Perjalanan Pondok Pesantren KHA Dahlan Sipirok, Mewujudkan Cita Menggapai Asa
Oleh: Dr. Lazuardi Harahap, MA
Kilasan Balik Sejarah
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS At-Tawbah/9:122) “Oelama menjadi makhloek langka” demikian perbincangan yang mengemuka dalam berbagai forum resmi persyarikatan Muhammadiyah sekitar era 50-an dan60-an di Sumatera Utara khususnya di Tapanuli Bagian Selatan.
Wacana ini lahir dari sebuah kekhawatiran dan keprihatinan. Para generasi awal Muhammadiyah di daerah ini sadar betul tentang pentingnya kaderisasi sebagai prasyarat terwujudnya kontinuitas sebuah “gerakan” karena berdakwah dan beramal sosial tidak mengenal ujung final (on going process).
Pada sisi lain para punggawa ini paham benar tentang nilai Pendidikan Islam bahwa kearifan tidaklah muncul dari otak yang cerdas tetapi ia akan lahir dari hati yang cerdas, sesuatu yang tidak dijumpai dalam kultur modern. Postulat Rene Descartes (1596-1650) yang berbunyi “cagito ergo sum” (saya berpikir karena saya ada) yang merupakan pilar peradaban modern ternyata gagal dalam melahirkan manusia arif, karena kecerdasan hati tidak dikembangkan. Surah Ali ‘Imran 190-191 menggunakan konsep ulu al bab untuk sosok manusia yang mampu mengawinkan kecerdasan otak dan kecerdasan hati. Itulah Nilai yang sangat dibutuhkan dunia sekarang. Maka lahirlah gagasan, lembaga pendidikan merupakan solusi, demikian kesepakatan mereka. Modal utama adalah niat yang kuat (need for achievement), dengan sedikit “kenekatan”.
Benar, catatan sejarah peradaban dunia hanya dapat mewujud seperti ini, diawali dari gagasan dan niat tulus dari seseorang individu atau sekelompok manusia (creative minority). Meminjam pandangan Arnold J. Toynbee “kelompok minoritas kreatif adalah sekelompok kecil orang yang secara kreatif menggagas dan mengaplikasikan ide dan solusi untuk menghadapi tantangan yang ada. Mereka adalah generasi awal Muhammadiyah di Tapanuli wa bilkhusus Sipirok. Mereka berada di arus utama yang tidak mudah patah semangat untuk mewujudkan sebuah gagasan.
Melalui perjuangan kuat penuh liku yang dilandasi dengan etos keikhlasan, kebersamaan dalam mewujudkan gagasan. Maju terus di tengah keterbatasan dan paham bagaimana bertahan pada masa sulit. Tidak jumawa, ada kesadaran diri bahwa wujud yang diimpikan merupakan akumulasi potensi besar dan partisipasi warga Muhammadiyah dan umat dalam bentuk zakat, infaq, dan shadaqah. Karena itu tidak berarti memorabilia (benda bersama)para pemuka dipucuk pimpinan semata Tekad kuat digalakkan dan disosialisasikan lewat pengajian, tabligh mobil, dan permusyawaratan(openbare vergadering propaganda).
Dipicu buah Keputusan Musyawarah Nasional Muhammadiyah Bidang Tabligh pada tahun 1961 di Bandung tentang pentingnya kadersasi ulama. Bak percikan api, Gayung bersambut, tepat pada tahun 1962 ketika consul (majelis perwakilan) Muhammadiyah Residen Tapanuli dipimpin oleh Husin Manaf Siregar dan penasehatnya M.Yunus Harahap, Yahya Siregar mantan pimpinan Muhammadiyah Residen Tapanuli, H.M. Sultoni utusan Musyawarah Nasional Bidang Tabligh di Bandung.
Dengan mengucapkan basmalah mereka memutuskan pendirian “Pondok Pesantren KHA Dahlan Bahagian Pendidikan Ulama”. Berlokasi di areal tanah yang disumbangkan H. M. Sultoni, satu komplek dengan Sekolah Rakyat (SR) Moehammadijah, kini Sekolah Dasar Muhammadiyah Sipirok.
Pada tahun yang sama dilaksanakan penerimaan santri baru. Proses pembelajaran angkatan I dimulai dengan santri sebanyak 10 orang. Belajar dengan fasilitas pembelajaran “ala kadarnya”, kondusifitas lokasi yang kurang nyaman karena berada di pusat pasar. Sebahagian santri menempati rumah warga Muhammadiyah Sipirok. Selama 17 tahun (1962-1978) proses pembelajaran diselenggarakan di lokasi ini, ternyata kurang berkembang sebagaimana yang dicita-citakan, dan masih jauh dari asa. 7 (tujuh) figure direktur dengan berbagai gaya, latar belang, dan kelebihan dan kekurangannya telah mencurahkan perhatian penuh untuk menjaga eksistensi dan kelangsungan pendidikan pesantren.
