Yerussalem: Dari Situs Agama Hingga Ibu Kota
Oleh: Azhar Rasyid
Dewasa ini, barangkali tidak ada kota yang paling diperebutkan oleh berbagai kekuatan global selain Yerussalem atau AlQuds. Para penganut Islam, Kristen, dan Yahudi, yang secara nominal membentuk separoh warga dunia, menganggap Yerussalem sebagai kota suci mereka. Ini tidaklah mengherankan karena Yerussalem dihiasi berbagai situs yang sangat dihormati ketiga agama tersebut.
Dalam beberapa milenium terakhir, Yerussalem berulang-kali berganti kepemilikan, yang kemudian menentukan pula corak dominan kota ini. Yang terbaru, Presiden Amerika Serikat Donald Trump ikut menambah buruk konflik Israel-Palestina dengan mengakui Yerussalem sebagai ibu kota Israel. Bukannya mencontoh toleransi beragama yang dicontohkan Umar bin Khattab dan Salahuddin alAyyubi dalam mengelola Yerussalem, sikap Trump justru semakin mengukuhkan penjajahan Israel di Yerussalem.
Dari segi geografis dan topografis, sebenarnya tidak ada yang istimewa dari Yerussalem. Seperti dikatakan Simon Sebag Montefiore, dalam bukunya, Jerusalem: The Biography, secara fisik Yerussalem tidaklah atraktif: “…terpencil dari rute-rute perdagangan pesisir Mediterania; tempat itu kekurangan air, terpanggang di bawah matahari musim panas, menggigil oleh angin musim dingin, batu-batunya melepuh dan tidak nyaman dihuni.”
Tapi agamalah, dan bukan alam, yang membuat Yerussalem menjadi magnet bagi umat manusia. Besarnya perhatian pada Yerussalem sudah dimulai bahkan sejak dari namanya sendiri. Yerussalem dikenal dengan berbagai nama. Menurut satu catatan, paling sedikit ada tujuh belas nama, dan paling banyak ada sekitar tujuh puluh nama, yang tercatat dalam sejarah untuk mengacu pada Yerussalem atau situs-situs suci yang menjadi intinya. Dalam dua milenium sebelum Masehi, misalnya, tempat ini dikenal sebagai Rushalimum dan kemudian sebagai Urusalim. Di awal masa Islam, nama tempat ini ialah Iliya’ madinat bayt almakdis. Nama-nama lain muncul belakangan, mulai dari al-Kuds, al-ard al-mukaddasa, dar al-salam, hingga ‘ir hash-shalom (dari bahasa Ibrani).
Dilihat dari peninggalan arkeologis yang ada, Yerussalem telah dihuni manusia sejak Zaman Perunggu Awal (sekitar 3000 SM). Bangsa Jebusit yang berasal dari Semit Barat adalah penghuni awal Yerussalem. Orang Yahudi percaya bahwa sekitar tahun 1000 SM Raja Daud berhasil menaklukkan kotanya orang Jebusit ini dan menjadikannya sebagai pusat politik dan keagamaannya.
Tiga pengikut agama samawi memiliki ikatan dengan Yerussalem. Bagi orang Yahudi, Yerussalem adalah tempat kuil suci mereka. Penguasa Romawi pagan menghancurkan situs penting Yahudi di sana. Barulah setelah penguasa Romawi memeluk agama Kristen orang Yahudi diperbolehkan untuk memasuki Yerussalem. Mereka diizinkan menangisi hancurnya kuil kuno mereka, suatu ritual yang masih mereka lakukan hingga kini di tempat yang dikenal sebagai Tembok Ratapan (Tembok Burak dalam istilah warga Palestina).
Bagi orang Kristen, Yerussalem dipercaya sebagai tempat berlangsungnya berbagai peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan Yesus. Berbagai monumen Kristen dibangun di sini saat penguasa Romawi, Constantine, memeluk Kristen. Yerussalem adalah tempat suci ketiga bagi umat Islam setelah Makkah dan Madinah. Perjalanan Malam Nabi Muhammad ke Langit (isra’) dilakukan dari suatu tempat di Yerussalem. Dari perjalanan inilah kaum Muslim mendapatkan perintah shalat. Sebelum berkiblat ke Makkah, Muslim shalat dengan mengarah ke Yerussalem.
