Melepaskan, Cerpen Ulya Rosyeda

Melepaskan, Cerpen Ulya Rosyeda

Ada hal yang membuat kita memilih apakah hendak bertahan atau melepaskan pada sebuah keadaan, serumit apa pun itu. Memilih bukan hanya tentang keberpihakan, tetapi logika harus ikut berperan mengimbangi perasaan. Ketika harus memilih antara bertahan dan melepaskan biarkan logika megambil alih, karena jika tulus, hati tak kan beri pilihan.

Siang ini setelah meeting usai, kumelangkah menuju ruang kerjaku melalui koridor penghubung gedung utama dengan gedung baru. Menyusuri koridor ini aku dapat melihat taman di bawah dengan kolam ikan dan jembatan penghias arsitektur taman. Tempat yang biasa kami jadikan sebagai spot poto untuk kenangan bersama. Memandang ke bawah membuat netra ini mendapat pencerahan dari penatnya rutinitas memandang angka dan aksara di monitor.

“Sari!” sebuah suara khas yang sangat kukenal memanggiku dari arah belakang.

Aku menoleh dan tepat sekali dugaanku, ia adalah Mas Andi. Rekan kerja beda divisi yang sangat aku kagumi. Salih dan kepintarannya memukau di setiap kesempatan beradu argumen setiap program yang akan diluncurkan. Tak hanya itu bijak pula dalam mengolah manajemen personalia.

“Ya Mas, ada apa?”

“Bolehkah aku bertanya dan menyampaikan sesuatu padamu?”

“Di sini Mas?”

“Iya, agar tak menimbulkan ikhtilat dan fitnah.”

“Boleh Mas, silahkan.”

Andi terlihat gugup akan menyampaikan sesuatu, namun akhirnya ia mampu menguasai dan memberanikan diri.

“Sebelumnya aku minta maaf padamu ya Ri, dan apakah aku boleh minta tolong kepadamu?”

“Silahkan Mas sampaikan saja.”

Degup jantung ini rasanya semakin cepat saja. Tak sabar untuk tahu apa sebenarnya keinginannya. Terlihat Mas Andi berusaha menata kalimatnya.

“Sebenarnya aku telah lama kagum pada seseorang. Dan semakin lama kusimpan rasa ini semakin menyakitkan. Sepertinya sudah saatnya aku memberanikan diri menyampaikan niat baikku ini.”

Sejenak Andi menjeda kalimatnya. Entah kepedean atau aku ke-pede-an.

“Apakah yang akan ia sampaikan seperti yang kuharapkan?” batinku.

Andi kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku ingin minta tolong kepadamu, untuk menyampaikan pesan niat baikku ini padanya.”

Awalnya aku bahagia dengan ungkapan sebelumnya, tetapi mengapa ia bilang “padanya?”.

“Memangnya dengan siapa Mas?”

Andi diam dan berhati-hati untuk melanjutkan.

“Lia.”

Jika tadi jantungku cepat berdetak, sekarang seperti copot saja dan jiwaku lepas dari dunia.

“Ah, ternyata bukan aku?” batinku lemas.

Dan terbata kujawab permintaannya.

“Oh, jika ini memang sudah Mas Andi niatkan maka sampaikan langsung ke orang tua akan lebih baik Mas.”

“Baik, Sari. Terima kasih kau telah mendengarkan dan merespon pintaku. Pikirku, tadinya aku bisa minta tolong padamu sebagai sahabatnya. Maafkan aku ya Ri. Aku duluan.” Andi berlalu lebih bersemangat, seperti telah melepaskan beban yang membuat pikirannya penat.

Aku hanya mengangguk dan membiarkannya berlalu. Terpaku aku menyadari kisah hidup ini. Seseorang yang selama ini terpatri dalam hatiku ternyata memilih orang lain yang ia adalah sahabatku. Aku salah meletakkan rasa dan harus bisa mengendalikan cinta.

Cinta adalah bagian dari fitrah dan lumrah. Bersyukurlah orang-orang yang diberi cinta dan bisa menyikapi rasa cinta dengan tepat. Cinta sejati adalah setelah akad, sebelum dan selebihnya adalah cobaan dan fitnah semata.

Menyukai seseorang, akan tetapi orang tersebut telah menjatuhkan pilihan pada yang lain. Cinta tak terbalas, bertepuk sebelah tangan yang dialami oleh hati yang menjalar sampai ke syaraf otak akan memberikan sakit fisik yang sama. Tapi jika kita sandarkan keimanan hanya kepada Allah semata, maka hal itu akan membuat cepat move on dan tak akan membuat hati lena.

Sudahlah, ikhlaskan saja dan harus segera move on. Begitu kata hati yang mendengarkan logika. Mengakui dengan sepenuhnya bahwa mereka adalah orang yang tepat untuk bersama. Move on memang tak semudah saat hanya dikata, butuh waktu dan kesungguhan yang melibatkan rasa cinta Allah dan Rasul lebih besar dari pada cinta pada selain-Nya sebagai penerapannya. Belum lagi jika keberadaan orang-orang itu ada dalam lingkungan yang sama dengan aktivitas selama ini. Lari dari semua sama saja kekanakan dan mengubur kebaikan. Tugasku selanjutnya menerapi hati untuk tak berlarut dalam rasa kecewa, karena apapun yang Allah pilihkan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita. Terbaik bagiku belum terbaik bagi Allah.

Azan zuhur berkumandang. Salat berjamaah di masjid kantor menyiram hatiku yang kelu. Kusempatkan membaca Alquran surah Ali Imron, hingga tiba pada ayat 14, “Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik.”

Segera kuseka air mata. Tak terhormat jika terus dalam duka nestapa. Langkahku selanjutnya adalah menemui Lia, sahabatku tercinta. Mengabarkan berita untuk mempersiapkan diri menyambut kekasihnya.

Exit mobile version