Muhammadiyah Wasathiyah Berkemajuan
Oleh Prof DR KH Haedar Nashir, M.Si.
Muhammadiyah saat ini berada dalam tarikan paham keagamaan khususnya di kalangan umat Islam yang sangat beragam. Pasca reformasi di tengah arus globalisasi yang kompleks memunculkan bermacam paham keislaman yang cenderung ekstrem (ghuluw) baik yang bercorak konservatif (ortodoks) maupun yang progresif-liberal, yang secara gampangan sering disebut kanan versus kiri. Apapun kecenderungan paham tersebut berpengaruh terhadap pola kehidupan umat Islam, termasuk ke Muhammadiyah.
Mengemukanya paham keislaman yang polanya cenderung keras, ekstrem, intoleran, takfiri, dan ciri-ciri lainnya pada sisi lain menggambarkan watak konservatif dalam beragama. Sebagian kalangan menyebutnya paham radikal. Demikian halnya dengan paham sekular-liberal yang menganut kebebasan seperti membolehkan LGBT, tidak lepas dari kecenderungan beragama yang serbaboleh menyesuaikan zaman yang lepas dari nilai-nilai skaral agama. Tarik menarik paham keislaman tersebut akan terus berlangsung seiring dengan kehidupan modern abad ke-21 (posmodern) yang sangat kompleks.
Karenanya warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh lingkungan dan kelembagaan penting memahami perkembangan paham keagamaan yang bersifat mutakhir itu agar tidak mudah terbawa arus. Seraya meneguhkan paham keislaman yang menjadi rujukan Muhammadiyah sebagaimana dipedomani dalam Manhaj Tarjih dan pemikiran-pemikiran resmi Muhammadiyah seperti pandangan Islam Berkemajuan dan Risalah Pencerahan.
Semangat Berislam
Alhamdulillah saat ini gairah berislam di kalangan umat Islam secara meluas tengah menjadi kenyataan yang niscaya. Kegiatan-kegiatan majelis taklim, dzikir, umrah dan haji, shalat berjamaah, dan ritual-mahdhah lainnya sangatlah marak dan meluas. Berkembang gerakan “hijrah” di kalangan muslim menengah ke atas terutama di kota-kota besar, termasuk para artis dan profesional, yang menampakkan gairah Islam yang tinggi di ruang publik. Perempuan yang berbusana muslimah yang lebar dan bercadar makin bertumbuh. Semua menunjukkan semarak berislam yang meluas. Istilah-istilah harian pun semakin simbolik atau verbal, seperti penggunaan “insya Allah” dan “amin” yang sudah menjadi bahasa Indonesia dikoreksi dengan literasi aselinya dalam bahasa Arab.
Kegairahan berislam yang demikian tentu positif, lebih-lebih ketika dipertentangkan dengan berislam yang “awam” dan “sekuler”. Namun manakala menggumpal menjadi semakin rigid, kaku, dan tertutup apalagi tanpa pemahaman Islam yang lengkap dalam pendekatan bayani, burhani, dan irfani maka akan menjadi “ortodoksi” (salafiyah) Islam yang berwatak “konservatif” hingga “ultra-kinservatif”. Dalam rujukan Islam dapat disebut sebagai “ghuluw” (ektrem) dalam beragama. Jika kecenderungan ekstrem tersebut meluas maka akan melahirkan sikap keislaman yang ekslusif, fanatik, dan intoleran.
Permunian (tandhif, tajrid, purifikasi) dalam berislam memang merupakan bagian penting dari menjaga keotentikkan dalam beragama terutama tentang aqidah, ibadah, dan akhlak. Tetapi pemahaman dan praktik pemurnian Islam tersebut juga memerlukan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang utuh sesuai dengan aspek dan substansinya agar tidak bias. Contoh bias misalnya dalam pandangan umum termasuk tarjih Muhammadiyah bahwa muka dan tangan bagi muslimah bukanlah aurat, maka cadar semestinya jangan diletakkan sebagai perintah ajaran Islam apalagi sebagai wajib dan “syar’i” yang dianggap murni. Apalagi mereka yang bercadar memandang muslimah lain yang tidak bercadar sebagai kurang Islami, padahal cadar sendiri dalam pandangan keislaman yang umum bukanlah perintah ajaran, bahkan secara khusus sebagai tradisi berpakaian perempuan Arab di zaman dulu.
Dalam pemurnian ajaran Islam pun perlu pengayaan dan aspek lain dari praktik beragama. Contohnya dalam hal ibadah shalat selain aspek rukun yang harus sesuai ajaran Islam sebagaimana dicontohkan Rasulullah, juga memerlukan aspek khusyuk dan manfaat kebaikan (tahsinah) dari ibadah mahdhah tersebut yang melekat dengan perintah dalam menegakkan shalat. Aspek rukun pun ada yang ikhtilaf antara satu mazhab atau pandangan dengan pandangan lain yang memerlukan toleransi (tasamuh) dan keragaman cara (tanawu’) sehingga tidak mutlak-mutlakan yang merasa diri paling benar dalam beribadah.
Apalagi dalam urusan mu’amalah-dunyawiyah seperti ekomomi, politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan aspek keduniawian lainnya. Dimensi mu’amalah bersifat “ibahah” (kebolehan), ijtihadi, dan sebagaimana sabda Nabi “antum ‘alamu bi-amri dunya-kum” (engkau lebih tahu dalam urusan duniamu). Prinsip nilai dan etika menjadi fondasi dalam bermu’amalah, termasuk dalam berinteraksi sosial dengan sesama sebagaimana ajaran tentang “ta’awun”, “ta’aruf” yang bersifat melintasi. Sebaiknya dalam bermu’amalah tidak dikonstruksi menjadi serba-prinsip seperti urusan akidah dan ibadah, sehingga menjadi serba kaku dan banyak larangan kecuali memang benar-benar dilarang. Argumen ini tentu bukan berarti dan tidak harus disamakan dengan sekularisasi kehidupan.
Dalam kondisi dan konteks beragama yang ekstrem atau ortodoks itu maka Muhammadiyah penting meneguhkan Manhaj Tarjih dan pemahaman Islam berkemajuan. Hal itu diperlukan agar di satu pihak tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang murni sebagaiamana fondasinya, bersamaan dengan itu terbuka lebar pada dinamisasi atau pembaruan yang meluas dan melintasi untuk memberikan jawaban atas persoalan-persoalan hidup duniawi yang bersifat ijtihadi sepanjang ajaran Islam dalam misi rahmatan lil-‘alamin.
Wasathiyah Berkemajuan
Muhammadiyah dalam pandangan Azyumardi Azra, kendati secara teologis atau ideologis memiliki akar pada Salafisme atau Salafiyah, tetapi watak atau sifatnya tengahan atau moderat yang disebutnya sebagai bercorak Salafiyyah Wasithiyyah (Republika, 13 Oktober 2005). Karena itu, kendati sering diposisikan berada dalam matarantai gerakan pembaruan Islam di dunia muslim yang bertajuk utama al-ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah, Muhammadiyah tidak kental bercorak gerakan Timur Tengah, karena watak dan orientasi gerakannya lebih lentur dan tengahan sesuai dengan watak masyarakat dan kondisi sosiologis Indonesia.
Posisi tengahan jangan menjadi retorika negatif seolah serba abu-abu, sebab jika dirujuk pada prinsip-prinsip gerakan Muhammadiyah, termasuk faham agama dalam Muhammadiyah, semuanya sudah jelas dan terang benderang. Sebutlah aspek tajdid purifikasi dan dinamisasi, pemahaman Islam dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Posisi tengahan juga jangan diplesetkan bukan kanan dan bukan kiri, sehingga menjadi yang bukan-bukan. Bacalah Kepribadian Muhammadiyah misalnya, betapa terang benderang karakter gerakan Islam ini. Bukankah khair al-‘umur awsatuha, bahwa sebaik-baik urusan yang bersifat tengahan? Dalam posisi yang tengahan Muhammadiyah mampu menampilkan khazanah Islam yang kaya dan bersifat alternatif.
Muhammadiyah dalam posisi tengahan sebagai gerakan Islam cukup jelas yakni berkarakter reformis-modernis dengan basis pandangan Islam yang berkemajuan, yang bukan akan tetapi sudah berkiprah menjadi pencerah umat dan bangsa dalam perjalanannya satu abad. Ditarik ke mana pun, kelebihan Muhammadiyah dengan karakter reformis-modernis yang berbasis pandangan Islam yang berkemajuan, telah berkiprah sekuat ikhtiar dalam mewujudkan amaliah Islam yang konkret di berbagai bidang kehidupan di bidang dakwah bi-lisan, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan usaha-usaha lain yang bersifat dakwah bil-hal yang mencerahkan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan universal.
Boleh jadi dalam pemikiran tidak kaya seperti golongan neomodernisme Islam, tetapi pemikiran-pemikirannya relatif mencukupi dan tidak kalah pentingnya diwujudkan melalui pranata-pranata sosial Islam yang melahirkan pencerahan dalam bentuk pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan kehidupan secara nyata dan dirasakan kemaslahatannya oleh masyarakat luas.
Islam tengahan atau wasathiyah adalah Islam yang dalam beragama menampilkan sikap wajar dan tidak ekstrem (ghuluw), sehingga membentuk muslim yang berrakhlak mulia, damai, toleran, dan bermu’amalah dengan siapapun secara ma’ruf. Umat Islam tengahan sering dikenal “kuat dalam prinsip, luwes dalam cara”, lebih-lebih dalam ber’muamalah pada urusan-urusan dunia dengan masyarakat luas maka sikap tawasuth itu menjadi karakter muslim. Inilah yang dikenal sebagai watak “ummatan wasatha” yang menjadi “syuhadaa ‘ala al-nas” (QS al-Baqarah: 143) di alam raya. Umat wasathiyah harus maju untuk menjadi rahmatan lil-‘alamin (QS al-Anbiya: 107).
Dalam konteks kehidupan kontemporer yang serba kompleks maka sungguh penting dan relevan kehadiran Islam Indonesia dan Muhammadiyah yang moderat berkemajuan. Umat Islam Indonesia yang mayoritas harus tampil sebagai umat tengahan berkemajuan, bukan sebagai golongan yang besar sebatas jumlah. Apalah artinya besar secara kuantitas tetapi kalah dalam kualitas. Kata pepatah Arab, “faaqid asy-syaiy la yu’thi”, bahwa orang atau kelompok yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin dapat memberi sesuatu kepada pihak lain. Apalah artinya Islam wasathiyah atau moderat jika tertinggal dan tangan di bawah meskipun suka bersuara lantang.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam “wasathiyah berkemajuan” haruslah tampil sebagai alternatif terbaik dari gerakan-gerakan Islam maupun gerakan keagamaan lain. Pada abad modern sat ini dan ke depan Muhammadiyah harus “berfastabiq al-khairat” dengan pemikiran baru yang lebih progresif dibandingkan gerakan “postradisionalisme” dan “posmodernisme” yang tengah bangkit saat ini, sekaligus menjadi alternatif dari gerakan pemurnian Islam yang cenderung konservatif atau ortodoks yang tidak akan mampu memberi jawaban menyeluruh atas persoalan-persoalan zaman modern abad ke-21. Dengan demikian maka Muhammadiyah dapat menampilkan Islam sebagai agama pembawa peradaban maju (Din al-Hadlarah) di era baru.
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2019