Yerussalem berkali-kali berpindah tangan. Sebelum Islam datang, Yerussalem dikuasai Romawi pagan, lalu diambil alih oleh orang Persia, lalu kembali dikuasai kembali oleh Romawi. Sebelum penguasa Islam memerintah di Yerussalem, persekusi skala besar beberapa kali terjadi. Masuknya kekuatan politik Islam ke Yerussalem memberi warna baru yang lebih damai bagi relasi antaragama di kota ini. Umar bin Khattab adalah kalifah Islam pertama yang memerintah di Yerussalem.
Walau ada kekhawatiran di antara orang Kristen akan kedatangan penguasa baru ini, Umar mengambil langkah strategis. Dalam bahasa Aslam FaroukAlli (2004), peneliti di University of Cape Town, Afrika Selatan, Umar “menunjukkan sikap toleransi yang belum pernah ada sebelumnya” saat menerima penyerahan Yerussalem dari uskup Kristen kota itu, Sophronius. Setidaknya ada tiga sikap menghargai perbedaan yang diambil Umar terhadap penganut Kristen di Yerussalem.
Pertama, melindungi tempat-tempat suci mereka. Kedua, menjamin keselamatan mereka. Dan ketiga, menolak tawaran untuk melakukan shalat di sebuah tempat suci Kristen. Bila shalat di sana, Umar khawatir hal itu akan dijadikan justifikasi di masa depan untuk mengambil alih tempat suci itu.
Setelah sempat lepas dari penguasa Muslim saat Perang Salib, Yerussalem berhasil diambil alih oleh Salahuddin al-Ayyubi. Ia memperbolehkan orang Yahudi untuk berkunjung ke Tembok Ratapan yang juga merupakan dinding barat Masjid Al-Aqsa. Namun, sebagaimana dikatakan seorang pengamat Timur Tengah, sikap toleran seperti ini kemudian ditafsirkan oleh sejumlah orang Yahudi sebagai hak mutlak untuk menguasai kompleks situs suci itu.
Yerussalem berada di bawah pengelolaan para penguasa Muslim selama berabad-abad, mulai dari masa Abbasiyah hingga Turki Usmani di awal abad ke-20. Sesudah itu, Yerussalem sempat berada di bawah mandat Inggris. Dua kali perang di abad ke20, Perang Arab-Israel tahun 1948 dan Perang Enam Hari tahun 1967, mengubah peta politik Yerussalem bahkan hingga kini, dengan Israel perlahan-lahan menguasai satu per satu bagian Yerussalem.
Alih-alih memulihkan hak-hak bangsa Palestina, Amerika Serikat sebagai sekutu terdekat Israel justru menjustifikasi pencaplokan wilayah Palestina yang telah berlangsung selama tiga perempat abad terakhir. Bila di masa silam upaya mengklaim tanah Palestina dilakukan dengan landasan agama, kini Israel membawa alasan administratif untuk kian mengukuhkan eksistensinya.
Kota, apalagi ibu kota, bukan hanya tempat tinggal bagi warga, melainkan sebuah ruang strategis yang bisa dipakai untuk membangun kesadaran politik tertentu. Ini dilakukan dengan mempromosikan ideologi penguasa ibu kota itu melalui berbagai proyek kota, contohnya pembangunan bangunan dan monumen serta penamaan jalan. Di sisi lain, penguasa baru di ibu kota juga akan berusaha menghapus memori tentang kelompok masyarakat lain yang menjadi musuhnya. Maka, bila Yerussalem diakui dan diterima sebagai ibu kota Israel, ada satu hal yang tampak jelas di depan mata: de-Palestinaisasi Yerussalem.
Azhar Rasyid. Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2018