Pelajaran Sastra, Wow! Berguru Kepada Bu Sutiyah

Pelajaran Sastra, Wow! Berguru Kepada Bu Sutiyah

Mustofa W Hasyim membacakan Puisi pada 13 Juli 2018

Pelajaran Sastra, Wow! Berguru Kepada Bu Sutiyah

Kotak berbentuk kubus
Kotak itu bukan kerucut
Sang katak ditipu tikus
Tikus senang katak merengut

Jenis pantun jenaka seperti ini yang ditulis oleh murid setara Tsanawiyah di sekolahku. Semua murid gembira. Mengerjakan PR membuat pantun jenaka yang diperintahkan oleh Bu Sutiyah, guru bahasa Indonesia sekaligus guru sastra. Satu persatu murid maju ke depan membacakan pantun jenaka hasil menggarap PR.

Setiap anak yang maju disambut tepuk tangan lalu setelah selesai disambung suara tawa memenuhi kelas. Tidak ada yang bersedih hari itu. Sebab pelajaran sastra adalah pelajaran yang menggembirakan. Pelajaran yang ditunggu-tunggu datangnya oleh para murid.

Setelah semua murid membaca pantun jenaka Bu Sutiyah melanjutkan pelajaran. Dengan memberi contoh pantun nasehat. Anak anak diminta membuat pantun nasehat.

Jadilah hari itu para murid menjadi juru nasihat. Ketika pantun dibaca terjadilah saling menasehati di antara murid. Kadang muncul peristiwa lucu. Sebab nasihat yang ditulis itu lebih pantas ditujukan kepada dirinya sendiri ketimbang ditujukan kepada temannya.

Di hutan ada kera
Kera itu suka menggambar
Jangan kamu suka bicara
Kalau Bu Guru sedang mengajar

Pantun nasihat ini ditulis oleh murid yang suka bicara saat guru mengajar. Akibatnya dia ditertawakan oleh teman-temannya.

Bukan saja pantun jenaka dan pantun nasehat yang bisa dibuat tetapi juga yang lain. Anak-anak bersemangat mendapat tugas menulis syair, gurindam, dan carmina. Ketika beranjak pada sastra modern, teman-teman masih bersemangat. Stanza, dan puisi bebas dengan mudah ditulis. Demikian juga ketika mendapat tugas membaca puisi modern dengan gaya deklamasi.

Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau..

Teriak seorang teman sambil telunjuknya mengarah pada murid perempuan. Kontan anak perempuan berteriak-teriak membantah telah merayu. Suasana jadi heboh.

Dengan suasana yang hidup seperti itu anak anak pun selamat dalam mempelajari sastra. Sastra bukan hantu yang ditakuti. Bukan sesuatu yang menjengkelkan sehingga perlu dijauhi. Sastra adalah sesuatu yang ditunggu tunggu, sesuatu yang dirindukan. Walau mungkin sebelum lebih merindukan hadirnya Bu Sutiyah.

Mengapa demikian? Karena beliau adalah guru ajaib. Orang tidak cantik banget seperti putri Keraton atau artis yang berdandan. Tetapi yang jelas wajahnya manis. Kalau tersenyum lebih manis lagi, ditambah kata yang lembut berirama lunak menghanyutkan perasaan para muridnya. Anak laki-laki yang paling badung macet kebadungannya dan lumpuh kenakalannya begitu beliau mulai beraksi. Sambil tersenyum menyuruh mereka menulis pantun atau puisi.

Saya sendiri heran, kenapa bisa seperti tersihir oleh pelajaran sastra ini. Sepulang sekolah saya masih mendidih untuk menulis pantun atau puisi dan apa saja saya tulis menjadi puisi.

Ketika ada majalah dinding saya juga rajin mengirim puisi. Ketika ada buletin sekolah juga demikian.
Murid murid menjadi mencintai sastra karena gurunya saya rasakan juga mencintai sastra. Saya sendiri mengenang Bu Sutiyah sebagai guru yang benar benar guru. Suaranya yang khas itu sungguh sulit dilupakan sepanjang hidup.

Dan di sekolah kami para murid sungguh beruntung, sebab ketika menempuh kelas di atasnya yang setara dengan Aliyah kami bertemu dengan guru bahasa dan sastra yang juga asyik. Kompak dengan muridnya dan membolehkan saya dan dua teman saya belajar sastra di Malioboro. Belajar sastra dan puisi pada Umbu Landu Paranggi.

Seandainya saya sebelumnya tidak ketemu Bu Sutiyah yang menjadikan saya mencintai sastra selama hidup, mungkin saat bertemu Umbu saya kesulitan belajar sastra. Dalam konteks ini, Bu Sutiyah lah yang telah berjasa membuka pintu gerbang sastra bagi murid muridnya. Termasuk saya. (Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version