Usaha Muhammadiyah Sulawesi Selatan Melahikan Ulama
Bagian 1: In Memoriam alm. Ustadz Munawwar Khalil, S.Ag., M.Ag. (1979-2021)
Oleh: Haidir Fitra Siagian
Sederhananya, ulama adalah seorang Muslim yang menguasai ilmu agama Islam, memahami syariat secara menyeluruh, mengamalkannya dan dapat menjadi teladan bagi umat Islam. Ia bertugas mengayomi dan membimbing umat Islam, baik dalam masalah agama, persoalan keumatan, juga hal-hal yang terkait dengan urusan sosial, kemasyarakatan, ekonomi, politik dan kebudayaan. Kesemua tugas tersebut dilaksanakan dengan ikhlas, penuh dedikasi dan tanggung jawab memikul amanah karena rasa takut kepada Allah Swt.
Kebutuhan akan hadirnya seorang ulama bagi satu masyarakat Muslim atau dalam organisasi keagamaan Islam, adalah sangat penting. Hal ini penting untuk memastikan keberlangsungan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Pun untuk mempertahankan eksistensi agama Islam pada satu bangsa. Karena ulamalah yang mendidik dan mengajari masyarakat dalam beragama. Kepada ulamalah sebaik-baiknya umat bertanya tentang berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, kehadiran seorang ulama harus diupayakan secara berkesinambungan. Masyarakat tidak boleh alpa tanpa kehadiran seorang ulama. Sebelum seorang ulama wafat, mestilah sudah ada beberapa orang yang siap sebagai penggantinya. Patah tumbuh hilang berganti. Ketiadaan ulama akan membawa persoalan besar bagi suatu komunitas Muslim. Sehingga perlu ada upaya yang sistematis dan terencana untuk mempersiapkan generasi yang berjiwa ulama, guna mengisi dan menggantikan ulama-ulama yang sudah sepuh ataupun yang telah wafat.
Semua komponen umat Islam memiliki tanggung jawab atau keharusan untuk melahirkan ulama. Ulama dapat lahir secara alamiah dan dapat dipula dilakukan dengan perencanaan yang baik. Khususnya di Indonesia, organisasi kemasyarakatan Islam memiliki kewajiban mencetak ulama. Lembaga-lembaga pendidikan atau pesantren yang didirikan oleh ormas Islam adalah bertujuan untuk mencetak kader ulama, baik yang masih bersifat tradisional maupun yang sudah modern. Meskipun bukan pekerjaan yang mudah, penuh dinamika dan menghadapi berbagai tantangan, usaha mencetak ulama harus senantiasa diusahakan.
Untuk melahirkan seorang ulama, dapat ditempuh melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal. Hal inilah antara lain yang mendasari, para orang tua kita, pengurus Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara pada awal tahun 1970-an, yang antara lain diinisiasi oleh almarhum Ustadz KH. Abdul Jabbar Asyiri, Ketua PWM Sulselra waktu itu, mendirikan sekolah formal untuk mencetak generasi yang berjiwa ulama. Didirikanlah sebuah sekolah calon kader ulama Muhammadiyah yang bernama Pondok Pesantren “Darul Arqam” Muhammadiyah Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara, yang sekarang berlokasi di Kampung Gombara, Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Dua puluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1990, dalam Musyawarah Wilayah Ke-34 Muhammadiyah Sulawesi Selatan di Sengkang Kabupaten Wajo, keberadaan Pondok Pesantren “Darul Arqam” ini, dibicarakan secara khusus dan semakin dipertegas. Mengingat pada saat itu, kekurangan ulama Muhammadiyah di Sulawesi Selatan semakin terasa. Apalagi pada masa yang akan datang. Sehingga Musywil kembali memutuskan untuk memperkuat pembinaan dan mengukuhkan eksistensinya sebagai penjaringan bibit kader ulama Muhammadiyah.
Yang menjadi Ketua Panitia Pelaksana Musywil tersebut adalah seorang tokoh Muhammadiyah Wajo yang bernama M. Satar Asy Jaya, B.A. Seorang kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan kemudian pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Wajo dari Partai Golkar, selama enam periode. Satu tahun kemudian, 1991, untuk mendukung atau mengejewantahkan hasil Musywil tersebut, semakin banyak warga Muhammadiyah dari Kabupaten Wajo dan kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan yang menyekolahkan anaknya ke Pondok Pesantren Gombara. Khususnya tokoh-tokoh Muhammadiyah Wajo seolah sepakat berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke sini.
Seakan-akan pula, ada kesan bahwa kualitas kemuhammmadiyahan seorang tokoh Muhammadiyah di Wajo, diukur jika dia menyekolahkan anaknya ke “Darul Arqam”. Bahkan harkat dan martabatnya ikut naik. Tentu bukan itu yang mereka cari. Lebih kepada upaya mendukung keputusan musyawarah yang dilaksanakan di kampung halamannya. Di antara anak yang disekolahkan tersebut adalah seorang lelaki yang bernama Munawwar Khalil. Tokoh Muhammadiyah lainnya yang bernama H. Dahlan Ware (alm), dalam catatan penulis, pun menyekolahkan putrinya ke pesantren ini.
Selama mengikuti pendidikan di pesantren, Munawwar Khalil menunjukkan prestasi yang sangat baik dan cemerlang. Juga aktif berorganisasi melalui Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dan pada tahun 1995-1996 sempat menjadi Ketua Ranting di pesantren tersebut. Saya pertama kali bertemu dengan beliau adalah pada sekitar tahun itu. Dalam rangka membawakan sambutan ketika mereka melakukan penataran pimpinan, mewakili Pimpinan Wilayah Ikatan Remaja Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Kemudian dalam satu acara yang dilaksanakan oleh Harian Fajar Ujungpandang sekitar tahun 1996, kami sempat bertemu. Dia datang bersama beberapa temannya sesama pengurus Ranting IRM “Darul Arqam” dengan pakaian lengkap sekolah, putih abu-abu. Di kantong bajunya ada logo IRM (bersambung).
Wollongong, 09 September 2021
Haidir Fitra Siagian, Dosen UIN Alauddin Makassar/Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Australia