Namun akumulasi persolan dan tantangan silih berganti sehingga proses penyelenggaraan pendidikan mengalami pasang surut. Pesantren digambarkan pada saat itu “bagaikan kerakap di atas batu hidup segan mati tak mau” alias status quo. Untung,“mewujudkan cita menggapai asa” masih terus menggelora, para generasi awal ini paham betul sebuah ungkapan “tetaplah menaruh harapan, meskipun segala yang kamu hadapi tampak mustahil, karena jika kamu berhenti berharap maka detik itu pula hidupmu akan mati”.
Modernisasi
Semula lembaga pendidikan ini di beri nama “Pondok Pesantren KHA Dahlan Bahagian Pendidikan Ulama. Seiring dengan hijrahnya dari Pasar Sipirok ke lokasi sekarang berubah nama menjadi Pondok Pesantren Modern KHA Dahlan Sipirok. Terakhir berdasarkan Kumpulan Pedoman di Lingkungan Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah (Jakarta : MPDM, 1997), berubah nama menjadi “ Pondok Pesantren Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan Sipirok “.
Pada tanggal 2 Pebruari 1975 Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sipirok mengundang Kolonel Purnawirawan H. Amiruddin Siregar putra Muhammadiyah kelahiran Sialagundi Sipirok -yang kebetulan sering jalan-jalan pulang kampung- untuk memberikan ceramah tentang pesantren dan kebijakan Pemerintah tentang pendidikan agama termasuk SKB Tiga Menteri.
Uraian ini merangsang gairah PCM Sipirok membincang lebih lanjut masa depan pesantren. Berawal dari kegiatan jalan-jalan pulang kampung pada tahun 1977, H. Amiruddin Siregaryang pada saat itu menjabat sebagai Sekretaris umum MUI Pusat dan Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah DKI Jakarta berkesempatan untuk kali kedua berceramah di Barerong pasar Sipirok di hadapan warga Muhammadiyah yang mengangkat tema tentang gagasan revitalisasi (tajdid) Pondok Pesantren KHA. Dahlan.
Ceramah ini ternyata telah menghipnotis dan mengangkat asa dan optimisme warga Muhammadiyah Sipirok, sehingga melalui keputusan rapat Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sipirok (1977) meminta kesediaan Kolonel Purnawirawan H. Amiruddin Siregar menakhodai pesantren KHA. Dahlan ke depan. H. Amiruddin Siregar dalam penuturannya setelah menerima amanah itu “Pondok Pesantren KHA Dahlan Sipirok, menjadi bagian sejarah perjalanan hidupku”. Saya pun bismillah, dari memahami tugas berat yang akan dihadapi, saya ikhlas walaupun yakin akan berjihad penuh dengan diri, isteri, keluarga, dan harta. Saya ingin jihad fi sabilillah di tempat kelahiran. Demikian ungkapan perasaan yang disampaikan H. Amiruddin Siregar, penuh haru. Sebuah isyarat yang menandai era baru Pondok Pesantren KHA Dahlan sipirok, yaitu era revitalisasi sebagaimana beliau sebut.
Langkah pertama proyek revitalisasi adalah pemindahan lokasi pesantren ke lokasi baru yang lebih luas, nyaman, dan kondusif. “Lobu Tanjung Baringin” demikian masyarakat sekitar menyebut lokasi ini. Proyek Pemindahan ini dipandang sebagai “maha karya” (magnum opus)-meminjam term dunia seni- darikarya H. Amiruddin Siregar selama 17 tahun memimpin Pesantren.
Sebagai seorang pejuang, pensiunan meliter, H. Amiruddin Siregar paham benar watak masyarakat Sipirok terlebih keluarga besar Muhammadiyah yang memiliki kultur “gerakan amal saleh” (GAS). Tidak menunggu lama berkat partisipasi masyarakat dan warga Muhammadiyah, para santri, ustadz,bergotong royong, menebang kayu, mengangkat batu, dan meratakan tanah, lokasi yang tadinya hutan rakyat parbabiaton (sarang Harimau) dan parbeguan (sarang hantu) menjadi bersih. Tepat pada tanggal 15 Juli 1978 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan pesantren dalam sebuah upacara tabligh mobil. Mengundang tokoh masyarakat, pemerintah, para alumni, warga Muhammadiyah se Tapanuli Bagian Selatan tumpah ruah. Ucapan selamat pun datang dari sejumlah tokoh nasional,mereka itu: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Hamka, Ketua Dewan Dakwak Islamiah Indonesia (LDDII) M. Natsir, Jenderal Abdul Haris Nasution, Bupati Tapanuli Selatan H. Baginda Syarif dan Camat Sipirok Syarifuddin Siregar.
Hampir setahun proses pembangunan (1979), pesantren mendapat kunjungan tamu kehormatan yaitu Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia H. Adam Malik bersama dengan rombongan Gubernur Sumatera Utara EWP Tambunan. Dalam sambutannya wakil Presiden menyampaikan amanah di depan pengurus pesantren dan pimpinan Muhammadiyah “agar masyarakat bersatu padu dan membangun ukhuwah serta memberikan dukungan moral terhadap pembangunan pesantren modern di daerah ini. Pada tahun 1980 pembangunan gedung pesantren selesai dan berdiri tegak di atas lahan seluas 5 ha, 12 lokal belajar, 1 buah asrama putri, 1 buah dapur umum.
