Perihal Amanah
Acapkali dalam percakapan lisan dan wacana tulisan kosakata “amanah” diucapkan dan diguratkan. Baik dalam perbincangan informal sehari-hari maupun dalam acara formal dan seremonial yang terjadwal pada momen tertentu kata tersebut kerap terucapkan dan lazim tersuratkan.Vokeb yang berasal dari Bahasa Arab itu dalam leksikon Indonesia termaktub dalam dua lema: amanah dan amanat. Ada kemiripan dan sekaligus distingsi makna dari dua entry tersebut.
Mari kita simak bersama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 35). Amanah (sebagai kata benda) berarti: sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain; keamanan; ketenteraman. Sebagai kata sifat, amanah berarti dapat dipercaya (boleh dipercaya); setia. Amanat (sebagai kata benda) berarti: pesan; perintah (dari atas); keterangan (dari pemerintah); wejangan (dari orang yang terkemuka).
Dengan demikian, di satu sisi amanah menjadi salah satu sifat utama atau karakter unggul yang mesti terpatri pada setiap pribadi manusia; dan pada sisi lain amanah juga merupakan sesuatu yang harus dijaga dan disampaikan kepada sang empunya hak. Amanah sebagai bagian dari kepribadian yang mulia itu menjadi persona yang melekat pada orang-orang yang sadar penuh dengan fitrah kemanusiaannya; dan sensitif dengan hal-hal yang bukan miliknya dan karena itu wajib diserahkan kepada yang berhak sebagaimana titah-Nya (Q.s. 4: 58).
Persoalannya adalah, amanah kerap berada pada posisi yang ambigu dan sumir. Amanah sudah lama menjadi barang langka, dan karena itu ia menjadi antik yang penuh daya pesona dan lalu diburu oleh para penyuka dan perindunya. Karena langkanya itu maka dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi umpamanya, amanah sulit untuk ditemukan. Walhasil kecurangan, kelicikan, dan pengkhianatan semakin bersimaharajalela dan menjadi berkuasa dalam banyak aspek kehidupan.
Amanah itu nyaris kalis tidak mewarnai sikap dan perilaku para penghuni bumi karena terkikis oleh gaya hidup hedonis, egois, dan nepotis orang-orang yang terbelenggu kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya. Oknum-oknum seperti ini biasanya piawai memainkan seni topeng dan jurus berdusta, lempar batu sembunyi tangan, dan menohok kawan seiring mengunting dalam lipatan. Jadilah subjektivisme—ananiyah atau nahnuniyah–yang beririsan dengan watak pengkhianat dan penjilat menjelma sebagai neraca timpang dan timbangan sungsang untuk menuduh dan menghujat orang-orang yang dikategorikan sang liyan.
Berlawanan dengan modus seperti itu, amanah bersemayam dalam idealisme hidup yang sarat nilai dan kesadaran Ketuhanan—yang menjadi salah satu sifat wajib para Nabi dan Rasul. Sebagai karakater utama amanah berada dalam ranah yang melekat dengan aspek rasa keberagamaan yang intens dan asa kemanusiaan yang bermuara untuk kebajikan sesama dan orang banyak. Semacam rasa hayat berketuhanan yang senantiasa berjalin-kelindan dengan tenggang kemanusiaan dan kepedulian seosial yang tulus.
Perihal amanah demikian itu misalnya bisa dilacak dari kesamaan akar katanya dengan “iman” (al-iman) dan “mu’min” (al-mu’min). Orang yang beriman atau seorang mu’min itu bukan saja percaya dan beriman kepada Allah Swt tetapi juga bisa dipercaya (amanah) dan bisa memberikan rasa aman kepada orang lain serta lingkungan sekitar.
Amanah, tak pelak lagi berdimensi vertikal dan horizontal. Senantiasa ada pertautan transendental dengan Dzat yang diimani, Allah Swt, dan secara sadar pula ada pertalian sosial dengan khalayak. [asep p. bahtiar]
Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2018