Urgensi Ketua Komisariat dalam IMM
Oleh: Predianto
Sistem Pengkaderan Ikatan (SPI) sebagai rujukan dalam kaderisasi di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tidak pernah berubah secera tujuan dari dulu hingga saat ini. Penulis ingin menegaskan kembali bahwa tujuan IMM adalah mengusahakan terwujudnya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
IMM sebagai organisasi yang fokus gerakanya adalah kaderisasi dalam rangka mengusahakan terbentuknya masyarakat Islam sebagai basis intelektual, basis perkaderan dan memberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin masa depan. Jadi sudah sangat jelas bahwa adanya IMM bukan sebagai ajang naik ke kursi jabatan atau dalam analogi yang berbeda sebagai objek validasi untuk memperebutkan panggung politik praktis.
Identitas IMM sendiri adalah organisasi kaderisasi yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Oleh karena itu, secara etika tujuan IMM dan tujuan Muhammadiyah bekerja secara berkesinambungan. Tidak etis apabila orientasi pengkaderan IMM hari ini semata-mata dijadikan alibi yang bertendensikan pada kepentingan pribadi tanpa menghiraukan apa yang menjadi tujuan IMM serta dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
Diskusi, dialektika dan retorika tanpa adanya dikotomi ilmu pengetahuan seharusnya menjadi fokus landasan gerak yang sedang mengarahkan kader-kader intelektual, religius dan humanis. Penulis tidak menyebutkan mencetak atau membentuk, karena kader-kader IMM adalah manusia merdeka yang cukup kita berikan pendidikan dengan metode-metode yang tepat.
Tri Kompetensi Dasar (TRIKODA) IMM yang berisi intelektualitas, religiusitas dan humanitas hanya akan menjadi kata-kata yang dalam bahasa jawa disebut sebagai muspro. Yaitu disebut mati tetapi tidak hilang. Agar lebih mudah kita dalam memahaminya seperti halnya jika menengok kelahiran orang ataupun hewan pasti ada pertanyaan apa jenis kelaminya. Begitu juga IMM harus senantiasa tetap merawat identitas kelahiranya dari dulu hingga sekarang.
Sebagai kader IMM tentunya sudah jelas dalam mengidentifikasi tentang adanya jenjang struktural yang harus dilalui mulai sejak di komisariat. Komisariat adalah jenjang awal di mana proses laboratorium kepemimpinan sebelum akhirnya menjadi anggota pimpinan komisariat.
Dalam lingkup komisariat yang paling menentukan adalah kemampuan ketua komisariat dalam mengawal berbagai program kerja yang akan dijalankan. Ketua komisariat setidaknya secara kapasitas intelektual sudah memadai untuk memberikan dampak secara masif kepada kader-kader dan juga Badan Pengurus Harian (BPH) yang selingkup dan sekerjanya.
Dengan kemampuan kapasitas intelektualitas ketua komisariat yang mumpuni, akan senantiasa merawat identitas IMM dari akar rumput yang berimplikasi pada kepengurusan atau periode setelahnya. Jika itu semua terpenuhi maka pemahaman kader-kader komisariat tentang asas dan tujuan organisasi akan berdampak pada kecakapan berfikir dan menentukan penerapanya dalam lingkup IMM maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Tolok ukur komisariat akan membentuk kultur selanjutnya sebagai lokomotif intelektual yang tidak hanya mencetak dan membentuk kader-kadernya akan menjadi apa atau seharusnya menjadi apa. Mereka akan dengan sendirinya mencari jati diri dan juga kecenderunganya masing-masing dalam posisinya sebagai manusia merdeka.
Lain daripada itu, jika ketua komisariat hanya memikirkan bagaimana agar kader-kader nyaman untuk ikut IMM, bagaimana mencari kader baru saat menjelang masuknya mahasiswa baru atau membuat acara-acara yang bersifat teknis yang tidak ada hubunganya dengan tujuan dalam membentuk kader intelektual, maka akan melahirkan kader manja yang nyaman saja tetapi tidak ada isinya.
Ketua komisariat harus merasakan bagaimana sakitnya melahirkan seperti halnya seorang ibu melahirkan anaknya dengan penuh perjuangan dan rasa sakit. Anggapan bahwa kader banyak adalah kuat harus segera dirubah paradigmanya.
Tidak akan ada habisnya jika kita hanya berebut salah ataupun berebut benar apalagi berebut kader dalam mencetak bibit unggul di IMM. Komisariat harus menikmati rasa sakit melahirkan dan merawat penuh cinta kasih kader IMM agar tidak mudah terdoktrin dan di tarik oleh arus politik praktis.
Jenjang komisariat adalah langkah yang anggun dalam moral untuk mencetak kader yang unggul dalam intelektual. Maka kapasitas dan kualitas ketua komisariat sebagai aktor dan teladan akan sangat berpengaruh dalam menentukan partisipasi aktif dan loyalitas terhadap anggota maupun kadernya.
Jadi, ketika ketua komisariat dan anggota maupun kader-kadernya aktif dan loyal, akan terbentuk kultur pengkaderan tidak bercabang dua yang saling bertentangan, tetapi berjalan pada rel dan arah mata angin yang satu tujuan. Abadi perjuangan!
Predianto, Ketua Komisariat FAI Universitas Muhammadiyah Ponorogo