Allah SWT juga mengingatkan agar supaya kita jangan menambah larangan atau tidak mau melakukan sesuatu hal, padahal Allah memperbolehkan :

قُلۡ مَنۡ حَرَّمَ زِينَةَ ٱللَّهِ ٱلَّتِيٓ أَخۡرَجَ لِعِبَادِهِۦ وَٱلطَّيِّبَٰتِ مِنَ ٱلرِّزۡقِۚ قُلۡ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا خَالِصَةٗ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hambaNya dari rezeki yang baik-baik? Katakanlah . “semua itu untuk orang-orang uang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui (QS. Al-A’raf (7) : 32).

Semua yang ada di muka bumi ini adalah disediakan Allah kepada manusia. Tinggal manusia memanfaatkan dan menggunakannya. Terhadap apa yang disediakan untuk manusia itu ada batas-batas yang sudah ditentukan oleh Allah, mana yang boleh dan mana yang dilarang. Mana yang halal dan mana yang haram. Ketentuan itu semua tercantum dalam syariat Islam. Manusia tidak boleh melampau batas atau melanggar semua ketentuan itu.

Manusia tidak boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang jelas-jelas dilarang, begitu juga sebaliknya tidak boleh melarang untuk melakukan atau menggunakan sesuatu padahal jelas-jelas diperbolehkan. Namun diantara ketentuan boleh dan tidak boleh itu, Allah juga memberikan jalan keluar berupa keringan dan kemudahan jika dihadapkan pada situasi dan kondisi tertentu. Jalan keluar itulah yang kemudian dinamakan rukhsoh atau keringanan. Manusia tinggal memanfaatkan keringanan itu dan jangan berlaku takabur dengan tidak mau memanfaatkan keringanan yang diberikan oleh Allah SWT.

Beragama yang memudahkan dan menggembirakan juga disabdakan oleh Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagaimana sabdanya : Yasiiru wala tu’aasiru wabassyiru walaa tunaffiru. Artinya “Mudahkanlah jangan kamu mempersulit dan gembirakanlah dan jangan kamu membuat orang lain lari”. Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari Rasulullah juga pernah bersabda:

Sesungguhnya agama itu ringan. Dan tiada seorangpun yang memberat-beratkan agama melainkan ia dikalahkan agama. Maka hendaklah kamu sekalian menjalankan agama itu dengan lurus. Berdekat-dekatlah dan bergembiralah dan memohonlah  pertolongan di waktu pagi, sore dan sebagian di waktu malam”. Karena itu, jika Allah dan Rasul-Nya saja memberikan kemudahan dan senantiasa mengajak bergembira dalam beramal dan beribadah, mengapa kita tidak mau mengikutinya.

Mengambil kemudahan yang disediakan oleh Allah bukan berarti kita meremehkan dan bermain-main atau sengaja melenceng dari syariat, karena kemudahan yang diberikan itu memiliki batas-batas dan ketentuan yang telah ditetapkan. Kemudahan yang diberikan oleh Allah bersifat kondisional, tergantung dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Dalam situasi normal tentu saja semua ketentuan dispensasi itu tidak berlaku, ia harus kembali ke hukum dan ketentuan asalnya.

Yang jadi masalah adalah, ada orang yang dalam situasi dan kondisi tidak normal, atau  situasi bencana dan krisis, lalu diberikan jalan kemudahan, namun kemudahan itu malah ditentang dan enggan memanfaatkannya. Ia malah memilih jalan yang sulit dan berbahaya. Dan orang seperti itu banyak di masa Pandemi ini. Semoga kita bisa merenungkannya. (mh.13.08.21)

Dr. Mukhtar Hadi, M.Si, Anggota BPH UM Metro

Exit mobile version