Melewati Krisis dengan Optimis

Melewati Krisis dengan Optimis

Melewati Krisis dengan Optimis

Oleh : Andhita Dyorita Khoiryasdien.,S.Psi, M.Psi, Psikolog

Sudah lebih dari satu tahun lamanya, sejak awal tahun 2020 kita hidup beriringan dengan Covid-19. Kasus covid kian melonjak dan wabah ini belum juga mencapai puncaknya. Bahkan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan terjadi kenaikan kasus aktif positif Covid-19 sebanyak 30-40 persen di awal tahun 2021 (Kurniawan, 2021). Perubahan dan penyesuaian terjadi dalam berbagai aspek, baik kondisi ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan. Beruntung bagi sebagian orang yang masih memiliki mata pencaharian tetap, dapur masih mengepul, dapat membayar cicilan, membayar sekolah anak dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Akan tetapi, di lain sisi banyak orang yang pemasukannya berkurang atau bahkan kehilangan pekerjaan karena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Tercatat oleh Kementrian Ketenagakerjaan (Kemnaker) hingga 31 Juli 2020 ada 3,5 juta pekerja yang terkena PHK Dampak perekonomian yang disebabkan oleh pandemi berimbas kepada para pekerja terutama yang berada dalam empat sektor utama perekonomian Indonesia yaitu pariwisata, perdagangan, manufaktur dan pertanian (Karunia, 2020). Selain itu, daya beli masyarakat yang menurun juga berdampak pada industri tidak sanggup bertahan melawan pandemi. Terdapat lebih dari 800 perusahaan industri di Banten yang biasa mengekspor produk ke luar negeri bangkrut dan gulung tikar (Ridho, 2020).

Pandemi ini juga menyebabkan terhentinya kegiatan usaha dan rendahnya kemampuan bertahan pengusaha. Hasil survey Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Litbang Ketenagakerjaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis menerangkan ada 39,4% usaha terhenti, 57,1% usaha mengalami penurunan produksi, dan hanya 3,5% yang tidak terdampak. Sebanyak 41% pengusaha hanya dapat bertahan kurang dari tiga bulan sejak pandemi berlangsung, sebanyak 24% masih mampu bertahan hingga enam bulan lamanya dan hanya 11% yang mampu bertahan hingga 12 bulan (Faradila, 2020).

Pengusaha berskala besar juga bukan berarti tidak terdampak. Perusahaan global seperti NPC pemegang waralaba Pizza Hut, Brooks Brother ritel pakaian di Amerika yang sudah berusia 200 tahun, ritel peralatan rumah tangga asal Jepang,  Muji, hingga perusahaan minyak mengajukan pailit akibat dihantam corona (Novelino, 2020). Pengusaha yang masih bertahan ditengah ketidakpastian ini, tentu perlu diberikan apresiasi. Kondisi ketidakpastian masih terus berlanjut sementara kita harus tetap melanjutkan hidup.

Permasalahan tidak terhenti di sektor ekonomi, tetapi juga pendidikan. Implentasi pembelajaran daring di sekolah dasar terbukti efektif jika ada kerjasama yang baik antara orangtua, murid dan guru (Dewi, 2020). Akan tetapi perlu diperhatikan juga peran orangtua disini, saat kedua orangtua masih harus bekerja diluar rumah dan anak harus sekolah dirumah tentu akan menjadi permasalahan tersendiri. Khususnya bagi ibu yang bekerja, mereka memiliki dualisme ganda sebagai ibu dan pekerja, tentunya memberikan stress tersendiri bagi wanita yang menjalaninya.

Tuntutan untuk bekerja di rumah menjadi beban tersendiri bagi mereka karena harus mengoptimalkan peran baik sebagai Ibu yang harus menjadi ‘guru’ bagi anak-anaknya, dilain sisi harus berperan sebagai wanita yang bekerja (Marliani, Nasrudin, Rahmawati, & Ramdani, 2020). Belum lagi jika anak merasa bosan dan kehilangan minat selama proses pembelajaran daring (Yunitasari & Hanifah, 2020), tentu juga menjadi masalah tersendiri. Selain itu, masih banyak permasalahan yang memberikan dampak baik dari aspek sosial maupun kesehatan, khususnya kesehatan psikologis.

