Fikih Zakat Berkembang

LAMONGAN, Suara Muhammadiyah-Memasuki rangkaian diskusi buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang ke-13 pada Sabtu, (6/11) Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB-AD Jakarta, Lazismu, menggandeng STIQSI Lamongan, Jawa Timur.

Narasumber yang hadir yakni M. Arwani Rofi’I (Kaprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STIQSI Lamongan), Luthfi Hadi Aminuddin (Dekan FEB IAIN Ponorogo), Yuke Rahmawati (Sekprodi Perbankan Syariah UIN Jakarta), dan Yulianti Muthmainnah (Ketua PSIPP ITB AD Jakarta). Sementara itu, yang memandu berjalannya acara adalah Ega Maulida Najid.

PSIPP telah banyak menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berfokus pada isu-isu perempuan, utamanya pengahpusan kekerasan pada perempuan dan anak. Hal tersebut disampaikan oleh Sutia Budi selaku Wakil Rektor ITB AD Jakarta saat memberikan sambutan sekaligus menyebutkan beberapa hal yang perlu diupayakan dalam rangka membangun tata kelola kampus untuk mewujudkan ide-ide yang disampaikan oleh PSIPP.

“Kami di internal memikirkan bagaimana ke depan membenahi tata kelola Lazis atau Laz yang ada, agar diskusi ini langsung ke tataran aksi, bahwa Laz yang ada di ITB Ahmad Dahlan juga punya concern untuk membantu korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jadi, PR pimpinan dan segenap pengurus Lazis yang ada di ITB Ahmad Dahlan, saya pikir bagaimana membumikan ide-ide yang disampaikan, yang diketengahkan oleh PSIPP,” ungkapnya.

Barang tentu, ide dan upaya untuk memberantas kekerasan terhadap perempuan dan anak akan sulit terwujud jika hanya dilakukan oleh sekelompok kecil saja. Maka dari itu, Ketua STIQSI Lamongan Piet H. Khaidir menilai kolaborasi menjadi kunci di era saat ini dalam berlomba berbuat kebajikan.

“Kita hari ini bisa bersama-sama berkolaborasi. Memang kata kunci hari ini itu kolaborasi, tidak bisa sendiri-sendiri. Kolaborasi ini luar biasa, Alhamdulillah, kita lakukan melalui bedah buku yang temanya sangat timely dan temanya ini sangat penting. Dan menurut saya, baru ini dalam pengertian sebagai tema bahwa ada zakat untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ini perlu kita diskusikan secara serius,” ujarnya kala memberikan sambutan kedua.

Ia menilai, wacana yang coba digulirkan di dalam buku maupun diskusi ini merupakan ide yang cemerlang. Ia berharap agar kegiatan ini bisa dilaksanakan secara berkelanjutan.

“Ini acara yang luar biasa. Ide yang dibuat dan kemudian menjadikan karya yang luar biasa dari sahabat kita semua, Mbak Yulianti Muthmainnah ini adalah buku yang dahsyat sekali,” apresiasinya.

Secara eksploratif, Yuke Rahmawati membeberkan potensi-potensi yang bisa dioptimalkan dalam rangka membantu korban kekerasan melalui zakat saham. Menurutnya, dalam penyaluran zakat saham ini tidak ubahnya dengan model zakat pada umumnya.

“Ada jalan baru untuk membangun dana zakat ini bagi kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian menjadi korban kekerasan,” paparnya.

Lebih lanjut, Yuke menyebut zakat saham sangat bisa dialokasikan bagi korban kekerasan. Untuk menyiapkan hal itu, kata Yuke, literasi soal zakat saham menjadi penting untuk dikuasai khususnya bagi perempuan-perempuan sehingga bisa bekerja dari rumah seperti berinvestasi dan sebagainya.

“Perempuan itu bisa mengembangkan kekayaan, baik kekayaan dirinya maupun kekayaan keluarganya. Di sisi lain, juga dia mampu memberikan kontribusi kepada masyarakatnya dengan hasil dari usahanya itu,” cetusnya.

Di samping memiliki berbagai potensi-potensi yang bisa dijadikan sebagai ladang garapan, persoalan zakat juga tak luput dari berbagai problem. Dalam catatan Luthfi Hadi Aminuddin, terdapat dua problem dalam pengelolaan zakat, yaitu problem teoritis dan problem praktis.

Dalam pengamatannya, problem teoritis merupakan anggapan masyarakat (Islam) bahwasannya makna dari delapan asnaf zakat itu sudah final dan tidak bisa diganggu-gugat. Dengan kata lain, makna asnaf itu dipahami sebagaimana pemahaman masa lampau tanpa berupaya mengontekstualisasikannya dengan zaman sekarang.

“Harta-harta yang dikenakan objek zakat itu masih banyak masyarakat umat Islam yang memandang sebagai sesuatu yang sudah final. Objek zakat itu menurut saya dinamis,” tegasnya.

“Sedangkan problem praktisnya, implementasinya seperti yang dikeluhkan oleh Mbak YulMut dalam buku ini. Betapa saya sangat iba, ya ketika Mbak YulMut bercerita, ketika menawarkan bagaimana korban-korban kekerasan terhadap perempuan itu tidak mendapatkan dukungan. Bahkan ada beberapa lembaga zakat yang harus menolak karena mereka dianggap tidak masuk dalam delapan asnaf. Itu kan miris sekali. Ironi sekali menurut saya,”

Dengan tegas dan kritis, ia menyatakan “Tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk kemudian para BAZ, LAZ menolak memberikan alokasi untuk advokasi korban kekerasan perempuan dan anak ini. Menurut saya, bukan hanya empat indikator, ketujuh indikator asnaf, kecuali amil, sebenarnya bila mereka korban kekerasn maka sesuai yang diusulkan Mbak YulMut dalam buku ini” imbuh Dekan FEB IAIN Ponorogo ini.

Senada dengan pembicara sebelumnya, M. Arwani Rofi’i mengafirmasi gagasan-gagasan yang dimunculkan dalam buku ini, karena fikih zakat yang terus berkembang. Namun, ia memiliki pendapat yang berbeda terkait perempuan yang katanya berasal dari tulang rusuk laki-laki, sedangkan dalam buku disebutkan perempuan bukan dari tulang rusuk laki-laki, sebagaimana yang juga diulas dalam buku ini. Walaupun Arwani setuju dengan gagasan zakat bagi korban. “Saya setuju dengan pendapat-pendapat ini, karena fikih zakat terus berkembang,” ucapnya.

Terakhir, penulis buku yang juga Ketua PSIPP ITBAD Jakarta Yulianti Muthmainnah sangat menyayangkan perlakuan masyarakat terhadap korban kekerasan. Ia mengatakan bahwasannya perempuan yang menjadi korban kekerasan sering dikucilkan, padahal seyogyanya mereka itu didukung agar bisa bangkit.

“Pengalaman reproduksi perempuan yang lebih Panjang dan berbeda dengan laki-laki yang singkat inilah yang diharapkan bisa menjadi empati, kekuatan, supaya bisa saling mendukung terhadap perempuan korban. Di sisi lain, perempuan korban itu adalah pihak yang sangat terpuruk dalam struktur sistem masyarakat kita, sehingga dana zakat harus menjadi problem solving” terangnya.

“Kesalahan ini kemudian bisa jadi berangkat dari paradigma agama/struktur di masyarakat kita yang bias gender,” tambah Yuli.

Selain itu, ia juga membeberkan pertanyaan utama dari masyarakat terkait isi buku yang dituilisnya. Pertanyaan utama dari masyarakat, ujar Yuli, adalah apakah terdapat asnaf baru sehingga zakat bisa diberikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Saya mengatakan ini bukan asnaf baru, tetapi saya membuat, mengkaji, menilai bahwa setidaknya ada empat indikator asnaf yang itu bisa masuk (relate) dengan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak,” terangnya.

Menurutnya, empat indikator yang paling dekat itu adalah: fakir, miskin, riqab, dan fisabilillah.

Exit mobile version