Berguru Kepada Pak Bakdi Soemanto
Pecah telur. Tahun 1992 kumpulan puisi saya pertama kali terbit. Judulnya Reportase yang Menakutkan. Diterbitkan oleh Penerbit Bentang bekerjasama dengan MPI atau Masyarakat Poetika Indonesia yang anggotanya lulusan IKIP Negeri Karangmalang dan dosen IKIP Muhammadiyah yang kemudian menjelma Universitas Ahmad Dahlan. Buku ini berisi 16 puisi yang saya tulis sehabis saya sembuh dari penyakit misterius yang menyebabkan saya dirawat sebulan di RS Sardjito. Suasana yang mencekam, terasa sebagai teror dan bendera kesedihan berkibar di rumah sakit terekam jelas.
Sepulang dari rumah sakit saya masih merasakan hal yang sama sekali tidak mengenakkan. Apalagi sebagai wartawan yang menyaksikan ketimpangan dan hal-hal yang menyesakkan dada. Sebagai wartawan yang rajin mendatangi diskusi kritis di kampus dan ikut nggrenengi kahanan di kantor Forum LSM saya mencatat adanya ketidakseimbangan, ketidakadilan dan ketidakselarasan hidup terutama yang menimpa wong cilik waktu itu.
Dengan demikian, tema pokok puisi yang terkumpul dalam buku ini adalah tentang tragedi kehidupan yang justru terjadi di zaman pembangunan.
Naskah kumpulan puisi saya tulis dan saya himpun di tahun 1991. Saya pun mencari siapa kiranya yang bisa menjadi penulis pengantar buku kumpulan puisi yang cenderung naratif dan prosais tetapi tetap menampakkan bangunan puitiknya.
Pilihan saya jatuh kepada Mas Bakdi Soemanto, staf kantornya Pak Kayam, dosen Fakultas Sastra dan Budaya UGM, priayi Solo dan Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta pertama hasil pertemuan seniman di Kepatihan yang dikomandani oleh Pak Umar Kayam sendiri.
Saya kenal mas Bakdi Soemanto di kantor ini, waktu tahun sebelumnya saya memenangkan lomba menulis puisi yang diadakan Purna Budaya mas Bakdi Soemanto menjadi salah satu jurinya. Puisi berjudul Kesaksian Pasar Sentul itu sangat kuat, menurut dia karena mengandung ironi kehidupan wong cilik yang berdagang di situ. Banyak pedagang yang bekerja keras seharian di pasar tetapi keuntungan mereka dihisap oleh lintah darat.
“Mas Hasyim, teruskan saja membuat puisi yang menyuarakan penderitaan masyarakat bawah,” katanya.
Dia selalu memanggil saya dengan Mas Hasyim, seperti tradisi nama di barat. Padahal saya mencantumkan nama Hasyim sebagai ikhtiar nunggak semi, menghormati mbah saya, Mbah Hasyim.
Dengan serius mas Bakdi Soemanto Soemanto menulis pengantar pada kumpulan puisi Reportase yang Menakutkan. Dia malah melihat yang berbeda dalam puisi saya yang gambaran atau imajinasi verbalnya saya buat menakutkan. Dia justru menemukan humor atau kejenakaan mewarnai puisi saya. Puisi yang menyenangkan, ibarat melihat pertunjukan wayang pas adegan gara gara. Punakawan yang cerdas hadir mewakili kenyataan pahit kehidupan dengan cara bijak dan segar. Gambaran karikatur kehidupan tokoh dalam puisi saya menjadi enak dinikmati.
Menurut istilah Hamdy Salad, humor-humor pahit ini justru bisa menyegarkan jiwa. Tidak membuat kita jadi memarahi keadaan atau marah-marah melihat realitas sosial yang memang tidak ideal.
Saya pun berguru kepada Mas Bakdi Soemanto yang mengenalkan kembali humor Jawa di wayang kulit dan slengekan guyon pari kena model pelawak Basiyo. Ini membuat saya percaya diri untuk terus menulis puisi semacam ini yang di kemudian hari kebablasan menjadi puisi rusak-rusakan yang saya bacakan tiap bulan secara rutin bertahun-tahun di pengajian Maiyahnya Cak Nun sampai menghasilkan empat buku kumpulan puisi. Ki Ageng Miskin, Telunjuk Sunan Kalijaga, Legenda Asal Usul Ketawa dan Pidato Yang Masuk Surga Atawa Zaman Batu.
Karena seiring ketemu saya jadi akrab dengan mas Bakdi Soemanto. Waktu sama-sama mendatangi acara di Solo saya mampirkan ke rumah orang tua dia di kompleks rumah para bangsawan Solo. Rumahnya besar dan bersih, saya sempat ketemu ibunya yang ramah. Jadi saya menjadi tidak heran kalau penampilan mas Bakdi Soemanto sehari-hari miyayeni betul. Berbeda dengan saya yang anak tentara keturunan juragan batik dan kiai kampung yang penampilannya lebih tampak sebagai orang kebanyakan.
Waktu mas Bakdi Soemanto diangkat menjadi guru besar saya diundang mendengarkan pidatonya yang diikuti makan-makan di Balairung. Pulangnya saya naik bis kota Kopata di halte dekat pos polisi di utara Balairung. Penumpang agak sepi. Di saku kiri saya ada handphone merek Sony Ericsson yang masih baru dan tampak mahal.
Tiba-tiba di seberang PAU UGM dekat Fakultas Biologi UGM naik empat penumpang. Salah seorang menjatuhkan korek api gas ke dekat kaki saya. Begitu saya bergerak ingin mengambilkan korek api, tiba tiba dua orang mengunci dua lengan saya dengan jurus krip kripan kuno. Saya kaget apalagi salah seorang dari mereka menjulurkan tangannya untuk mengambil handphone saya. Yang seorang yang menjatuhkan korek api berdiri menghalangi kondektur di dekat pintu. Wah gawat secara refleks tubuh dan tangan saya bisa bergerak sendiri melepaskan kuncian lalu satu tangan bertindak taktis menepis tangan terjulur itu.
Saya bangkit berdiri sambil menggeliatkan tubuhnya memasang kaki kuda kuda cepat sekali dan sekali hentak dua tangan saya menebah dada lelaki di depan laku bergerak ke samping dua kali untuk mendorong yang lain mundur. Saya lalu mundur untuk membuka ruang bertahan atau menyerang, memakai sikap pasang dengan dua tangan terbuka di depan dada. Tangan saya gemetar karena gentar juga menghadapi empat pencopet sekaligus. Tetapi empat pencopet yang terkejut karena mangsa terlepas malah siap tempur itu justru ketakutan melihat tangan saya bergetar dan mereka sangka akan melancarkan ajian tenaga dalam. Empat pencopet itu berteriak teriak minta turun di dekat RS Sardjito.
Empat pencopet itu meloncat turun. Saya mengurai kuda kuda, dan duduk sambil menghela nafas lega. Saya protes kepada sopir dan kondektur mengapa tadi menaikkan penumpang tidak jelas yang ternyata pencopet. “Kami tidak berani mas. Mereka berbahaya,” jawab kondektur membela diri.
Ketika beberapa hari kemudian pengalaman ini saya ceritakan ke mas Bakdi, dia malah tertawa terbahak-bahak.
“Wah, mas Hasyim ternyata pendekar to,” katanya, “pendekar jenaka.”
Saya ganti tertawa. “Yang lucu sebenarnya Ayah saya. Masak waktu kecil saya diajari pencak silat, tetapi hanya jurus menghindari serangan atau jurus endha. Membuka kuncian, menghindari serangan sudah jadi refleks. Tapi jurus menyerang tidak diajarkan. Malah tetangga saya mengenalkan jurus mundur tujuh langkah jadi babar blas tidak bisa untuk gelut. Melawan copet itu kalau tarungnya diteruskan saya malah bingung. Mau menyerang pakai jurus apa?”
Mas Bakdi tambah tertawa. “Ternyata orang Kotagede lucu-lucu. Pantas puisimu membikin saya tertawa tanpa henti,” katanya.