Kondisi psikologis seharusnya juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Kekhawatiran masyarakat, terutama pada tenaga kesehatan atas berbagai hal seperti beban bekerja dari rumah, kekhawatiran tertular virus, kondisi ekonomi serta keterbatasan pangan menjadi faktor-faktor utama penyebab stress. Survey yang dilakukan oleh penulis pada pertengahan tahun 2020 menunjukan bahwa ada banyak orang-orang yang mengalami gangguan psikologis seperti cemas, stress dan depresi. Berikut adalah hasil survey yang dilakukan terhadap 379 responden dari berbagai jenis usia :

Kategori Respon Responden  
Cemas % Stress % Depresi %
Normal 230 60,7 160 42,2 248 65,4
Ringan 49 12,9 40 10,6 41 10,8
Sedang 53 14,0 71 18,7 44 11,6
Berat 33 8,7 42 11,1 24 6,3
Sangat Berat 14 3,7 66 17,4 22 5,8
Total 379 100 379 100 379 100

Tabel 1. Kondisi Psikologis Masyarakat

Hal tersebut menunjukan bahwa kondisi mental menjadi hal yang harus diperhitungkan. Masalah pendidikan, ekonomi dan sosial memang sebuah isu yang harus segera dipecahkan.  Tapi kondisi psikologis sebaiknya juga menjadi garda terdepan untuk menangani permasalahan-permasalahan lainnya. Jika kondisi psikologis saja tidak sehat, maka sulit bagi seseorang untuk dapat mencari solusi permasalahan, berpikir kreatif, inovatif dan mengambil keputusan. Tingkat stress akan sangat berpengaruh pada coping stress yang dipilih oleh seseorang dalam menghadapi sebuah permasalahan (Rahayu, 2014). Lalu, apa saja yang bisa kita berdayakan dari dalam diri untuk bisa tetap bertahan menghadapi Pandemi dan mempersiapkan Era Post-Pandemic ?

Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan suatu kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki dan bersedia memperbaiki segala sesuatu yang dianggap kurang (Hurlock, 2014). Jika kita mengalami banyak perubahan yang menuntut adaptasi selama masa pandemi, yang perlu dilakukan adalah menerima semua persitiwa baik yang kita persepsikan sebagai hal negatif maupun positif. Setiap orang pasti pernah melalui proses untuk bisa menerima sebuah kondisi atau diri sendiri. Menurut Ross (Taylor, 2015) sebelum mencapai pada tahap acceptance (penerimaan) biasanya individu akan melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah tahap denial, anger, bargainning, depression, dan acceptance. Seseorang dapat dikatakan sudah memiliki penerimaan diri (Martini, Hartini, & Hartini, 2012) diantaranya:

1)Memiliki keyakinan akan kemampuan diri dalam menjalani kehidupan,

2) Memandang suatu permasalahan secara hati-hati dan dilihat dari berbagai sudut pandang untuk mengukur resiko-resiko yang dihadapi serta untuk mengantisipasi kesulitan yang terjadi,

3)Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan individu lain,

4)Mengahargai dirinya meskipun hanya memiliki potensi kecil yang tersembunyi dan akan mampu menghargai kelebihan tersebut,

5)Menyadari dan tidak merasa malu akan keadaan dirinya,

6)Menyadari kekurangannya dan tidak berusaha menutupi kekurangannya tersebut.

7) Menyesuaikan diri dalam kehidupan,

8)Bertanggungjawab atas segala perbuatannya,

9)Mempunyai rasa percaya diri dan rasa harga diri,

10) Mampu memandang diri mereka apa adanya dan bukan seperti yang diinginkan. Dengan adanya sikap realistis ini, maka individu dapat mengkompensasikan keterbatasannya dengan memperbaiki dan meningkatkan karakter-karakter dirinya tanpa harus melarikan diri dari kenyataan yang ada.

