Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta merupakan salah satu pusat studi yang berada di ITB-AD Jakarta yang agenda utamanya fokus pada isu perempuan. Salah satu kegiatan yang telah dan akan dilakukan PSIPP ITB-AD adalah kampanye “16 Minggu Gerakan Nasional; Mulai dari Muzakki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban”.
Kegiatan tersebut sudah memasuki minggu ke-12. Sementara itu, untuk seri diskusi “Bedah Buku ‘Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak’” pada Jum’at, (12/11) telah empat belas kali diselenggarakan.
Narasumber yang diundang pada seri tersebut, yakni Ulfa Mawardi (Stafsus Menteri PPPA RI), Witriani (Ketua PSGA UIN Yogyakarta), Desvian Bandarsyah (Dekan FKIP UHAMKA Jakarta), Darnawati Rajab (Ketua Departemen Kader PWNA Sulsel dan Ketua PDNA Kab. Gowa), dan dimoderatori oleh Nur Khaerah (Ketua Departemen Sosial Masyarakat PWNA Sulsel).
Yulianti Muthmainnah dalam sambutannya menguraikan tentang pemilihan tema zakat yang diusung dalam diskusi ini. Ketua PSIPP ini menyebut potensi zakat di Indonesia sangat tinggi bahkan mencapai 3 triliun lebih, namun dana tersebut masih belum bisa dimanfaatkan untuk para korban kekerasan.
“Atas dasar itulah kemudian buku Zakat untuk Korban ini kita coba sosialisasikan sedemikian luasnya kepada masyarakat,” terangnya.
“Kenapa kita mengambil muzakki? Supaya rasa empati sesama perempuan itu bisa kita bangun. Jadi, memang kita memulai dari perempuan. Karena reproduksi perempuan itu jauh lebih panjang dibandingkan dengan reproduksi laki-laki. Jadi, atas dasar empati itulah kita berharap ini bisa dimulai dari muzakki dan untuk mustahik korban,” tambah Yuli.
Ia juga menyampaikan tujuan dari berdirinya PSIPP ITB-AD Jakarta, yaitu untuk mendorong serta mengawal agar Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa yang berpihak kepada perempuan. Di sisi lain, kata Yuli, karena saat ini Majelis Tarjih belum memiliki fatwa tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka kegiatan-kegiatan PSIPP ini bertujuan agar Majelis Tarjih memiliki fatwa-fatwa tersebut.
“Dan kita sendiri saat ini memang fokus kepada pencapaian SDG’s, terutama Goal’s 5 tentang kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan anak. Kemudian juga Goal’s 17 tentang kemitraan global. Jadi, menggalang dana zakat ini bagian dari kemitraan global dan tentu saja yang tak lupa adalah Sustainable Development Goal’s yang pertama, yakni tentang penghapusan kemiskinan. Mudah-mudahan gerakan yang kita lakukan ini bisa memberdayakan para korban, bisa membantu mereka keluar dari kemiskinan dan bisa memberdayakan mereka. Dan kemudian juga bisa mendorong proses hukum yang sedang ditangani oleh para korban,” harapnya.
Kata sambutan berikutnya disampaikan oleh Ketua PWNA Sulsel Sumarni Susilawati yang mengatakan bahwa pembahasan terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini tidak ada habisnya. Menuruntya, Nasyiatul ‘Aisyiyah di beberapa daerah di Sulsel turut terlibat dalam pendampingan korban kekerasan. Akan tetapi, Sumarni juga membeberkan kasus kekerasan yang mengalami peningkatan di beberapa kota, seperti Makassar, Pare-Pare, dan Gowa.
“Bukan berarti bahwa di beberapa daerah lainnya itu tidak ada kasus atau tidak tinggi. Beberapa daerah termasuk di tempat saya sekarang, di Kabupaten Bulukumba ini juga banyak kasus yang terjadi mulai dari kekerasan terhadap anak, pemaksaan perkawinan anak, dan sebagainya,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengajak agar “teman-teman semua, khususnya untuk Pimpinan Wilayah Nasyiatul ‘Aisyiyah dan juga teman-teman pimpinan daerah, saya kira wajib bagi kita untuk membaca dan memiliki buku ini. Kenapa? Dengan membeli buku ini, itu juga kita beramal. Jadi kita bisa mendapatkan ilmu dari buku yang ditulis Mbak Yuli, juga bisa beramal untuk saudara-saudara kita yang menjadi korban kekerasan.”
Sebelum memaparkan lebih jauh, Desvian Bandarsyah memberikan testimoninya terkait buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang sudah empat belas kali didiskusikan ini. Ketua PSIPP Yulianti Muthmainnah, tutur Desvian, sudah memiliki jam terbang yang cukup panjang dalam mengawal isu-isu perempuan plus pandangan-pandangan keislamannya sehingga dapat menyuguhkan suatu karya yang dapat dinikmati oleh pembaca untuk meneropong problem-problem kontemporer yang dihadapi oleh perempuan dan anak.
“Ini buku menarik. Dia mengulas sesuatu yang sangat fokus. Yaitu, mengulas posisi perempuan dalam konteks ketidakadilan yang nyaris komprehensif dan pragmatis. Buku yang cukup otoritatif. Saya tidak membanggakan dan berlebihan,” sanjungnya.
Dekan FKIP UHAMKA ini menilai masih sedikit bahkan nyaris tidak ada yang membicarakan tentang zakat untuk korban kekerasan, khususnya perempuan dan anak. Tak heran, katanya, sangat sulit bagi masyarakat untuk menemukan literatur tentang perempuan dan anak dalam konteks sosial-relijius.
“Apa yang dilakukan Mbak Yuli menjadi sangat berarti. Jadi bukan sekadar buku, tetapi juga buku yang memberikan perspektif dan advokasi sekaligus perlawanan terhadap ketidakadilan yang cenderung diberlakukan kepada perempuan dan anak. Ini perspektif kontemporer yang berupaya meletakkan isu perempuan sebagai garda terdepan di era keterbukaan yang perlu mendapat perhatian serius,” jelasnya.
“Mbak Yuli melalui buku ini menawarkan alternatif jawaban yang penting, yang selama ini belum banyak dan nyaris tidak pernah dibicarakan dalam kehidupan masyarakat kita ketika melihat ketidakadilan yang menghampiri atau dialami kaum perempuan itu. Bagaimana zakat sebagai instrumen di dalam ‘melawan’ ketidakadilan itu, terutama terhadap perempuan dan anak menjadi semakin relevan dalam perkembangan sosial, masyarakat, dan bangsa kita,” imbuh Desvian.
Berdasarkan hal di atas, Desvian sependapat dengan apa yang ditawarkan Yuli melalui bukunya ini, yakni diperlukan fatwa yang lebih moderat, yang lebih mengakomodasi tentang zakat dan kemiskinan, soal penindasan dan ketidakadilan dalam melihat posisi perempuan dan anak.
Senada dengan pembicara sebelumnya, Ulfa Mawardi menyebut salah satu sisi menarik buku ini ialah pembahasan dan isunya yang fokus pada perempuan dan anak. Menurutnya, zakat memiliki peran yang signifikan dalam pemberdayaan ekonomi perempuan. Ia kemudian menunjukkan data-data yang mana penggerak UMKM mayoritas adalah perempuan.
“Data kekerasan di masa pandemi ini dari SIMFONI (Sistem Informasi Online) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, korbannya itu 78,4% perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sangat mendukung hadirnya/lahirnya buku ini,” beber Ulfa.
Lebih lanjut, Ulfa mengatakan bahwasannya zakat berfungsi sebagai instrumen dan akan bermuara dalam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
“Intinya, di zakat ini sangat sejalan dengan apa yang menjadi perjuangan di birokrasi, khusunya di eksekutif pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Saya kira bukunya Mbak Yuli ini sangat bagus dan bisa bersinergi dengan 5 isu, 5 arahan Bapak Presiden untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,” katanya.
Secara kritis, Witriani menyoroti isu kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini. Ia menilai kekerasan seksual di lingkungan komunitas, seperti organisasi baik itu di kampus (IMM, HMI, dan PMII) maupun yang lainnya masih cukup tinggi.
“Angka kekerasan terhadap perempuan relatif cukup tinggi mencapai 8.234 sepanjang tahun 2020. Pelecehan seksual itu ibarat gunung es, terjadi di mana saja termasuk di perguruan tinggi. Itu kemudian yang menjadi alasan pentingnya permendikbud yang diluncurkan beberapa waktu lalu, meskipun masih menyisakan banyak catatan dan kontroversi,” paparnya.
Selain itu, Ketua PSGA UIN Yogyakarta ini menyebutkan beberapa alasan kenapa pencegahan kekerasan seksual menjadi urgen, di antaranya; power relations (antara laki-laki dan perempuan, penindas dan yang tertindas, atasan dan bawahan, dan sebagainya); korban tidak mempunyai jalur pengaduan, tidak memiliki keberanian, terintimidasi, dan sebagainya; tradisi dan konstruksi budaya masyarakat; kurangnya sosialisasi, baik dari korban atau pelaku.
“Yang paling banyak disoroti sekarang itu adalah KGBS (Kekerasan Gender Berbasis Siber). Misalnya, sexting, yakni pelaku yang dengan sengaja mengirimkan gambar ataupun pesan bernada seksual dengan maksud untuk melcehkan korban, seperti foto alat kelamin, dan lain sebagainya.”
“Stalking ini juga: memantau prilaku korban yang menciptakan ketakutan dan rasa tidak aman. Saya lebih banyak membangun awarness aja, semangat kesadaran bersama teman-teman untuk melihat bahwa kekerasan seksual berbasis siber ini sekarang juga salah satu ancaman yang luar biasa,” tegasnya.
Pembicara terakhir, Ketua PDNA Kabupaten Gowa Darnawati Rajab menekankan pentingnya penyebarluasan dan mensosialiasikan buku ini. Hal itu, lanjutnya, tak lepas dari perspektif yang hendak dibangun oleh sang penulis untuk menjaga kewarasan publik.
“Situasi ini, itu sudah sangat memberikan kelayakan bahwa perempuan korban kekerasan sangat layak untuk menjadi bagian yang terhukumi asnaf,” ujarnya.
“Kehadiran buku ini membuka mata kepala dan mata hati kita,” pungkas Ketua Departemen Kader PWNA Sulsel ini.