Kesadaran Pascakolonialisme Memandang Ekologi Budaya dalam ‘Jalan Raya Pos, Jalan Daendels’ Karya Pramoedya Ananta Toer
Oleh: Syauqi Khaikal Zulkarnain
Pada permulaan tulisan ini kita akan bertamasya ke Swedia, sebuah negara kecil di benua biru, Eropa, benua yang digadang-gadang menjadi kiblat daripada kemajuan dunia. Eropa adalah keluhuran budaya, Eropa adalah manifestasi ilmu, dan kemajuan teknologi adalah mesin-mesin yang dirancang sedemikian rupa untuk menegaskan kecerdasan umat manusia. Beda Eropa beda pula Indonesia, Asia, tempat negara-negara “dunia ketiga” ditasbihkan sebagai warga kelas dua yang mesti dibudayakan, dijinakkan, dan diluhurkan. Lalu bagaimana negara-negara Barat meluhurkan Timur yang (dalam tanda kutip) biadab?
Pertanyaan nyaris retoris di atas akan dijawab pelan dan perlahan seiring waktu, jauh ketika nanti kita sudah benar-benar sadar, sebab tulisan singkat ini sama sekali tak memberikan jawaban, paling tidak, tulisan ini tak akan pernah memuaskan pertanyaan yang mendera ribuan bahkan jutaan umat manusia di negara dunia ketiga. Baiklah, kita sudah tiba di Swedia. Seorang nona Swedia menjemput kita di bandara, dengan selebaran yang dia angkat tinggi-tinggi menggunakan kedua tangan mungilnya. Selebaran yang cukup represif dan sama sekali tak cocok untuk menyambut tamu jauh.
School Strike for Climate, tak lebih dan tak kurang, begitulah selebaran yang digenggam Greta Thunberg, gadis cilik yang menyambut kedatangan penulis di Stockholm, Swedia. “Selamat datang di Stockholm, Kawan, aku menyambut baik kedatanganmu. Negaramu cukup jauh, tak ada alasan lain untuk tak menaiki pesawat kecuali kau ingin mengurangi jejak karbonnya,” tutur Greta bak petir di siang bolong. Ungkapan selamat datang yang terasa seperti tamparan cukup keras dari seorang anak berusia belasan tahun untuk penulis, Aktivis IMM, yang dengan tulisan ini berniat baik untuk tamasya ke Swedia. Niat baik memang cuma jadi niat baik, tapi ibadah toh bukan hanya niat, kupikir kita semua mafhum akan hal ini.
***
Berawal dari pertemuan dengan gadis cilik dari Barat, Greta Thunberg, sang aktivis lingkungan yang berhasil membangun(kan) kesadaran akan persoalan krisis iklim, tema ekologi semakin marak dibahas dalam ruang diskusi berbasis ilmu bahkan dalam praksis gerakan. Penulis dengan sadar mengatakan bahwa persoalan ekologi, yang dalam hal ini dikorelasikan dengan gerakan filantropi oleh IMM Djazman Al Kindi khususnya dan IMM secara umum marak dibahas pasca booming-nya Greta Thunberg. Klaim ini jelas dangkal dan sama sekali tak memiliki kekuatan, tapi mari kita baca efek dari gerakan yang diinisiasi oleh Greta, jutaan aktivis lingkungan lahir ramai-ramai, seperti hujan, Greta Thunberg adalah awan gelap yang memuntahkan jutaan air hujan, membasahi tanah, dan menumbuhkan pohon yang rindang teduh.
Namun apakah ekologi hanya sebatas persoalan reboisasi, menanam jagung di kebun kita, dan menambal sulam persoalan sampah yang kian hari semakin menggunung? Pertanyaan di atas berkelindan dalam bentuk teks, siapa saja tentu berhak memberikan jawaban, tapi sebelum ke sana, penulis sendiri akan menjawab pertanyaan yang dalam hal ini memang mesti dijawab terlebih dahulu oleh diri sendiri. Bukan atas dasar arogansi, tapi sebagai bentuk syukur penulis kepada hidup yang demikian indah. Bagaimana aku tidak bersyukur atas seluruh hidupku?
Maka aku bertanya dan berkisah tentang hidupku pada diriku sendiri. Sebab jika penulis diizinkan mengutip pernyataan Nietzsche, Sang Pembunuh Tuhan menyebutkan bahwa “Ruang kontemplasi semakin sukar ditemukan karena hidup penuh dengan narasi-narasi hebat yang berlintasan dengan sangat cepat,” terlebih lagi kita berbicara tentang ekologi yang mana kita tak bisa menistakan ekologi sebagai hubungan antara makhluk hidup satu dengan yang lain pada lingkungan hidupnya. Maka sudah barang tentu pertanyaan di atas harus terlebih dahulu dijawab dengan sebentuk perenungan. “Berkaca membasuh diri” jika hendak kita sampaikan dengan narasi sastra.
Lain ekologi, lain pula filantropi. Setidaknya dua kata kunci inilah yang akan coba ditekan pada tulisan ini. Filantropisme atau tindakan sukarela demi kepentingan umat jika hendak kita definisikan secara sederhana merupakan gerakan yang dimaksudkan untuk menggalang kepedulian dan keterlibatan masyarakat guna mengalokasikan pendanaan dalam rangka berkontribusi bagi aktivisme sosial. Filantropi seringkali dimaknai sebagai proses amal (charity).
Menurut Helmut K. Anheier dan Regina A. List, antara charity dan filantropi berbeda dari sisi tujuan pemberiannya, amal dimaksudkan sekadar memberikan untuk kebutuhan jangka pendek, sedangkan filantropi berupaya untuk menyelidiki dan menyelesaikan sebab utama dari persoalan. Beberapa studi menunjukkan bahwa konsep filantropi lebih diarahkan pada model filantropi untuk keadilan sosial yang mendorong bukan hanya reaktif terhadap masalah di depan mata, melainkan memerlukan kemampuan untuk mereproduksi lahirnya struktur sosial, ekonomi dan politik yang lebih menguntungkan mereka yang tak mampu.
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Herman Willem Daendels menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak tahun 1808 hingga 1811, hanya tiga tahun dalam hitungan angka. Namun jika kita telaah dari sudut pandang yang berbeda, tentu saja tiga tahun adalah waktu yang terlampau lama. Pasalnya selama tiga tahun Daendels menjadi Gubernur Jenderal, paling tidak ia menjadi aktor penting dalam genosida ribuan masyarakat pribumi pada waktu itu. Dalam waktu yang relatif singkat, dengan tangan besinya, Daendels berhasil mematenkan proyek-proyek strategis di bidang ekonomi maupun militer. Hal ini juga tak terlepas dari tugas utama Daendels guna mengamankan Jawa dari “serangan” Inggris.
Membahas Daendels artinya tak akan pernah lengkap jika kita tak membahas proyek monumentalnya, Jalan Raya Anyer-Panarukan atau Jalan Raya Pos, belakangan ini juga disebut sebagai Jalan Daendels. Jalan ini membentang dari ujung barat Jawa, jauh ke timur hingga Panarukan. Paling tidak panjang Jalan Raya Pos mencapai seribu kilometer dengan hanya memakan waktu pembangunan selama satu tahun (1808-1809). Pramoedya Ananta Toer mengawetkan proses pembangunan jalan ini dalam salah satu bukunya yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Pram memberikan label genosida pada mega-proyek Daendels tersebut.
Tentu label itu bukan sekadar bualan seorang sastrawan, sebutan genosida bagi pembangunan Jalan Raya Pos benar adanya. Paling tidak, sekitar 12.000 pribumi mati dalam proses pembangunan jalan tersebut. Kendati demikian, Pram menyebutkan bahwa pembangunan Jalan Daendels berhak diakui sebagai infrastuktur penting pada masanya, bahkan hingga kini. “Sejak dapat dipergunakan pada 1809 telah menjadi infrastuktur penting, dan untuk selamanya,” tulis Pramoedya dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Menilik Jalan Raya Pos pada zaman penjajahan di bawah kuasa Daendels artinya memaksa kita mengakui bahwa pola pembangunan yang dikebut oleh pemerintah melalui Proyek Strategis Nasional sungguh memiliki karakteristik yang sama sekali tak jauh berbeda dari proyek yang dilakukan oleh Daendels dan para Kolonial Belanda lainnya. Penulis tentu saja akan didakwa sebagai penghasut cap kampung karena ungkapan di atas, ngawur! Pembangunan Pak Jokowi tentu bukan genosida, tak ada yang dibunuh secara massal, kecuali bangsa. Ya, genosida jika kita artikan secara sempit adalah pembunuhan besar-besaran terhadap suatu ras atau suatu bangsa.
Lalu apa itu bangsa? Kelompok masyarakat, yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, sejarah, budaya, dan pola hidupnya? Jika demikian apakah pembangunan Bandara New Yogyakarta International Aiport sama sekali tak membunuh bangsa? Sama sekali tak membunuh irisan yang terkandung dalam bangsa itu sendiri, seperti budaya; local wisdom; bahasa; dan pola hidup masyarakat Temon, Kulonprogo yang notabene petani Jawa?
Apakah pembangunan Bendungan Bener di Wadas sama sekali tak mengancam warga yang puluhan tahun hidupnya bergantung pada ladang dan hutan? Apakah pembangunan Trans Papua sama sekali tak mengusik bangsa Papua yang hidup di sepanjang hutan rimba raya Papua? Apakah Jalan Raya Pos Daendels sama sekali tak mengubah wajah Jawa dan Anak Semua Bangsa yang seterusnya beranak-pinak di sana?
Maka sungguh teranglah sudah bahwa sebetulnya persoalan ekologi bukan cuma kegiatan bersih-bersih sampah, bukan bercocok tanam di kebun kita, atau bukan membangun satu masjid ramah lingkungan yang dibangga-banggakan adanya. Terlebih lagi jika pada label ekologi tersebut disematkan pula redaksi filantropisme sebagai basis gerakan bersama.
Misalnya jika kita menilik studi kasus yang terjadi pada ribuan mahasiswa baru Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, mengusung Gerakan Tanam Pohon di Seluruh Negeri yang ditandai dengan penanaman pohon bodhi oleh Rektor UAD, Dr. Muchlas, M.T., yang kemudian dilanjutkan dengan penanaman pohon di seantero negeri oleh para mahasiswanya. Apakah itu yang dimaksud gerakan filantopis dalam hal ekologi?
Lalu bagaimana respon “aktivis tanam pohon” ini terhadap ungkapan Cik Siti Nurbaya Bakar selaku Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam cuitannya di twitter yang menyebutkan bahwa “Pembangunan besar-besaran era Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi”. Apa tidak sakit hati?
Ekologi Budaya
Ekologi budaya diartikan sebagai proses penyesuaian diri manusia terhadap lingkungan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan berdasarkan budaya masyarakat. Secara umum, ekologi budaya berarti kemampuan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan dengan berpedoman pada unsur-unsur budaya.
Steward (1955) menyatakan bahwa ekologi budaya dipahami sebagai “fitur-fitur budaya utama yang dianalisis secara empiris untuk pemanfaatan lingkungan, dimana proses penghidupan dipengaruhi oleh cara yang ditentukan budaya masyarakat setempat”. Salah satu fitur ekologi budaya adalah inti budaya. Inti budaya (culture core) adalah unsur budaya yang berkaitan dengan kegiatan subsistensi. Beberapa unsur tersebut meliputi; sistem sosial (interaksi sosial), sistem ekonomi (cara produksi, pembagian kerja), sistem politik (organisasi sosial dan peran pemimpin), dan teknologi (alat pertanian dan teknologi pertanian). Sementara non-culture core dilihat dari asal-usul, sistem nilai dan kepercayaan, sistem religi dan bahasa (mitos atau tradisi).
Jika hendak kita mulai dari titik hubung antara culture core (dalam hal ini interaksi sosial) dan non-culture core maka apa yang dilakukan oleh Bu Wagirah bersama rekan-rekannya sesama warga penolak bandara NYIA adalah wajar. Suara tangisan yang tragis, luapan kesedihan, adegan memohon pada aparat kepolisian, dan teriakan “Opo salahe tanduranku? Iso leren po ra?” merupakan tindakan paling mungkin untuk mereka lakukan dan ketika upaya paling mungkin sekaligus upaya paling akhir yang Bu Wagirah lakukan tak juga dikabulkan maka matilah sebuah bangsa petani Jawa di pesisir selatan Kulonprogo sana.
Sebuah bentuk genosida baru telah lahir dari tragedi pengusiran dan penyingkiran paksa bangsa-bangsa yang sudah sejak lama tinggal di suatu daerah dengan segala tetek-bengek persoalan budaya, kearifan lokal, bahasa, dan pola hidup yang diturunkan leluhur dalam memandang ekologi, khususnya ekologi budaya. Hal tersebut dengan sadar dilakukan atas dalih pembangunan Proyek Strategis Nasional oleh pemerintah yang berdiri di atas suku-bangsa heterogen sepanjang Nusantara. Tak ada darah dalam genosida semacam ini, tapi siapa yang hendak menampik kenyataan bahwa eksistensi sebuah bangsa dipertaruhkan dalam penggusuran paksa atas nama proyek kebangsaan?
Jalan Raya Pos merupakan monumen yang hingga kini masih menjadi manifestasi dari penjajahan kaum kolonial di negara dunia ketiga macam Indonesia, kehadiran jalan pembunuh massal ini menjadi salah satu titik balik kondisi sosial-ekonomi di sepanjang Jawa. Jalan yang hingga kini masih dengan sangat mudah diakses oleh ribuan manusia tersebut menjadi semacam pola tak terlihat akan kecenderungan pembangunan infrastuktur di Indonesia, atau lebih familiar kita sebut sebagai rentetan pembangunan dengan judul besar Proyek Strategi Nasional yang orientasinya adalah industri, keamanan nasional, plus pariwisata. Rendra membahasakan kecenderungan ini dalam sajaknya yang berjudul Sajak Sebotol Bir, “Jalan lalu lintas masa kini, mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu”.
Pada puisi yang sama, Rendra mempertanyakan pola ekonomi bangsa yang terpaku pada industri dan pariwisata, menetek pada komunisme dan kapitalisme, serta sama sekali tak menimbang pencemaran dan penggerogosan alam, baik alam di luar maupun di dalam diri manusia. Benarkah demikian? Paling tidak kita cukup familiar dengan pemandangan hutan-hutan yang kehilangan pohonan raksasa demi tambang, demi perkebunan sawit, demi pabrik pupuk kertas. Kemudian jalan tol dibangun membelah sawah, membelah rumah-rumah, membelah rindang pohonan di tepi hutan-hutan hijau. Proyek Strategis Nasional ini dipromosikan dengan redaksi ‘pemerataan pembangunan’, atau maksudnya ialah pemerataan sawah, ladang produktif, dan rumah tinggal masyarakat dengan tanah agar mudah pebisnis melakukan distribusi guna kelancaran bisnisnya.
Paling tidak John F. Kennedy memiliki dosa yang cukup besar ketika memprakarsai perlunya PBB menetapkan dekade 1960-an sebagai “dasawarsa pembangunan”, usulan tsb langsung mendapat sambutan hangat dari seluruh dunia. Negara-negara berkembang didorong melakukan akselerasi pembangunan ekonomi, berlomba menaikkan pendapatan nasional agar mencapai target pertumbuhan sekurangnya 5 persen per tahun pada 1970. Untuk itu, PBB mendorong mengalirnya dana-dana bantuan internasional dan modal swasta dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang dalam skala besar, dalam tempo singkat. Pada waktu itulah lahir program “bantuan pembangunan (development aid)” yang disebut “ODA (Overseas Development Assistance)” dari negara-negara industri maju kepada negara-negara berkembang.
Namun kesuksesan Dasawarsa Pembangunan Pertama itu harus dibayar mahal oleh dunia ketiga. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru membawa petaka dan berbagai masalah baru bagi banyak negara berkembang karena ternyata tidak dibarengi pemerataan penghasilan, bahkan menimbulkan banyak pengangguran, kesenjangan ekonomi, serta masalah keadilan sosial dan konflik sosial-politik di kalangan masyarakat. Selain itu pembangunan yang terjadi justru menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di mana-mana. Amerika sebagai perwujudan negara maju sukses menghasut negara bekas jajahan untuk menjadikan Amerika sebagai kiblat ekonomi pada dasawarsa tersebut. Sebuah kabar buruk yang mesti dimamah oleh negara dunia ketiga, negara bekas jajahan, yang memastikan dirinya sebagai negara yang kembali terjajah Neo-Kolonialisme, seperangkat konsep penjajahan yang lebih canggih dan modern.
Kemudian daripada itu, bagaimana Muhammadiyah secara organisasi merespon krisis iklim dan persoalan ekologi? Paling tidak Muhammadiyah melahirkan Teologi Lingkungan, Fikih Air, dan Fikih Kebencanaan. Makna penting pikiran-pikiran Muhammadiyah yang mengarah pada ekologi ialah terbitnya reformasi pembaruan pemikiran Muhammadiyah yang dirasa terlalu sering membahas revivalisme ekonomi dan sosial, beralih menjadi ekopedagogi, ekoliterasi, dan jihad ekologi. Perlahan Muhammadiyah ‘merasa’ perlu untuk turut andil dalam kerja-kerja yang mengarah pada pencegahan kerusakan ekologi yang penyebab utamanya ialah kebijakan dan sistem ekonomi neo-liberalisme.
So? Apa yang sudah dilakukan IMM dengan klaim hebatnya ketika menyandingkan kata ekologi dengan filantropi? Apakah ekologi yang dimaksud oleh IMM adalah persoalan bercocok tanam dan mengurangi sampah plastik (saja)? Menanam ribuan pohon ketika jutaan hektar hutan dibabat habis oleh sistem politik yang sama sekali tak menimbang efek berkelanjutan daripada persoalan krisis iklim? Paling tidak ketika membahas gerakan filantropisme dan ekologi, Greta Thunberg adalah cermin yang cukup jernih untuk berkaca membasuh diri. Jika filantropis yang dimaksud ialah filantropi autentik, jika ekologi yang dibahas ialah ekologi dalam cakupan yang luas, tak sebatas tanah bedengan yang ditanami sawi dan sayuran hijau lainnya.
***
Sayonara, Greta Thunberg! Maukah jika suatu waktu kau berkunjung ke negeriku yang jauh itu? Kami memiliki universitas yang cukup hebat. Kita akan menikmati kopi di kedai sekitaran kampus dengan pemandangan sawah yang “memikat”.
Syauqi Khaikal Zulkarnain, Ketua Umum PK IMM FSBK