Saat seseorang sudah memiliki penerimaan atas kondisi lingkungan dan kondisi diri, akan lebih memudahkan seseorang untuk bisa bergerak menuju perubahan yang lain. Penerimaan diri juga berhubungan erat dengan kondisi mindfulness (Carson & Langer, 2006). Mindfulness berorientasi pada konsep hidup saat ini (living in the present), berbeda dengan hidup untuk saat ini (living for the present). Hidup untuk saat (living for the present) ini dapat membuat seorang individu berperilaku dengan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang terjadi di masa depan. Selanjutnya hidup pada saat ini (living in the present) mengambangkann perilaku berdasarkan kontrol diri dan pencapaian tujuan yang baik dan efektif (Brown, Ryan, & Creswell, 2007). Penerimaan diri akan membawa pikiran semakin terbuka dan solutif dalam menghadapi permasalahan atau hambatan dalam kehidupan. Selanjutnya, hal yang bisa kita lakukan untuk bisa tetap ‘waras’ dalam menghadapi ketidakpastian adalah dengan belajar memaafkan.

Memaafkan

Memaafkan merupakan aspek penting dari penyembuhan emosional yang disebabkan adanya suatu peristiwa yang menimbulkan trauma (Greenberg, Warwar, & Malcolm, 2010). Memaafkan bisa berhubungan dengan adanya sebuah kondisi yang tidak diinginkan atau berhubungan dengan interaksi dengan individu lainnya. Berdasarkan banyak penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa orang yang memaafkan lebih bahagia dan lebih sehat daripada mereka yang memegang kebencian (Baskin & Enright, 2004). Hal ini dikarenakan pemaafan dapat menjadi psikoterapi untuk menerima dan membebaskan emosi negatif seperti depresi, rasa marah, rasa bersalah, malu serta dapat memfasilitasi penyembuhan, perbaikan diri maupun perbaikan hubungan interpersonal dengan berbagai situasi permasalahan (Walton, 2005).

Pandemi covid telah membenturkan setiap orang pada permasalahan, hambatan, bahkan berkonflik dengan oranglain karena hubungan interpersonal yang kurang baik, urusan pekerjaan, bisnis dan sebagainya. Menurut hasil wawancara yang dilakukan penulis pada beberapa responden, bahkan kondisi dirumah saat bekerja dari rumah atau sekolah dari rumah rentan memicu adanya konflik internal. Meski secara positif anggota keluarga dapat beraktivitas dan berkumpul bersama, akan tetapi realitanya komunikasi yang kurang baik juga dapat mengakibatkan konflik antar anggota keluarga (Wardyaningrum, 2013).

Siapapun bisa menjadi objek yang bisa kita maafkan, baik memaafkan diri sendiri, orangtua, teman, saudara, anak, mertua, tetangga, murid, saudara ipar, pelanggan, mitra bisnis, atasan, bawahan dan sebagainya. Saat seseorang belajar memaafkan serta memiliki ketrampilan untuk mengelola kemarahan, maka hal tersebut dapat menurunkan gejala stress dan depresi (Ghani, 2011). Secara fisik, dengan memaafkan maka tekanan darah menjadi lebih normal, tekanan jantung menurun, rasa nyeri menurun, mengurangi rasa nyeri punggung dan meningkatkanya kesehatan jiwa raga (Ghani, 2011). Pemaafan juga diketahui dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup manusia yang terdiri atas kesehatan fisik, ketenangan hidup, pengendalian diri, resiliensi, serta minimnya konflik dengan orang lain (Nashori, 2011).

Sebaiknya lakukan introspeksi diri, tentang siapa yang harus kita maafkan dan kepada siapa kita harus meminta maaf. Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan menjadi sebuah tanda kapan kita harus memaafkan (Ghani, 2011) : 1) saat individu menahan sakit, kecewa dan pahitnya hidup serta kebencian, semua bagian  kehidupan seseorang mengalami penderitaan, 2) Saat kemarahan dibawa terhadap hubungan sosial dan terhadap pengalaman-pengalaman baru, 3)Saat merasa kehidupan berada di dalam kekeliruan dan tidak mampu menikmatinya saat ini, 4)Saat mudah terpicu oleh peristiwa yang mirip dengan peristiwa yang menyakitkan 5) Saat kemarahan mudah muncul ketika dipicu hal-hal kecil, 6)Saat merasa cemas dan tertekan 7)Saat memiliki pikiran buruk terhadap situasi dan orang, 8)Saat merasa kehilangan makna hidup, 9)Saat sering merasakan penderitaan pada kehidupan sekarang.

