Praktik Penerapan Mahram bagi Orang Tua Asuh yang Tidak Memiliki Hubungan Darah dengan Anak Asuh
Pertanyaan:
Bagaimanakah praktik penerapan hubungan mahram antara orang tua asuh dengan anak asuhnya, khususnya yang tidak memiliki hubungan darah?
Majelis Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah (disidangkan pada Kamis, 13 Rajab 1442 H / 25 Februari 2021 M)
Jawaban:
Interaksi sehari-hari antara orang tua asuh terhadap anak asuhnya yang tidak memiliki hubungan darah menjadi satu persoalan yang kerap dirasakan, utamanya ketika diperhadapkan dengan aturan mahram dalam Islam. Contoh kasus, jika seorang ayah yang mengangkat anak asuh seorang perempuan, lalu tiba masa anak perempuan itu telah baligh, maka bagaimana seharusnya sikap ayah kepada anak asuhnya itu? Seperti apa batasan-batasan interaksinya? Serta beberapa persoalan lain yang dapat timbul dan tidak jarang ditanyakan.
Berdasarkan hal itu, perlu kiranya dibuat tuntunan yang mengurai tentang mahram dan hal-hal apa saja yang menyebabkan hubungan mahram terjadi, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang solusi bagi anak asuh yang sama sekali tidak mempunyai hubungan mahram.
Konsep Mahram
Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa hubungan mahram dapat terjadi karena tiga sebab, yaitu: keturunan, susuan dan perkawinan.
Mahram Sebab Keturunan
Orang-orang yang termasuk mahram sebab keturunan ada tujuh, sebagaimana firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا [النساء (4): 23].
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Q.S. an-Nisā (4): 23].
Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa orang-orang yang termasuk mahram, yaitu yang tidak boleh dinikahi dengan sebab keturunan ada tujuh golongan, yaitu: a. Ibu; b. Anak perempuan; c. Saudara perempuan; d. Saudara perempuan ayah (bibi); e. Saudara perempuan ibu (bibi); f. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan); dan g. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan).
Mahram Sebab Susuan
Mahram sebab susuan ada tujuh golongan, sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Katsir. (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 1/511).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِنْتِ حَمْزَةَ لَا تَحِلُّ لِي يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَة [رواه البخاري].
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. (diriwayatkan), dia berkata bahwa Nabi saw bersabda tentang putri Hamzah: Dia tidak halal bagiku, darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan, dan dia adalah putri saudara sepersusuanku (Hamzah) [H.R. al-Bukhārī].
Al-Qur’an menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan, yaitu yang terdapat pada Q.S. an-Nisā (4): 23,
…وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ… [النساء (4): 23].
Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan sepersusuan [Q.S. an-Nisā (4): 23].
Mahram Sebab Perkawinan
Mahram sebab perkawinan ada enam golongan:
Pertama, Ibu-ibu istrimu (mertua) [Q.S. an-Nisā (4): 23].
Kedua, istri-istri anak kandungmu (menantu) [Q.S. an-Nisā (4): 23].
Ketiga, anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri [Q.S. an-Nisā (4): 23].
Keempat, menurut jumhur ulama, termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan seseorang mempunyai hubungan mahram dengannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya setelah bercerai dengan ibunya, sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab akad nikah, walaupun si putri belum dicampuri, kalau sudah akad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi putrinya.
Keempat, janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri),
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ … [النساء (4): 22].
Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya akad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya [Q.S. an-Nisā (4): 22].
Kelima, menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara [Q.S. an-Nisā (4): 23]. Rasulullah saw melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi saw bersabda:
لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا [رواه مسلم].
Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya [H.R. Muslim].
Keenam, diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami
…وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء … [النساء (4): 24].
…dan (dilarang juga menikahi) perempuan-perempuan yang telah bersuami di antara kalian… [Q.S. an-Nisā (4): 24].
Mahram sebab keturunan dan susuan bersifat abadi, sedangkan mahram sebab pernikahan selama sebab pelarangannya masih ada, maka masih berlaku status mahramnya. Sebagai contoh, dalam soal menikahi perempuan yang sudah bersuami, selama masih ada ikatan pernikahan dengan orang lain, perempuan itu tidak boleh dinikahi sampai ia bercerai, baik cerai mati maupun cerai hidup. Rasulullah saw misalnya menikahi Zainab setelah Zainab bercerai dengan Zaid bin Harisah. Contoh lain adalah menikahi perempuan yang masih dalam masa iddah, haram hukumnya, dan baru halal dinikahi ketika masa iddahnya telah habis.
Demikianlah perempuan-perempuan yang termasuk mahram (tidak boleh dinikahi) oleh seorang laki-laki. Adapun perempuan-perempuan selain yang tersebut di atas adalah bukan mahram, sehingga halal dinikahi sebagaimana firman Allah swt,
…وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِين … [النساء (4): 24].
… Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina … [Q.S. an-Nisā (4): 24].
