Oleh: Andi Azhar
(Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Kandidat Doktor Universitas Taiwan)
“Apa kata dunia, Muhammadiyah tak bisa masuk Gaza?” ~Sudibyo Markus
Celah Raffah ditutup oleh Mesir
Di akhir bulan Desember tahun 2008, Israel, membombardir jalur Gaza-Palestina yang mengakibatkan lebih dari 1.300 orang terbunuh dan lebih dari 5.000 orang terluka (data dari Kementerian Kesehatan Palestina). Negara-negara Islam bergerak berusaha membantu rakyat Gaza yang mengalami penderitaan akibat serangan Israel tersebut. Satu-satunya akses untuk masuk Gaza untuk mengirim tim kemanusiaan dan bantuan logistik dan obat-obatan adalah melaltu Raffah gate atau celah Raffah yang berada diperbatasan Gaza-Mesir, yang sepenuhnya berada dibawah kontrol otoritas Mesir.
Banyak bantuan internasional yang pada akhirnya tidak bisa tersalurkan karena gagal menembus jalur masuk ke Gaza, karena pemerintah Mesir akhirnya menutup Raffah gate sebagai satu-satunya pintu masuk ke Gaza. Bahkan pada awal Januari 2009, akibat bombardermen Israel semakin meningkat, demi keamanan, tim kemanusiaan yang sudah berada di Gaza pun diperintahkan untuk keluar.
Tim dari Kementerian Kesehatan Indonesia yang juga sudah seminggu menunggu setiba di Kairo dengan harapan bisa segera masuk ke Gaza, namiun akhirnya menyerah. Mereka kemudian memutuskan pulang ke Jakarta tanpa bisa masuk ke Gaza.
Tim Muhammadiyah – Yakkum tertahan di Amman
Namun, hal berbeda justru dialami oleh tim kemanusiaan gabungan Muhammadiyah-Yakkum yang dipimpin oleh Dr. Ardiansyah, dokter bedah dari RS Islam Jakarta Cempaka Putih dan Dr. Joko Murdiyanto sebagai dokter anaestesi dari RS PKU Yogyakarta, dan anggota Tim yang terdiri atas Tim Muhammadiyah Disaster Management Team (MDMC) dan Yakkum Solo.
Memang sebagaimana Tim Kementerian Kesehatan, penerbangan ke Kairo sengaja transit di Amman, Ibukota Jordan, untuk memantau situasi Gaza sebelum benar-benar diijinkan masuk, disamping untuk belanja logistik dan obat-obatan. Karena sudah seminggu tertahan di Kota Amman dan tanpa ada tanda-tanda untuk bisa masuk Gaza lewat Raffah gate, Dr. Ardiansyah dan tim kemanusiaan hampir putus asa dan sudah memutuskan untuk “balik-kanan” kembali ke Jakarta.
Keputusan tersebut sudah disampaikan ke Wakil Dubes RI di Amman. Sebelum benar-benar “cabut” dari Amman, Dr. Ardiansyah mengirim sms ke Dr. Sudibyo Markus, waktu itu Ketua PP Muhammadiyah bidang kesehatan & kemanusiaan yang menugaskan Tim tersebut menuju Gaza.
Adalah Dr. Sudibyo Markus yang Ketua PP Muhammadiyah periode 2005-2010, sekaligus salah satu pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), berjuang melalui jejaring internasional yang ia miliki untuk membantu tim Muhammadiyah agar bisa masuk ke Gaza. Kala itu bulan Februari 2009. Pak Dibyo sedang berlibur ke rumah anak dan menantunya di Perth, Australia Barat. Salah satu agenda liburannya di Perth adalah pergi mengantar cucunya ke Kota Albany, sebuah kota kecil di pantai selatan Australia Barat, sekitar 6 jam perjalanan melalui high way dari Perth.
Pagi itu sekitar jam 11.00 waktu Australia, saat tengah asyik bersama dua orang cucunya bermain pasir dan mandi di pantai. Namun keceriaan itu tidak berlangsung lama tatkala datang SMS (waktu itu belum ada WA) dari Dr. Ardiansyah, yang sudah seminggu tertahan di Amman.
Terobosan “Mission impossible”
Isi SMS Dr. Ardiansyah sangat ringkas yaitu minta ijin kepada Pak Dibyo selaku penanggung jawab Tim Kemanusiaan untuk Palestina di PP Muhammadiyah, agar Tim gabungan diijinkan kembali ke Jakarta karena sudah tidak ada harapan lagi meneruskan perjalanan ke Kairo dan masuk ke Gaza.
Pak Dibyo segera berpikir cepat. SMS dari Dr. Ardiansyah pun dijawabnya tegas.
“Tidak bisa Dr. Ardiansyah”.
“Tim MDMC Muhammadiyah-Yakkum harus bisa masuk ke Gaza, bagaimanapun caranya.
“Apa kata dunia kalau Tim Kemanusiaan gagal masuk Gaza?”
Segera setelah membalas SMS tersebut, Pak Dibyo segera berpikir dan bertindak cepat. Ia berusaha mencari akal, jalan, dan terobosan untuk bagaimana caranya agar Tim Kemanusiaan antar agama ini bisa masuk ke Gaza.
Sebagai orang yang punya jejaring luas dan pengalaman pergaulan internasional, yang segera terlintas dalam pikiran Pak Dibyo adalah, bahwa Tim Muhammadiya-Yakkum pada waktu itu beruntung masih berada di Amman, belum terlanjur terbang ke Kairo. Dan bukannya dari Amman, ada lintasan tradisional yang dilewati oleh para penziarah Muslim atau Kristen yang akan pergi ke Yerusalem, ziarah ke Mesjidil Aqsa atau tempat-tempat suci agama-agama Kristen dan Yahudi lainnya.
Pak Dibyo berpikir sederhana, “apa salahnya Tim kemanusiaan Muhammadiyah-Yakkum juga masuk ke wilayah Israel melalui jalur penziarah ini menuju Yerusalem, kemudian menuju pintu masuk ke Gaza lain yang berada di wilayah Israel. Ini adalah misi kemanusiaan, bukan misi politik.
Satu-satunya “lubang jarum” untuk bisa masuk ke Gaza adalah masuk melalui pintu yang disebut Celah Erez atau Erez Gate, yang berada di sebelah utara perbatasan Gaza dengan Israel. Namun untuk lewat route tersebujt, harus seijin otoritas Israel, terlebih yang sedang dalam ststus perang dengan kelompok Hamas di Gaza.
Dengan keyakinan yang kuat, Bismillah, ia segera mengirim sms ke jejaring internasionalnya di berbagai negara untuk minta dukungan dan back up bagi keberangkatan Tim MDMC-Yakkum ini. Ya, menggunakan sms, karena pada waktu itu belum ada fasilitas WA.
Dimulai dengan menghubungi Dr. Iyang Iskandar, Sekjen Palang Merah Indonesia (PMI) yang ternyata sedang rapat IFRC (International Federation of Red Cross and Red Crescent / Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional) di Jenewa, Swiss, maupun Dr. Jounis al Khatib, Ketua Palestinian Red Crescent (Bulan Sabit Merah Palestina), yang kebetulan juga menghadiri rapat IFRC, bahkan duduk bersebelahan dengan Dr. Iyang Iskandar.
Segera setelah ”melapor” ke dua otoritas Palang Merah Indonesia dan Bulan Sabit Merah Palestina tersebut, lanjut menghubungi Dr. Hani Al Bana, Ketua Islamic Relief Worldwide Birmingham yang juga Ketua Humanitarian Forum (London), satu Forum Kemanusiaan yang baru dibentuk di London tahun 2006, yang Pak Dibyo ikut membidaninya.
Dr. Hani memberikan kontak person petugas Islamic Relief di Gaza yang bersedia menerima Tim Muhammadiyah-Yakkum setiba di Gaza nanti. Dr. Hani mendukung upaya tersebut dan menunjuk Dr. Mahmoud Soussy, petugasnya yang bertugas di Gaza untuk menerima kedatangan Tim Muhammadiyah-Yakkum.
Selanjutnya kirim sms ke Prof Al Hadith, IFRC Jeneva yang kebetulan beliau tinggal di Amman karerna beliau juga Penasehat Ratu Jordania, yang bisa membantu membelikan logistik obat-obatan, serta memandu perjalanan menyeberang perbatasan Yordania-Israel lewat King Hussein Bridge. Prof. Al Hadith yang memiliki hubungan dan berbagai akses baik dengan Israel maupun Gaza juga mendukung upaya pelik ini.