Beberapa ahli menyebutkan tentang tahapan tahapan dalam proses memaafkan. Meskipun menunjukan perbedaan proses akan tetapi ada persamaan dari pendapat berbagai tokoh tersebut yaitu menyimpan kemarahan bukanlah problem solving yang efektif sehingga dibutuhkan pemaafan untuk dapat lepas dari emosi-emosi negatif. Memaafkan mempunyai lima tahapan dalam prosesnya  (Baskin & Enright, 2004) yaitu mengenali lebih dalam permasalahan mereka dan apa dampaknya bagi diri, selanjutnya melakukan identifikasi emosi seperti melakukan introspeksi apakah kondisi yang telah terjadi mempengaruhi cara pandang kita pada dunia, apakah kita memiliki luka dan terobsesi pada luka dan rasa bersalah tersebut.

Selanjutnya setelah melalui proses identifikasi individu dapat memutuskan untuk memiliki kemauan untuk memaafkan dan memutuskan untuk memaafkan. Sadari apa yang dimaafkan dan dilanjutkan dengan menemukan manfaat dari pemaafan. Level tertinggi dalam pemaafan adalah jika kita dapat memberikan hadiah pada orang yang menyakiti berupa doa yang penuh dengan kebaikan (Khasan, 2017)

Memaafkan terbukti dapat meningkatkan kesejateraan psikologis kita (Rahmah, 2018). Proses pemaafan harus sering diulang-ulang hingga kita betul betul menyadari bahwa memaafkan tidak bermanfaat untuk oranglain yang menyakiti kita, tapi jutru memberi dampak psitif pada diri kita sendiri. Memaafkan menjadi saah satu solusi, agar kondisi psikologis tetap dinamis menghadapi masa krisis. Selanjutnya, untuk memperkuat imun tubuh kita, selain mempunyai penerimaan diri dan hati yang lapang untuk memaafkan. Seseorang harus melengkapi atribut dirinya dengan berpikir positif.

Berpikir Positif

Elfiky (Hakiki, 2013) menjelaskan bahwa berpikir positif adalah suatu cara berpikir yang lebih menekankan pada sudut pandang dan emosi yang positif, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun situasi yang dihadapi. Berpikir positif bisa menjadi salah satu alternatif terapi psikis untuk penanganan masalah individu maupun kelompok, dengan cara mengubah cara berpikir individu yang negatif menjadi positif. Berpikir positif dengan teori A-B-C- Ellis (Doyle, 2011) bahwa A adalah keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa, tingkah laku atau sikap seseorang akan mempengaruhi B yaitu keyakinan individu tentang A. Selanjutnya, keyakinan B akan mempengaruhi C yakni reaksi emosional (Corey, 2010).

Gambar 1. A-B-C Albert Ellis

Dalam prosesnya, berpikir positif memerlukan langkah-langkah yang harus dilalui, diantaranya adalah sebagai berikut (Khoiryasdien & Warastri, 2020):

Gambar 2. Proses Berpikir Positif

Seseorang dapat dikatakan telah memiliki cara berpikir yang positif apabila memiliki indikator sebagai berikut, Corey (Rufaida, 2018) : 1) Positive expectation yang berarti individu mempengaruhi kesuksesan diri sendiri dan mulai berkonsentrasi, optimis, mencari pemecahan masalah, dan menjauhkan diri dari perasaan takut akan kegagalan, 2) Self Afirmation yaitu memusatkan perhatian pada kekuatan diri dan melihat diri secara positif, 3)No Judgement Talking yaitu suatu pernyataan yang lebih menggambarkan keadaan daripada menilai keadaan. Aspek ini akan sangat berperan dalam menghadapi keadaan yang cenderung negatif dan yang terakhir adalah 4) Realistic Adaptation yaitu mengakui kenyataan dan segara berusaha menyesuaikan diri dari penyesalan dan frustasi akan sebuah keadaan.

Berpikir positif juga terbukti dapat menurunkan tingkat stress dan mencegah adanya kecenderungan depresi pada seseorang (Kholidah & Alsa, 2012). Selanjutnya, untuk bertahan pada masa pandemi, hal yang tidak boleh terlewatkan adalah memiliki Adversity Quotient atau kecerdasan untuk berjuang.

