Berguru Kepada Hari Leo

Hari Leo

Berguru Kepada Hari Leo

“Gus, di depan itu ada warung mie ayam. Mampir ya?”

Saya yang berada di boncengan Vespa hanya bisa menaikkan jempol dan berteriak,”Yes!”

Kami berhenti di depan warung mie ayam. Dua porsi mie ayam dipesan.

“Minumannya Mas?” Tanya yang punya warung sambil memasukkan bakmi buatan sendiri ke tempat air mendidih.

“Jeruk panas,” kataku ingat nasehat petani di perbukitan seribu saat hiking, bahwa pusing kepala di siang hari obatnya adalah wedang panas legi, teh atau jeruk sama saja.

Karena konteks siang ini adalah menemani mie ayam maka yang tepat adalah wedang jeruk.

“Es teh,” kata Hari Leo memesan es teh.

“Lho kok es?” Tanyaku pada dia berbisik.

“Biar seger Gus,” jawabnya.

Dia selalu memanggilku Gus walau minuman kontekstual saya selalu berbeda dengan dia, kami tetap akrab.

Bagi dia minuman kontekstual atau minuman untuk menemani makan aoa saja, siang dan malam adalah es teh. Bagi dia hidup harus selalu disegarkan dengan es teh. Sedangkan pandangan hidupku, hidup perlu dihangatkan dengan wedang. Biasanya untuk menemani mie ayam, bakmi rebus, sate kambing atau soto ayam saya perlukan wedang jeruk.

Waktu yang lain, ketika sampai di Karangkajen dia menghentikan Vespa di depan warung sate kambing Karangkajen.

“Ada sate sandung lamur? Kalau ada, satu porsi,” kata dia.

“Saya sate daging tanpa lemak dan diberi bumbu merica satu porsi,” kataku.

“Kalau mau merica silakan ambil sendiri nanti di botol,” sahut pemilik warung sambil mengipasi arang.

“Es teh!”

“Wedang jeruk!”

“Baik Mas.”

Siang  naik Vespa bersama keliling kota mendatangi donatur acara Bincang-bincang Sastra selalu dihiasi dengan makan siang dengan menu mie ayam atau sate kambing. Jarang kami mampir ke rumah makan Padang atau warung nasi rames. Kalau toh mampir di kantin TBY di bawah pohon beringin, dia memesan indomi goreng dan tetap dengan es teh, sedang saya nasi sayur dilengkapi telur ceplok dan wedang jeruk.

Di sela makan siang kami mengobrolkan kegiatan Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta selama ini.

“Mengapa SPS selalu melakukan kampanye atau sosialisasi sastra lewat pertunjukan sastra? Karena sastra terasing di masyarakat. Sebabnya, karya sastra hanya dikenalkan lewat benda mati, buku.”

“Lho buku sastra bukan benda mati. Dia punya ruh yang tersembunyi di balik kata-kata yang tersusun di buku,” kataku membantah pendapat dia.

Hari Leo tertawa dengan gaya orang teater. Mantap.

“Kata-kata di dalam buku sastra itu mati atau setidaknya pingsan, tidur atau membeku di kertas buku. Untuk menghidupkan dan membandingkan ruhnya diperlukan alat namanya pertunjukan sastra.”

Sambil makan, dia memberikan contoh bagaimana puisi karya sastrawan angkatan 45 ikut mati atau tidur atau pingsan seiring dengan matinya seni deklamasi di Indonesia.

“Karena itu SPS mempelopori upaya menghidupkan kembali seni deklamasi dengan mengadakan lomba deklamasi di hari bersastra Yogya bulan Oktober nanti,” katanya bersemangat.

Mantan dirijen Konser Puisi Yogyakarta yang sukses pentas di Purna Budaya ini selain cakap menulis puisi, naskah drama, main teater juga mahir memainkan semua alat musik, membuat lagu puisi lengkap dengan aransemen yang apik. Maka Pertunjukan Sastra yang dikemas dalam rangkaian acara bincang-bincang sastra pun banyak ragamnya. Musikalisasi puisi, teatrikalisasi puisi atau cerpen, baca puisi atau cerpen baca potongan novel, story telling, dramatic reading, deklamasi misalnya. Semua dipadukan dengan diskusi sastra karya sastra yang dipertunjukkan itu.

“Untuk lebih mengenalkan karya sastra, acara SPS ini selalu dilengkapi dengan bazar buku sastra dan budaya,” katanya waktu kami akan keliling ke penerbit buku sastra meminta buku mereka kami jualkan dan kami pajang di pintu masuk tempat acara berlangsung.

Semangat dia yang berkobar memancar dan mempengaruhi anak buahnya dan partner kerjanya. Ini saya rasakan betul waktu rapat di rumahnya di kampung Notoprajan atau di tempat lain. Pilihan isu sastra yang dikaitkan dengan karya yang akan dipertunjukkan dan pilihan narasumber pemantik diskusi dibahas mendalam dan serius. Saya punya referensi nama dan karya teman teman angkatan Malioboro dan angkatan sesudahnya berdasar pergaulan dan pengalaman sebagai panitia FKY bertahun tahun dan sebagai anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta bertahun tahun.

Hari Leo punya referensi nama dan karya berdasarkan pengalaman mengasuh ruang sastra di RRI Produa, pengalaman mengajar di SMA dan kampus dan pengalaman pentas di berbagai tempat. Jaringan narasumber dia juga punya, terutama anak muda berbakat sebagaimana jaringan teman-teman yang siap tampil dengan pertunjukan sastra. Referensi ini kami kombinasikan. Untuk keperluan publikasi sudah ada pasukan poster. Saya sebagai wartawan dan punya pengalaman redaktur budaya kebagian tugas untuk membuat release jadi yang siap muat lengkap dengan isu sastra yang kami lontarkan. Kemudian saya juga mendapat tugas mengirim undangan lewat SMS.

