Kisah Mahasiswa UAD dalam Membudayakan Literasi
Budaya literasi sangat berperan dalam menciptakan masyarakat yang cerdas yang mana nantinya akan membentuk bangsa berkualitas. Secara sederhana literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan.
Pada arus Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) abad 21 ini, menjadikan literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, dan visual, yang disebut sebagai literasi informasi.
Sejak 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti dengan membentuk kelompok kerja Gerakan Literasi Nasional untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan literasi.
Hal inilah yang dilakukan oleh Fatimah mahasiswi dari Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia (Sasindo) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) berhasil mendirikan rumah baca yang diberi nama Rumah Baca Teras Perbatasan (RBTP), berada di Pulau Sebatik tepatnya Desa Aji Kuning, Kec. Sebatik Tengah, Kalimantan Utara. Sebuah daerah yang masuk dalam kategori 3T (Terdepan, Tertinggal, dan Terluar).
Dia bersama para pemuda Sebatik yang merasa prihatin terhadap kondisi literasi dan juga pendidikan, terlebih di daerah tempat tinggalnya perbatasan antara Indonesia-Malaysia. Sesuai dengan hasil survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019. Indonesia menempati rangking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
“Sebenarnya sudah sejak SMA saya berniat mendirikan rumah baca ini, tapi saya belum berani bergerak, sampai saya kuliah di UAD, dan waktu itu menimbang biaya kirim buku ke sana (red:Sebatik) cukup mahal dan kendala lainnya,” cerita Fatimah selaku ketua RTBP, Selasa (12/10/21).
Keinginannya semakin kuat dan termotifasi semenjak berkuliah di Jogja, dia bertemu beberapa komunitas literasi dan rumah baca di Jogja, termasuk mendapat buku dari salah seorang dari rumah baca di Sedayu, dibacanya dan mempelajari tentang rumah baca, ia juga mengaku bertemu founder Cakruk Pintar sebuah rumah baca berada di Sleman, dari situlah ia mendapat beberapa donatur buku.
Akhirnya dia memutuskan untuk bertemu kakak kelas SMA-nya yang waktu itu berada di Jogja dan mendiskusikan tentang keinginannya untuk mendirikan rumah baca dan tak disangka orang yang dia temui memiliki keinginan yang sama. Karena masih sama-sama di Jogja, Berbekal ilmu dan pengalaman Fatimah mencoba meminta bantuan dengan salah satu guru SMA di Sebatik yang juga menaruh perhatian dengan literasi. Keinginannya-pun disambut hangat, bahkan tempat tinggal guru tersebut bersedia dijadikan rumah baca. RBTP berhasil didirikan pada 18 Maret 2018 dan bertahan hingga saat ini.
Dengan slogan “Membudayakan Literasi untuk Kemajuan Bangsa” Fatimah turut bahagia keberadaan RBTP mendapat respons positif dari masyarakat, khususnya bagi yang paham literasi merasa bersyukur dengan adanya gerakan literasi ini.
“RBTP berkomitmen untuk terus berkembang memberikan manfaat untuk masyarakat Sebatik melalui beberapa program kegiatan seperti membuka Serumba (Selasar Rumah Baca), Peringatan Hari Besar, Rumba Tarsan Berbagi, Kolabor(aksi), Kelas Belajar, Kompetisi Literasi 1 dan 2, dan Kelas Inspirasi,” ungkap mahasiswi dari Fakultas, Sastra dan Budaya (FSBK) UAD.
Dalam menjalankan kegiatannya RBTP sering berkolaborasi dengan beberapa komunitas, seperti Indonesia Mengajar dan Karang Taruna, dan untuk membantu anak-anak belajar di masa pandemi kami membuka Kelas Belajar dan Kelas Inspirasi. Termasuk kalau ada kegiatan di desa sampai di kecamatan, Fatimah mengaku kalau rumah baca selalu diajak berkolaborasi, dan kompetisi pertama kami berkolaborasi dengan kantor Camat Sebatik.
Seperti pepatah “Buku adalah Jendela Dunia” yang mengisyaratkan bahwa semua wawasan tentang dunia bisa didapatkan hanya dari membaca buku, meski saat ini telah memasuki era digital, bukan berarti buku ditinggalkan begitu saja.
Fatimah juga menceritakan setiap mengadakan kegiatan masih mengandalkan iuran dari para pengurus dan pembina. Termasuk sampai saat ini RBTP masih menumpang. Sebab itulah dia berharap agar Komunitas RBTP menjadi komunitas yang terdaftar atau legal, Walaupun seperti itu, Fatimah tetap bersyukur karena masih ada beberapa pihak yang perhatian dan mau mendonasikan buku untuk RBTP.
“Setidaknya hadirnya RBTP dan buku dari para donatur, kami berharap bisa memberi warna baru melalui buku pada generasi muda perbatasan dan tambahan pengetahuan di lingkungan masyarakat desa kami yang masih banyak membutuhkan pembinaan di segala bidang,” Tutup Fatimah ketika diwawancara melalui WhatsApp. (gufron)