Zakat Muzakki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban Kekerasan

JAKARTA, Suara Muhammadiyah-“Bedah Pemikiran Zakat untuk Korban; HeForShe Campaign” menjadi tema menarik yang diangkat dalam rangkaian “16 Minggu Gerakan Zakat Nasional; Mulai dari Muzakki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban” seri kesepuluh ini, Jum’at (29/10/2021). Pasalnya, semua panelis merupakan kaum Adam atau laki-laki yang mencurahkan gagasannya sebagai bentuk keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Adapun para panelis yang diundang, antara lain: Suhairi (Lektor Kepala Bidang Hukum Islam IAIN Metro), Dani Setiawan (Ketua KNTI dan Dosen FISIP UIN Jakarta), dan Imal Isti’mal (Wakil Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta). Sementara itu, Nurul Amelia Fitri bertindak sebagai moderator.

Sebelum para panelis menyampaikan gagasannya, Ketua PSIPP ITBAD Jakarta Yulianti Muthmainnah membuka acara dengan menjelaskan tentang kaitan zakat dengan HeForShe Campaign. Ia mengatakan bahwa komite CEDAW sejak 2007 telah menyadari betul pentingnya peran serta keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Komite CEDAW PBB itu sudah menyerukan pentingnya keterlibatan laki-laki di seluruh dunia untuk pengarusutamaan isu perempuan dan upaya penghapusan diskriminasi, kekerasan berbasis gender dalam segala lini kehidupan termasuk dalam penafsiran agama, budaya, tradisi, politik, dan semua hal,” paparnya.

Di Indonesia sendiri, kata Yuli, yang menjadi ikon HeForShe Campaign ini adalah Presiden Joko Widodo.

Barang tentu, Islam sangat menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hal itulah yang dengan tegas disampaikan oleh Suhairi tatkala menelusuri posisi perempuan sebelum Islam datang. “Pra-Islam itu posisi perempuan itu sangat ironis,” ungkapnya.

Menurutnya, perempuan dan anak korban kekerasan bisa menjadi sebagai mustahik melalui empat alternatif. Pertama, fakir. “Orang yang tidak berharta dan tidak mempunyai pekerjaan atau usaha tetap guna mencukupi kebutuhan hidupnya, sedang orang yang menanggungnya/menjamin tidak ada.”

Kedua, miskin. Yaitu, mereka yang masih memiliki pekerjaan, namun hasil dari pekerjaan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta tidak ada yang menjamin atau menanggungnya. “Ini sangat mungkin dialami dan terjadi pada perempuan, demikian pula mungkin anak yang korban kekerasan itu,” cetus Suhairi.

Ketiga, gharim. Yakni, orang yang mempunyai hutang yang bukan untuk maksiat dan tidak mampu melunasinya. Dan yang keempat adalah Ibnu Sabil. “Jika ada perempuan dan anak korban kekerasan yang memenuhi kualifikasi empat alternatif sebagai mustahik tadi, maka menurut saya sesuai ajaran agama Islam. Perempuan dan anak harus diprioritaskan dan diutamakan dalam penyaluran zakat,” jelasnya.

“Memang ini ‘terlupakan’ oleh sebagian besar atau mungkin saat ini masih secara keseluruhan organisasi ataupun lembaga pengelolaan zakat kaitannya dengan keberadaan perempuan dan anak korban kekerasan tadi yang memungkinkan kemudian sebagai mustahik, tapi selama ini kemudian masih abai, masih diabaikan, masih terabaikan, terlupakan. Maka menurut saya, buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang ditulis oleh bu Yulianti Muthmainnah ini adalah mengingatkan kita semua akan hal tersebut,” imbuh Lektor Kepala Bidang Hukum Islam IAIN Metro ini.

Secara lebih spesifik, Dani Setiawan mengamati peristiwa-peristiwa yang dialami oleh perempuan-perempuan di pesisir atau komunitas nelayan yang juga tak luput dari tindak kekerasan. “Dalam beberapa tahun terakhir, saya memimpin suatu organisasi nelayan tradisional, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, yang sebenarnya problem-problem yang disampaikan di dalam buku ini itu juga terjadi dalam keseharian kehidupan keluarga nelayan ataupun perempuan-perempuan pesisir di Indonesia,” bebernya.

Menurut Dani, harus ada reinterpretasi terhadap orang-orang yang berhak menerima zakat. Lebih lanjut, Dani memberikan contoh tentang perempuan-perempuan pesisir yang mengalami beban ganda, lebih-lebih di masa pandemi saat ini.

“Jadi, beban yang sangat berat itu mestinya juga harus dibaca sebagai satu upaya yang bisa kita diskusikan dan kita dalami bagaimana doktrin-doktrin keagamaan, dalam hal ini bagaimana kewajiban zakat itu juga bisa ditunaikan atau bisa disalurkan kepada kelompok-kelompok perempuan yang memiliki posisi yang rentan semacam ini, seperti perempuan-perempuan di kawasan pesisir atau di komunitas masyarakat pesisir,” terangnya.

Ketua KNTI ini juga memberikan apresiasi atas terbitnya buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang dalam pengakuannya, “memberikan satu potret, satu gambaran tentang kondisi dari kehidupan korban, khususnya adalah perempuan-perempuan korban kekerasan.”

Pandangan berbeda disampaikan oleh Imal Isti’mal, Warek ITBAD Jakarta. Menurutnya, selain upaya jangka pendek yang berbentuk charity termasuk zakat di dalamnya, juga harus ada upaya jangka panjang terhadap perempuan dan anak korban kekerasan itu.

“Korban kekerasan itu tanggung jawab kita memang untuk membantunya. Bentuk bantuan bukan saja jangka pendek, akan tetapi jangka panjang. Jangka pendek mungkin tadi itu, charity kemudian kita bagi sandang, pangan, papan,” katanya.

“Sebetulnya ada upaya lain selain kita membantu jangka pendek, yaitu jangka panjang supaya para korban bisa bangkit, tidak semakin terpuruk, dan berdaya, yakni meningkatkan life skill,” sambungnya.

Berdasarkan studi kasus di kampusnya, Imal mengatakan banyak mahasiswa yang terbantu oleh beasiswa sehingga mereka tidak jadi putus kuliah. Di samping itu, terdapat pula berbagai penyebab, lanjut Imal, kenapa mahasiswa itu akhirnya memilih untuk berhenti studi dan akhirnya memilih untuk bekerja, yakni salah satunya karena orang tua mereka melakukan poligami.

“Bagi saya, kalau ada bapak-bapak dengan pemahaman poligami, misalnya yang mengabaikan keadilan itu sama saja dengan kekerasan. Kemudian anak-anaknya ini ada yang stress, tidak semangat lagi kuliah, dan sebagainya,” tegasnya.

Exit mobile version