“Jangan lupa para kasepuhan, Gus,” katanya mengingatkan saya.

Tradisi atau kebiasaan menyiapkan paket acara Bincang-bincang Sastra, Hari Bersastra Yogya, Malam Sastra Seribu Bulan, Pesta Puisi Akhir Tahun, launching buku sastra dan budaya berbahasa Indonesia dan Jawa dikemas dengan serius ini terus berlanjut hingga hari ini.

Padahal di balik itu manajemen produksi istilah orang teaternya kami kelola dengan penuh improvisasi dan amatir. Setiap bulan saya selalu diajak Hari Leo untuk keliling kota naik Vespa menghubungi donatur dengan hati berdebar. Sebab kadang Vespa mogok di tengah jalan. Untung dia selalu menyiapkan busi cadangan untuk menghidupkan kembali mesin Vespa. Prioritas pertama kalau mengantongi uang agak banyak adalah membeli busi baru dan mie ayam.

Hari Leo seniman berbakat banyak. Dia aktif bersastra, berteater, siap main film, dan bisa memainkan semua alat musik, mahir membuat lagu puisi lengkap dengan aransemennya. Bakat musik dia mengalir dari ayahnya yang pemusik di Kraton dan di korps musik tentara. Dengan demikian ketika mencanangkan kampanye mendekatkan sastra ke masyarakat lewat pertunjukan sastra dia sudah punya modal lengkap. Ditambah keberanian dia untuk maju dan siap tampil di panggung kapan dan siap bekerjasama dengan siapa saja.

Semboyan di SPS ada dua. Pertama: SPS mengawal geliat sastra Yogya.  Kedua: SPS ready on the stage! Dengan semboyan pertama SPS memberi peluang kepada sastrawan muda untuk tampil di Bincang-bincang Sastra. Mereka yang semula hadir sebagai penonton acara SPS kemudian terinspirasi untuk berkarya dan karyanya ingin ditampilkan, dipersilakan. Sastrawan sepuh yang ingin menyapa publik sastra Yogya juga diberi kesempatan. Sastrawan dan komunitas sastra luar Yogya pun diberi kesempatan untuk tampil. Mereka yang ingin meluncurkan buku sastra Indonesia atau Jawa disambut dengan baik.

Semboyan kedua lebih ditujukan kepada orang-orang yang terlibat di internal SPS. Semua harus mempermahir diri dalam ilmu panggung sastra.  Setiap saat diperlukan, siap untuk tampil. Mungkin ada yang mahir dalam menata setting panggung, ada yang mahir main musik, ada yang jagoan baca cerpen atau cerkak, ada yang mahir baca puisi, ada yang mahir menjadi MC dan memiliki moderator, ahli membuat poster dan release ke media dan sebagainya. Aktivis SPS dan alumni SPS menyadari ini. Di dalam SPS mereka dididik oleh Hari Leo menjadi manusia aksi yang militan sekaligus terampil berfikir.

Walau ‘penampakan’ fisik seperti seniman bebas tetapi hidup yang dia jalani cukup relijius. Dia sudah menggariskan misi hidupnya untuk ini.

Ketika membawa Teater gabungan untuk pentas SPS di Taman Ismail Marzuki Jakarta, kami menginap di sebuah hotel di belakang IKJ. Hotel kecil. Anak laki-laki Hari Leo datang dari mengajak berbincang serius dengan ayahnya. Setelah anak itu pergi, Hari Leo mengajak saya jalan-jalan di kampung sambil omong omong. Dia bercerita bahwa anaknya itu memilih pacar beragama Islam dan dia sendiri minta diislamkan. Hari Leo minta pertimbangan saya dan saya sarankan anaknya diminta datang ke Yogya diajak mendatangi seorang Kiai teman saya.

Memang sepulang dari pentas di Jakarta, Hari Leo makin relijius. Dia mementaskan naskah monolog karya sendiri berjudul Hari Leo Mencari Tuhan. Sebuah monolog perenungan spiritual. Mirip Chairil Anwar dalam puisi Doa yang mengetuk pintu Tuhan.

Lain hari dia banyak bertanya tentang ajaran dan nilai Islam. Dia bilang, yang bertanya serius ini isterinya yang rumahnya di Jakarta.

Kemudian dia bilang maka isterinya itu ingin masuk Islam. Ketika saya tanya latar belakang keputusan penting setelah mendapat masukan dari Hari Leo, dia tersenyum misterius. Ketika saya desak, Hari Leo berbisik, “Nanti biar bisa bareng-bareng masuk surga.”

Saya terharu dan menyalami dia. Isterinya dia ajak ke pesantren milik seorang Kiai muda yang ia kenal baik untuk proses pengislaman itu.

Ini sebuah puisi paling indah dan paling berharga yang muncul  dalam periode akhir hidupnya. Anak dan isteri hadir dalam rangkulan agama yang sama.

Setelah Hari Leo meninggal, saya harus membuktikan bahwa semboyan Ready on the stage berlaku bagi semua aktivis SPS. Maksudnya, ketika teman-teman SPS menunjuk saya untuk menjadi Ketua SPS Yogyakarta, saya tidak bisa menolak. Saya berguru kepada dia dalam memegang teguh prinsip, siap tampil kapan saja dan dimana saja. Saya jadi ingat satu hari Hari Leo saya ajak ke sekolah di lereng Merapi. Waktu saya minta ikut memberi pelatihan kepada anak-anak korban erupsi Merapi, dia tidak menolak. Dia senang anak-anak pun senang. (Mustofa W Hasyim 2021).

Exit mobile version