Pada tahun yang sama tepatnya pada tanggal 06 Juli 1980 diresmikan pemakaian gedung baru yang melibatkan masyarakat Sipirok, warga Muhammadiyah dan tokoh pemerintahan. Santri/santriyah yang berada di lokasi lama pindah ke lokasi baru penuh kebanggaan dan keharuan. 2 (dua) tahun berjalan, pimpinan pesantren melengkapi sarana prasarana, membangun 2 buah asrama putra, 1 buah kantor administrasi dan sarana kecil lainnya seperti ruang makan dan kantin. 17 tahun kepemimpinan H. Amiruddin Siregar, pesantren meraih capaian perkembangan yang gemilang sehingga era ini disebut era kemajuan (the golden age).
Gaung Pondok Pesantren KHA Dahlan terdengar ke berbagai daerah, diidamkan para orang tua, disegani para competitor. Proses pembelajaan menekankan pada pembentukan akhlak al kariamah, kedisiplinan, penguatan skill berbahasa Inggiris dan Arab. Kondisi kehidupan kampus dinamis sehingga secara kelembagaan memperoleh prestasi dan penghargaan. Pada tahun 1995 Pondok Pesantren KHA Dahlan diakui sebagai lembaga pendidikan terbaik dalam mutu pendidikan di Tapanuli Selatan, terbaik satu di lingkungan pendidikan Muhammadiyah Sumatera Utara, masuk dalam 40 besar pesantren se Indonesia yang ikut menanda tangani kerjasama dengan BPPT yang dipimpin mantan Presiden Prof. Ing. B.J Habibie.
Kondisi ini mengundang para calon santri datang dari berbagai daerah dan propinsi lain bahkan dari Malaysia dengan jumlah santri yang diasuh sesuai dengan kapasitas daya tampung sebanyak lebih kurang 850 santri. Modal dasar adalah menjaga stabilitas dan tata kelola (good gevernance) sehingga priode ini disebut H. Amiruddin Siregar sebagai peletakan dasar bagi Pondok Pesantren KHA Dahlan Sipirok menuju tarap modern.
Stabilitas dan kondusifitas ini telah melahirkan ribuan alumni yang berkiprah di berbagai lini kehidupan yang terhimpun dalam satu wadah paguyuban bernama IKAPEMDAS. Sebagai wadah strategis yang menjadi pilar atau “pemain gelandang” yang cukup dibaggakan Pondok Pesantren KHA Dahlan Sipirok. Tentu pekerjaan rumah masih banyak, gelombang dan tantangan penyelenggaraan pendidikan tetap tak terelakkan, baik yang besifat internal maupun eksternal.
Demikian pun menurut H. Amiruddin Siregar, dengan kondisi seperti itu pesantren telah melampaui titik impas dan selanjutnya berswasembada secara mandiri. Namun seperti yang diungkapkan H. Amiruddin Siregar, setiap perjalanan selalu membawa perubahan, pada tahun 1995 secara formal beliau meyerahkan kepemimpinan pesantren kepada Muhammadiyah. Roda kepemimpinan pesantren terus berlangsung, pimpinan pesantren silih berganti. 7 (tujuh) direktur pasca kepemimpinan H. Amiruddin Siregar (1995-2020) telah memberi warna terhadap perkembangan pesantren. Mereka telah dan sedang berbakti menyumbangkan tenaga dan pikiran menjaga pesantren agar tetap survive dan progressif.
Acungan jempol sebagai ungkapan apresiasi kepada mereka semoga Allah Swt melimpahi mereka dan keluarganya. Mereka bagaikan petikan ritme tangga nada yang melahirkan harmoni pada satu pegelaran “orchestra pesantren” yang saling melengkapi. sehingga usia 59 tahun Pondok Pesantren Muhammadiyah KHA Dahlan masih tegak berdiri melaksanakan visi dan misinya sebagai ikon pendidikan pesantren Muhammadiyah di Sumatera. Sebagai pesantren yang mendapat predikat proyek rintisan di PP Muhammadiyah, Pondok Pesantren Muhammadiyah KHA Dahlan Sipirok terus berbenah diri untuk menyempurnakan fungsinya dan visi lembaga kaderisasi ideal yang bercita rasa Muhammadiyah dan pelopor Islam “berkemadjoean”.
Tentu naik dan turun adalah sesuatu yang natural, nama besar yang disandang pesantren ini- “Kyai Haji Ahmad Dahlan”- bukan kebetulan. Nama itu sangat menantang dan senantiasa akan menjadi pekerjaan rumah bersama. Perjalanan masih panjang, tema “mewujudkan cita menggapai asa” adalah tugas suci bersama yang belum selesai. Akhirnya “betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amal besar menjadi kecil gara-gara niat, mari kita awali cita-cita dengan niat baik, maka hasilnya akan baik dan kita akan mendapat kebaikan”.
Dr Lazuardi Harahap, MA , Koorbid Dikdasmen PDM Tapanuli Selatan