Mahram Kaitannya dengan Aurat
Ada beberapa ketentuan dalam agama Islam yang berkaitan dengan mahram, selain dari larangan menikahi. Di antaranya batasan aurat perempuan bagi mahram abadi adalah seluruh badan selain wajah, kepala, leher dan betis (di bawah lutut), sedangkan untuk mahram mu’aqqaḍ (tidak abadi) adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Adapun aurat laki-laki bagi mahram dan selain mahram adalah antara pusar dan lutut.
Hal ini sesuai dengan firman Allah swt,
قُلْ لِلْمُؤمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَايَصْنَعُوْنَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَيُبْدِيْنَ زِيْنًتَهُنَّ إِلاَّ مَاظَهَرَ مِنْهَا … [النور (24): 30-31].
Katakanlah olehmu (wahai Muhammad) kepada para lelaki mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui pada apa-apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada para wanita mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya … [Q.S. an-Nūr (24): 30-31].
Hadis Nabi Muhammad saw,
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَسْمَاء “يَا أَسْمَاء !إِنَّ المَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيْضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هذَا وَهذَا” وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ [رواه أبو داود].
Rasulullah saw bersabda kepada Asma’: Wahai Asma’! Sesungguhnya perempuan yang sudah haid tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini, dan beliau mengisyaratkan kepada wajah dan kedua telapak tangannya [H.R. Abu Dawud].
Di samping itu, pada dasarnya setiap orang tidak dilarang berduaan dengan mahramnya, namun akan lebih baik jika dia mengusahakan untuk tidak pernah berduaan dalam suatu kamar, khususnya dengan mahram mu’aqqad (ipar atau bibi istri) untuk suatu hal yang tidak penting, demi menyelamatkan diri dari fitnah.
Etika Interaksi Orang Tua Asuh dengan Anak Asuh
Adapun mengenai anak asuh yang sama sekali tidak dimungkinkan untuk terjadi hubungan mahram antara orang tua dan anak asuhnya, maka tentu hukumnya mengikuti hukum bukan mahram atau seperti orang lain pada umumnya. Namun, karena orang tua dan anak asuh tinggal bersama sangat lama, sebagai contoh bayi yang ditelantarkan oleh orang tuanya dan tidak ditemukan identitas orang tuanya sehingga terpaksa dirawat sejak bayi hingga dewasa, maka jika seluruh hukum “mahram” diterapkan akan terjadi kesusahan. Dalam hal ini tentu perlu diberikan solusi terbaik agar tidak menjadi masyaqqah (memberatkan) bagi orang tua asuh maupun anak asuhnya terutama pada masalah menutup aurat dan yang sejenis dengan itu seperti orang tua asuh menjabat tangan anak asuh, anak asuh mencium tangan orang tua asuh, orang tua dan anak asuh saling bercengkrama sesuai aturan kesopanan anak-orang tua dan lain-lainnya yang tidak mengarah kepada “zina”.
Solusi bagi keadaan ini adalah batasan aurat sebagaimana termaktub dalam surah an-Nūr (24) ayat 31 berikut,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [النور (24): 30-31].
Katakanlah kepada para wanita yang beriman: Hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka atau putra–putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra–putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung [Q.S. an-Nūr (24): 31].
Pada ayat di atas terdapat beberapa orang selain mereka yang memiliki hubungan mahram yang dibolehkan untuk melihat aurat yaitu wanita-wanita Islam, budak-budak dan pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Adapun batasan auratnya yaitu sebagaimana tercantum di atas, aurat perempuan bagi mahram abadi adalah seluruh badan selain wajah, kepala, leher dan betis (di bawah lutut), sedangkan untuk mahram mu’aqqad (tidak abadi) adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Aurat laki-laki bagi mahram dan selain mahram adalah antara pusar dan lutut.
Keterangan di atas dapat dihubungkan kepada orang tua dan anak asuh. Saat anak asuh belum baligh, maka dia dihukumi tidak mengerti aurat wanita jika anak asuh tersebut laki-laki, sehingga ibu asuh boleh menunjukkan auratnya sebatas auratnya yang boleh terlihat kepada mahramnya, sedangkan jika sudah dewasa maka anak tersebut bisa dikiaskan kepada orang-orang yang tidak bernafsu kepadanya, memandang hubungan orang tua dan anak yang selama ini berlangsung antara sang ibu dan anak asuhnya.
Sebaliknya jika anak asuh tersebut perempuan, maka jika dia belum baligh tentu belum berlaku hukum aurat sebagaimana seharusnya yang diberlakukan atas muslimah yang sudah baligh, sedangkan jika ia dewasa, maka ayah asuhnya bisa dikiaskan kepada orang-orang yang tidak memiliki nafsu terhadapnya, karena hubungan ayah dan anak yang selama ini berlangsung.
Pemaknaan di atas tentu saja dapat berlaku dengan tetap mengindahkan sikap kehati-hatian antara orang tua asuh dan anak asuh. Mengingat kasus incest yang akhir-akhir ini terjadi, maka perlu menjaga batasan hubungan antara orang tua asuh dan anak agar hubungan yang terjalin “murni” kasih sayang sebagai orang tua dan anak asuh, tidak lebih dari itu.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 12 Tahun 2021