Mengenal KRT KH Muhammad Wardan Diponingrat, Penggagas Kitab Maulid dari Muhammadiyah
Oleh: Arsyad Arifi
KRT. H. Muhammad Wardan Diponingrat lahir di Kampung Kauman, 19 Mei 1911 M/20 Jumadil Ula 1329 H. Muhammad Wardan, nama kecilnya, memiliki saudara kandung yaitu Umniyah (salah satu tokoh ‘Aisyiyah), Muhammad Darim, Muhammad Jannah, Muhammad Jundi, Burhanah dan War’iyah. Selain itu dia juga memiliki saudara lain ibu yaitu Djalaludin, Siti Salamah dan Siti Nafi’ah. Muhammad Wardan adalah putra dari Kyai Penghulu Kangjeng Raden Haji (KPKRH) Muhammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton Yogyakarta tahun 1914-1940.
Sebagai anggota keluarga abdi dalem santri, Muhammad Wardan belajar di sekolah keluarga kraton yaitu Sekolah Keputran. Muhammad Wardan sempat pindah sekolah di Pakualaman sebelum akhirnya masuk di Standard School Muhammadiyah di Suronatan. Lulus tahun 1924, Muhammad Wardan kemudian melanjutkan sekolahnya ke Kweekschool Muhammadiyah (Madrasah Muallimin Muhammadiyah) yang didirikan oleh KH Achmad Dachlan bersama “founding father” Muhammadiyah yang lain dan lulus tahun 1930.
Lulus dari Kweekshcool Muhammadiyah, Muhammad Wardan masuk ke Pondok Pesantren Jamsaren, Surakarta pada tahun 1931 dan lulus tahun 1934. Disanalah beliau mendalami ilmu aqidah, tafsir, hadis, fikih. Selama berada di Pondok Pesantren Jamsaren, KH Muhamad Wardan mengikuti kursus bahasa Belanda di sekolah Nederland Verbond dan les privat kepada seorang guru keturunan Tionghoa asal Singapura untuk memperdalam bahasa Inggris. (Lihat : Susiknan Azhari, Esiklopedi Muhammadiyah hlm. 235)
Perlu diketahui bahwasannya di pondok Jamsaren ribuan santri dari berbagai penjuru Asia Tenggara datang berguru kepada pengasuhnya, Kiai Idris yang dikenal sangat ‘alim dan juga menjadi mursyid Thariqah Naqsyabandiyah tersebut. Diantara nama-nama besar yang pernah nyantri Kiai Idris adalah Kiai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kiai Dimyati (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), Syeich Ahmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di Bali), Kiai Arwani Amin (Kudus), Kiai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan).
Bahkan setelah Kiai Idris wafat pada tahun 1923, nama besar Jamsaren masih menjadi rujukan bagi para orangtua untuk mengirim anaknya nyantri. Banyak tokoh besar tanah air merupakan lulusan atau pernah belajar agama secara intens di Jamsaren generasi berikutnya. Adapun tokoh dari Muhammadiyah adalah KHR Hadjid dan K.H. Muhammad Wardan Diponingrat. (Lihat : MPI, “100 Tokoh Muhammadiyah yang mengispirasi” hlm. 232)
Kiprah beliau untuk ummat melalui Muhammadiyah yang paling menonjol adalah menduduki Ketua Majelis Tarjih dalam waktu yang sangat lama yaitu 22 tahun (1963-1985) karena kedalaman dan kepakaran ilmu agamanya. Tercatat Beliau menelurkan banyak karya antara lain, Kitab Perait (Fara idh), Kitab Fekih Nikah- Talak-Rujuk (1953), Kitab Ilmu Tata Berunding, Kitab Risalah Maulid Nabi Muhammad SAW, Kitab Umdatul Hisab, Kitab Hisab dan Falak, serta Kitab Hisab ‘Urfi dan Hakiki. Sedangkan karya terbesarnya ialah menggagas konsep hisab hakiki “wujudul hilal”,. Karena kecemerlangan idenya itulah model hisab hakiki wujudul hilal ini dianut oleh Kerajaan Arab Saudi dalam penentuan kalender Ummul Qura. Akan tetapi dibalik itu semua beliau memilki sisi kehidupan yang lain.
Beliau adalah pribadi yang sangat mencintai Rasulullah SAW dan luwes dalam mendakwahkannya. Beliau sangat mendedikasikan hidupnya untuk ber-mahabbah dan ber-ittiba’ kepada Rasulullah SAW. Hal ini terbukti ketika banyak ulama yang mengikuti kebiasaan memakai maulid diba’i atau simthud duror beliau memiliki kitab maulid karya sendiri.
Adapun karya tersebut berjudul “Risalah Maulid Nabi Muhammad SAW”. Kitab tersebut beliau tulis sendiri ketika upacara sekaten yang rutin dilakukan di Kesultanan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat hingga kini. Hal ini dilakukan demi menyongsong perayaan maulid Nabi SAW setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal di Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta yang dirayakan oleh segenap elemen masyarakat dan warga Muhammadiyah.
Sebagai penghulu Kraton dan Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah, KH KRT Muhammad Wardan Diponingrat memiliki posisi yang sangat sentral dalam upacara keagamaan di Yogyakarta kala itu. Maka dari itu, kitab maulid tersebut langsung medapat sambutan hangat dari masyarakat. Sampai akhirnya kitab maulid tersebutlah yang rutin dibaca di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta menggantikan kitab maulid barzanji dan ghaiti yang rutin dibaca sebelumnya. (Lihat : MTT, “Tokoh dan Pimpinan Tarjih, hlm. 66)
Tentunya hal ini menjadi hasil dari buah kecintaan KH KRT Muhammad Wardan Diponingrat yang mendalam kepada Rasulullah SAW. Hingga kini warga Muhammadiyah masih memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di berbagai wilayah dan dengan berbagai cara sesuai yang dianjurkan para “salafusshaleh” founding father Persyarikatan Muhammadiyah, bagaimana di tempatmu?
Wallahua’lambishawab.
Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman