Puritan Islam
Oleh DR Masud HMN
Puritan Islam sebagai Islam Hulu yang identik dengan pemurnian ajaran. Kemurnian itu semakin ke hilir perkembangan ajaran Islam semakin keruh, atau hilang kejernihannya lantaran terkontimininasi oleh unsur lain. Bahkan ajaran Islam murni menjadi campur aduk.
Mungkin itu bukan alamatnya atau sebagai tujuannya. Tetapi sengaja atau tidak sengaja Islam telah hilang kemurniannya oleh faham tradisionalisme dengan ide santri dan abangan. Sederhana namun dengan ajaran polarisasi persamaan itu menyesatkan. Ajaran berbaurnya kebenaran dan kebatilan, sehingga antara keduanya kebenaran dan kebatilan tidak bisa dibedakan lagi.
Sejatinya Puritan adalah sebuah semangat gagasan Islam yang pernah ada pada masa Nabi. Semangat itu terpantik kemunculan di bawah gagasan Wahabi dari Abdul Wahab dari Saudi Arabia (Syafiq Hasyim, 2002). Akibatnya wajah Islam lebih mencerminkan Islam Arab Timur Tengah sementara tradisi lokal diabaikan.
Demikianlah, Clifford Geertz dalam kaitan ini coba mengklasifikasikan Islam dalam tiga klasifikasi pada santri, priyayi, dan abangan. Kelompok santri kelompok yang taat, kelompok priyayi kelompok elit. Penguasa dan kelompok abangan sebagai kelas masyarakat yang percaya sinkretisme, pedukunan dan lain sebagainya.
Teori ini popular untuk menjadi pisau analisa untuk kajian Islam Indonesia, khususnya di Jawa (Santri, Priyayi, Abangan Pustaka Jaya, 1981). Namun hal ini merugikan pada gerakan Islam. Bagaimana tidak, karena Islam itu terbagi-bagi. Fenomena ini menyeruduk kepada pola ajaran Islam menimbulkan Islam tidak utuh. Bahkan lebih jauh Islam menjadi retak kemudian bercerai berai, karena ajaran normanya galau, kabur dan tidak utuh.
Kedatangan Wahabi sebagai faham untuk menawarkan Puritanisme Islam ke Indonesia menimbulkan masalah juga. Karena menjadikan platform ajaran dari teks yaitu Quran dan Sunnah yang pengejawantahannya cenderung kaku dan mengabaikan tradisi lokal yang masih relevan.
Seeloknya faham itu harus dinamis, mengedepankan hikmah, dan kebijaksanaan yang tinggi. Mengadopsi kearifan lokal. Menjadikan faham yang dinamis tidak kaku dan sesuai dengan suasana perkembangan zaman.
Agaknya pendapat Al Farabi (870-950 Masehi) seorang intelektual bidang etika dan Tasawuf yang hidup pada masa abad X asal Damaskus, Syria, mempunyai ajaran yang menarik dalam kaitan ini. Al Farabi menulis buku Al Fadhilah al Madinah tentang Negara keutamaan.
Ia menunjuk sistem berpikir manusia dengan 5 bentuk perilaku yaitu (1) fasiq (2) Jahiliyah, (3) dhalalah (4) mubaddalah tidak kosisten dan (5) fadhillah keutamaan. Ia berpendapat dari 5 perilaku dalam Islam tersebut empat diantaranya harus ditolak karena mengandung unsiur negatif bagi gerakan Islam, padahal itu adalah fenomena masyrakat pada umumnya. Hanya satu yang harus diterima yaitu fadillah atau keutamaan.
Perspektif Puritan Islam dengan pandangan Al Farabi menjadi menarik sebagai jalan tengah dari arus besar perkembangan perilaku masyrakat modern kini. Mengapa? Perkembangan yang terlalu membiarkan ajaran lokal atau modernisme barat akan membawa semrautnya kemurnian Islam yang prinsip. Kita memerlukan Puritinisme Dinamis mengedapankan ajaran hikmah, atau dengan kata lain oke secara ideolgis, namun sesuai secara sosiologis.
Hanya dengan ajaran fadhillah atau prinsip keutamaan dapat membawa positif gerakan Islam ke depan, karena dapat membuang jahilisme, dhalallisme atau kesesatan, serta membuang mubaddalah yang tidak kosisten.
DR Masud HMN, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta