Jangan Merasa Cukup Bekal
Oleh: Akhmad Faozan
Dalam mengawali tulisan ini perlu sekali menggali keterangan dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah :
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَلَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبَ
Abu Hurairah berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang masuk surga karena amalnya.” Para sahabat bertanya, “Begitu juga dengan engkau, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Tidak juga dengan diriku, kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya padaku. Oleh karena itu berlaku luruslah dan bertaqarublah dan janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian. Jika dia orang baik semoga saja bisa menambah amal kebaikannya, dan jika dia orang yang buruk (akhlaknya) semoga bisa menjadikannya dia bertaubat.” (HR. Bukhari : 5241)
Hadits ini tersirat pesan kepada seorang yang ‘abid (ahli ibadah) untuk tidak merasa cukup hingga memiliki pikiran bangga atas ibadahnya, tanpa dibarengi dengan menjaga keajegan, konsisten yang dalam bahasa yang lain disebut istiqamah dalam beraktifitas ibadah.
Dengan demikian dalam hal beribadah syarat mutlak diterimanya adalah ketulusan, kebersihan hati dari motif lain dan konsistensi sampai mati. Dalam hal ini yaitu ikhlas menjadi landasan dalam beramal. Kalau ikhlas dimaknai dengan bersihnya hati dari niat-niat lain yang merusak ibadah, maka tidak ada lain kecuali dirinya hanya berorientasikan kepada yang menjamin diterima atau tidaknya amaliyahnya. Ia sandarkan seluruh ibadahnya kepada yang menjamin kehidupan dan kematian saja. Disinilah letak pentingnya menjaga keikhlasan dalam setiap langkah kehidupannya. Sehingga ia jaga perasaan itu dengan konsisten beraktivitas hati dan indera sampai deadline (ajal) itu tiba.
Dalam hal keikhlasan dan ketulusan amal sangat jelas petunjuk nyata yang diberikan Allah kepada hambaNya, sebagaimana di dalam QS An Nahl ayat 66 yang artinya :
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya berupa susu murni bersih diantara kotoran dan darah yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
Di dalam ayat tersebut terdapat kata “khalishan” yang artinya murni atau bersih. Jika dihubungkan dengan kata ikhlas, maka seseorang yang akan beribadah harus melandaskan pada ketulusan dan kebersihan hati sehingga terbebaskan dari motif dan disorientasi.
Dalam sebuah kisah, ada sosok perempuan ahli maksiat (pezina) yang diampuni Allah Swt. hanya dengan perbuatan sepele dan ringan. Perilaku pezina memberikan minum anjing yang sedang kehausan sebagai bentuk sikap mengasihi binatang (makhluk Allah). Sense of belonging-nya merespon, hatinya care terhadap lingkungannya.
Demikian juga dengan kisah sosok “preman” sang penjagal 100 orang yang akhirnya di bela mati-matian oleh malaikat Rahmat. Barangkali sepenggal cerita ini adalah sebagian dari cerita inspiratif menarik untuk dipahami secara mendalam. Lalu memunculkan sikap untuk terus menjaga optimisme dalam meraih Rahmat dan Hidayah serta Taufiq Allah Swt.
Dari kisah inspiratif tersebut hendaknya pola pikir mindset kita tetap positif kepada Allah, jangan memiliki mindset terbalik, bahkan malah berpikir memastikan, “masih ada waktu esok untukku’. Kadang juga terbersit dalam benak pikiran, “lha wong yang ahli maksiat sebegitu besar saja termaafkan, sementara maksiatku yang hanya begini saja, pasti Allah memaafkan”.
Pertanyaannya, apakah kita yakin kalau diri kita masih terjamin kesempatan untuk hidup sampai esok hari? Seberapa banyak waktu untuk memikirkan urusan dunia, sehingga kita kesampingkan waktu yang diberikan untuk hari esok hanya dengan bersantai menikmati hari-hari tanpa memikirkan keadaan esok hari. Sungguh waktu yang tersisa yang diberikan Allah kepada kita sangat terbatas.
Maka dari itu, kesungguhan hari ini dalam meraih hidayah dan taufiqNya menjadi penentu kau diberikan imbalan kebahagiaan atau sebaliknya. Kesungguhan kita dalam menjaga konsistensi dalam hatimu, menjadi penentu kebahagiaanmu esok hari.
Allah memang maha pengampun, ampunannya setinggi langit seluas mata memandang, namun apakah dosa-dosa dan kekhilafan kita sudah dijamin mendapatkan ampunan? Itulah yang membuat menjadi khawatir dengan keadaan kelak. Karena disaat waktu yang telah ditentukan akan dicampakkan seluruh dosa maksiat yang telah diperbuat. Apa termasuk dosa dan kekhilafan diri kita akan dicampakkan oleh Sang Pengadil di hari Qiyamat Allah Swt? Masih banggakah diri kita yang merasa sedikit dosa dan khilaf kita bahkan merasa cukup bekal ibadah dengan kebanggaan diri atas amaliyah kita, na’udzubillah.
Bahkan ada lain lagi, sebagian besar menunggu hari esok saja berbuat baik, berinfaq, sholat dan beristighfar serta akan melakukan ini dan itu kalau sudah berusia lima puluh atau enam puluh tahun saja. Pikiran seperti ini, justru malah menilai negatif karena mendikte Kekuasaan Allah, dalam hal usia 50 atau 60 saja. Terserah Allah yang berkuasa atas segala sesuatu, mau diambil usia 50, 60 atau 70 tahun wallahu a’alam.
Bukan sudah seberapa besar pahala yang telah terkumpulkan selama ini, namun menata hati untuk terus muhasabah diri dan berintrospeksi sampai kita menemukan kalimat seperti ini terpatri dalam sanubari. “Allah sudah mengampuni dosa kita atau belum?, barangkali maksiat bernilai dosa yang tak nampak dan tak sengaja belum teriring kalimat istighfar. Lalu masih tertumpuk dosa lain yang tak terlintas dalam hati hingga kau mengesampingkan dosa itu?, Apalagi dengan mengingat maksiat yang telah lalu menjadi tapak dosa masa lalu kita?”
Introspeksi dan muhasabah kemudian memunculkan rasa khawatir dan terus berpengharapan akan kemurahan Allah Swt adalah sikap yang sangat positif. Sikap seperti ini perlu untuk terus digelorakan, agar kita menjadi hambaNya dengan kearifan dan kebijaksanaan dalam menghadapi sisa waktu kehidupan yang difasilitaskan kepada kita.
Akhmad Faozan, Ketua PCM Mayong Jepara