Berbagai kemudahan dari Allah
Sejak awal Pak Dibyo merasa optimis bahwa “terobosan gila” untuk bisa masuk Gaza “lewat pintu belakang” Erez gate melewati wilayah Israel ini insya Allah bisa terlaksana. Terbukti Pak Dibyo hanya dalam tempo dua jam mendapat kemudahan Allah untuk menghubungi mereka, dan semua teman yang dihubungi diatas mendukung gagasan “nyleneh” tersebut.
Kini tinggal satu masalah terakhir dan menjadi kunci kesuksesan gagasannya ini. Masalah terakhir dan kunci keberhasilan tersebut adalah meminta izin ke pemerintah Israel, yang paling tidak harus seijin Kementerian Luar Negeri dan Menteri Pertahanan Israel.
Akhirnya ia menghubungi seorang Liaison Officer “Magen David Adom” (MDA) atau Palang Merah Israel, bernama Steve Stein, yang pernah bertemu di beberapa Forum internasional. Steve Stein bahkan berkisah pernah mengawal satu pesawat jumbo berisi bantuan logistik dari pemerintah Israel untuk korban tsunami Aceh dan mendarat di Batam pada tahun 2006.
Ketika menerima SMS dari Pak Dibyo, Steve Stein menjawab “What can I do for you, Markus?”. Pak Dibyo menceritakan bahwa Tim MDMC-Yakkum untuk Gaza sudah seminggu terdampar di Kota Amman-Yordania dan tanpa kepastian untuk bisa meneruskan perjalanan ke Mesir dan apalagi masuk Gaza.
Pak Dibyo lantas bertanya ke Steve, “Would it be possible for our Muhammadiyah and Yakkum Team to get through to Gaza via Erez gate within the Israel territory?” Apa mungkin pemerintah Israel izinkan Tim MDMC-Yakkum masuk jalur Gaza lewat celah Erez di perbatasan utara Gaza yang berarti harus melewati wilayah Israel?
Anehnya, Steve Stein menjawab dengan enteng. “Wait, Markus. I will let you know within 30 minutes“. Ia akan mengabari Pak Dibyo hanya dalam 30 menit untuk urusan rumit ini??. Pak Dibyo pun sangat terkejut, bagaimana Steve Stein bisa menghubungi Kemenlu dan Kemenham Israel hanya dalam 30 menit saja?.
Dan benar saja, setengah jam berikutnya Steve sudah mengirim SMS lagi. “Markus, your Team is granted to do that, and right now your team is awaited at the Israel Embassy in Amman for visa on arrival“. Akhirnya tim MDMC-Yakkum diijinkan masuk lewat Israel dan hari itu juga Dr. Ardiansyah beserta seluruh tim ditunggu di Kedutaan Besar Israel di Kota Amman untuk urusan visa on arrival guna menjadi syarat agar bisa masuk ke Israel untuk menuju Gaza melalui celah Erez di utara.
Besok harinya, tim MDMC-Yakkum langsung diantar oleh staf KBRI Amman menuju King Hussein Bridge diperbatasan Yordania-Israel dan dijemput langsung oleh tim Palang Merah Israel. Di sana tim MDMC sempat berziarah ke Masjidil Aqsha. Keesokan paginya, tim MDMC-Yakkum, diantar oleh Tim MDA Israel langsung berangkat menuju celah Erez setelah bermalam di Tel Aviv. Dan persis saat Maghrib, tim MDMC-Yakkum akhirnya tiba di Erez dan dijemput oleh Dr. Mohammad Soussy, petugas Islamic Relief yang ditugasi Dr. Hanni Al Bana. Tim kemanusiaan Muhammadiyah dan Yakkum itu kemudian bertugas selama kurang lebih satu minggu di RS Gaza, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta melalui jalur yang sama setelah menuntaskan misi kemanusiaan mereka.
Diplomat partikulir Muhammadiyah
Menurut Pak Dibyo, kala itu ia hanya berpikir sederhana, bahwa setiap rombongan peziarah dari Indonesia yang akan berkunjung ke Masjidil Aqsa di Yerusalem, merekq bertolak dari Amman dan menyeberang ke Israel melalui jembatan King Hussein yang tepat berada di perbatasan kedua negara.
Ia terpikir apa salahnya jika Tim Kemanusiaan ke Gaza ini juga melewati jalur yang sama dengan para peziarah. Toh ini urusan kemanusiaan, bukan politik.
Belakangan, saat ia bertemu kembali dengan Steve Stein dalam suatu pertemuan yang diselenggarakan Yakkum di Pusdiklat Bencana Yakkum di Kaliurang, Yogyakarta, Steve berkata
“Markus, sungguh tidak mudah memutuskan untuk menyetujui permintaanmu waktu itu. Dalam situasi perang, segala sesuatu yang buruk bisa saja terrjadi. Kalau saja hal itu terjadi (sesuatu yang buruk) kepada Tim MDMC-Yakkum, maka itu akan menjadi skandal kemanusiaan besar di dunia. Syukurnya Tuhan melindungi tim kalian”.
Sementara itu, Wakil Dubes RI di Yordania kala itu juga sempat keheranan. Katanya, “bagaimana bisa tim yang sudah akan pulang ke Jakarta, hanya dalam dua jam tiba-tiba bisa berubah rencana, bahkan dapat masuk ke Gaza lewat wilayah Israel?”. Satu jalan yang sama sekali diluar nalar diplomasi, karena memang pemerintah RI tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Bahkan Pak Dibyo menambahkan bahwa DR. Sigit Wijayanto, Pimpinan Yakkum di Solo melaporkan, bahwa sehabis itu dia menerima telepun dari mitra internasionalnya Action Church Together (ACT) yang mengemukakan keheranan mereka “bagaimana kamu masalh bisa masuk Gaza dari pintu lain, sementara pos ACT kami di Gaza kena bom, dan kita diminta keluar oleh otoritas Mesir?”
Pak Dibyo sendiri menghabiskan pulsa kartu pasca bayarnya sebesar satu setengah jutaan rupiah untuk mengirium sms ke “delapan penjuru angin” itu karena pada waktu itu belum ada fasilitas WA. Namun jumlah tersebut tidak berarti dibanding keberhasilan dalam membantu rakyat Gaza yang kala itu sangat memerlukan bantuan karena terisolir oleh perang. Inilah salah satu bentuk komitmen dan integritas kemanusiaan yang nyata yang dimiliki oleh segenap jajaran persyarikatan Muhammadiyah.
Itulah sekelumit kisah “Diplomat partikulir Muhammadiyah” yang mencari terobosan “nyeleneh” dan muskil dalam pandangan diplomasi, tapi tidak mustahil di depan Allah. Pak Dibyo bahkan menyebut pengalaman mencari terobosan ke Gaza tersebut sebagai “mission impossible”, karena memang satu usaha yang cukup muskil, tapi dapat diwujudkan melalui proses “negosiasi” melalui sms lintas benua menggunakan HP “ja-dul” hanya dalam waktu dua jam. Pak Dibyo sangat percaya dan yakin akan adanya kemudahan dan pertolongan dari Allah dalam upaya terobosan kemanusiaan tersebut.
Bahkan dalam tulisan Pak Dibyo di media sosial lain, dikisahkannya ketika beliau harus berhutang sebesar Rp. 18 juta kepada Staf KBRI di London untuk membayar tiket pesawat kembali ke Jakarta pada waktu menghadiri rapat pembentukan Humanitarian Forum di London pada bulan Juli 2006.
Konon karena undangan rapat disampaikan hanya selang seminggu sebelumnya melalui telepun langsung dari Dr. Hani Al Bana di London, dan bulan Juli adalah musim panas dan musim liburan di Eropa, sehingga semua pesawat menuju ke Jakarta penuh. Pak Dibyo hanya berbekal tiket satu jalan, keberangkatan. Dikira tiket pulang bisa dibayar dengan kartu kredit. Ternyata kartu kredit Pak Dibyo “declined”, tak dapat otorisasi untuk bayar tiket sebesar Rp. 18 juta itu.
Itulah indahnya dan seni sebagai “diplomat partikulir Muhammadiyah”.
***
______________________________
Disclaimer : Cerita ini diolah dari penuturan langsung dr. Sudibyo Markus melalui laman media sosialnya.