Adversity Quotient

Manusia tentu tidak pernah terlepas dari kegagalan, termasuk pada saat menghadapi krisis akibat Pandemi. Kegagalan dapat diartikan sebagai sebuah kondisi dimana harapan yang dimiliki seseorang tidak sesuai dengan apa yang didapatkannya (Santrock, 2011). Hal ini banyak terjadi dan dialami oleh banyak orang. Baik kegagalan dari program kerja yang sudah direncanakan, target yang meleset, acara yang dibatalkan, usaha yang gulung tikar, dan lain sebagainya. Adversity quotient yaitu kecerdasan untuk mengolah hambatan dan permasalahan dalam kehidupan menjadi sebuah peluang.

Adversity quotient berhubungan dengan tingkat stress pada diri seseorang. Semakin tinggi adversity quotient seseorang, maka semakin rendah tingkat sress yang dimiliki oleh orang tersebut (Zahreni, Sari, & Pane, 2006). Begitu juga dengan kecenderungan depresi, seseorang yang memiliki adversity quotient akan memiliki kecenderungan depresi yang lebih rendah. Adversity Quotient juga berhubungan dengan penyesuian diri. Saat seseorang mempunyai adversity yang baik maka dirinya akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dalam berbagai kondisi (Bariyyah Hidayati & ., 2016)

Adversity quotient mempunyai tiga bentuk yaitu quitters, camper dan climbers (Utami, Hardjono, & Karyanta, 2014). Kemampuan quitters, campers, dan climbers dalam menghadapi kesulitan memang berbeda. Quitters akan lebih memilih untuk berhenti dan menolak untuk menghadapi kesulitan dalam hidupnya bahkan mereka menolak untuk mendapatkan kesempatan baik dalam kehidupan.

Campers, telah berusaha untuk menghadapi kesulitan namun mereka akan cepat puas dengan sesuatu yang telah mereka dapatkan jika mereka telah merasa cukup maka mereka akan berhenti berusaha dalam mencapai puncak kesuksesan. Sedangkan Climbers tidak pernah merasa takut untuk menghadapi kesulitan dalam hidup. Kesuksesan yang diraih berkaitan langsung dengan kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan setelah yang lain menyerah. Konsep Adversity quotient ini juga terdapat dalam Q.S Al Insyirah ayat 1-8. Dalam surat tersebut ada ayat yang diulang yaitu :

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ

اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

Artinya : Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersamaan dengan kesusahan dan kesempitan itu terdapat kemudahan dan kelapangan

Ayat tersebut memberi spirit agar setiap diri dari seorang insan mau merenungkan secara serius bahwa kesulitan, kesengsaraan, kemalangan dan keskitan merupakan pintu untuk memasuki rahasia dan hakikat kemudahan, kebahagiaan dan kedamaian. Dalam konsep Islam ada beberapa indikator yang menunjukan bahwa seseorang telah memiliki kecerdasan berjuang salah satunya sebuah kesabaran atau sikap taubidiyyah. Sikap taubidiyyah ini mengembangkan spirit, energi dan kekuatan untuk menghadapi rintangan dan ujian hidup. Allah SWT hadir dalam diri dan menggerakan seluruh aktivitas diri di dalam bimbingan, perlindungan dan pimpinanNya  (Adz-Dzakiey, 2010)

Selanjutnya adversity quotient ini juga ditandai dengan sikap pantang menyerah, dalam penelitian disebutkan bahwa adversity quotient sangat berpengaruh pada regulasi diri (Kusumawati, 2017) dan meningkatkan motivasi berpretasi (Ismawati Firi rahayu, 2018). Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Q.S Ar Rad (11) dan Q.S Yusuf (87) agar manusia tidak berputus asa pada nikmat Allah SWT. Kedua ayat diatas memberikan spirit pada kita agar tidak kehilangan semangat dalam melakukan perbaikan diri dalam berbagai aspek kehidupan (Adz-Dzakiey, 2010)

Tidak ada yang perlu dicemaskan, salah satu hal yang pasti di dunia ini adalah perubahan. Bukan dunia yang harus berhenti berputar, tapi manusia yang harus tetap bergerak untuk menyesuaikan perputara. Menerima kondisi, menerima diri, berproses untuk memaafkan, membiasakan berpikir positif serta hidupkan spirit untuk terus berjuang, karena Allah SWT sudah berjanji bahwa sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.

Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.

Andhita Dyorita Kh.,M.Psi, Psikolog. Psikolog Klinis dan Dosen Program Studi S1 Psikologi Universtas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta

Exit mobile version