Waktu harian Yogya Post terbit saya mendapat tugas khusus untuk memesan tulisan kolom. Antara lain ke pak Watik Praktiknya di kantor PPSK barat Sekip dan pak Bakdi Soemanto di kantor PSK-nya pak Kayam. Setiap minggu saya keliling membawa uang honor dan disket untuk mengcopy naskah baru. Saya ke PPSK dulu baru ke PSK UGM.
Dengan menjadi redaktur khusus kolom di halaman satu ini saya jadi bisa belajar menulis kolom, bagaimana mengalirkan ide lewat tulisan yang sedang-sedang saja panjangnya. Saya juga belajar mencari topik bahasan yang menarik sekaligus mendalam. Saya menduga, orang yang mahir menulis kolom pastilah rajin membaca buku. Saya jadi rajin membaca buku, mendatangi acara launching buku karenanya.
Sebagai orang yang belajar sastra Inggris pengetahuan bahasa Inggris juga pengetahuan budaya barat mas Bakdi Soemanto memang oke.
Suatu hari saya mendapat tugas mengubah terjemah naskah drama asli Romeo dan Juliet karya Shakespeare, menjadi novel.
Ini memang kerja berat. Memang kerja mengedit karya terjemahan lebih berat ketimbang menulis karya sendiri. Apalagi kalau terjemahannya pating gronjal. Biasanya saya lalu merujuk ke naskah dalam bahasa aslinya, bahasa asing. Yang bikin mumet kalau naskah itu pernah mengembara dan melintasi banyak bahasa asing. Misalnya, karya aslinya dalam bahasa Persia lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Inggris. Dari bahasa Inggris baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ada kata dan kalimat sulit difahami. Saya kejar ke bahasa Inggris atau Arab, baru saya paham.
Atau karya sastra terjemahan dari bahasa Arab klasik dan karya ini kandungan filsafatnya tinggi. Terpaksa saya pelajari aliran filsafat yang lahir ketika karya sastra itu ditulis. Pengetahuan bahasa model pesantren saja kurang mencukupi. Terpaksa karya sastra Arab klasik ini saya edit memerlukan waktu hampir satu tahun. Saya garap selapis demi selapis bahasanya.
Nah naskah drama Romeo Juliet ini bahasa Inggrisnya bahasa Inggris kuno. Terjemahan bikin mumet, apalagi bahasa aslinya. Saya pun berkonsultasi dengan mas Bakdi Soemanto.
“Mumet menghadapi Inggris Kawi seperti ini?” Tanya dia bercanda. Kemudian, mas Bakdi Soemanto menjelaskan alur cerita Romeo Juliet dan siapa tokoh yang terlibat di dalamnya lengkap dengan karakter masing masing.
Saya juga diberi kuliah tentang kehidupan agama Kristen abad itu dimana pemimpin agama masih ada yang menggunakan ramuan tertentu untuk menolong jemaatnya. Dengan demikian saya paham mengapa dalam kisah cinta yang mengharukan ini secara rahasia pemimpin agama itu memberi ramuan yang membuat orang mati suri.
“Wah, mirip kisah silat klasik Tiongkok sana,” komen saya.
“Ya, zaman itu ya zaman seperti itu,” sahut mas Bakdi.
Setelah memberi kuliah panjang lebar seperti itu mas Bakdi Soemanto berkata serius,”Mas Hasyim kalau menggubah naskah drama ini harus sampai tujuan penulisan naskah ini. Yaitu tercapainya perdamaian dua klan yang semula berseteru. Setelah Romeo Juliet meninggal dengan tragis dampak positifnya, dua keluarga justru rukun. Ini jangan dilupakan.”
Pesan mas Bakdi Soemanto itu selalu saya ingat sampai novel penjelmaan dari naskah drama itu jadi dan dicetak jadi buku.
Saya lega. Tanpa pertolongan mas Bakdi Soemanto sangat mungkin tugas dari penerbit Navila ini tidak berhasil saya laksanakan. (Mustofa W Hasyim 2021)