Muhammadiyah, Moderasi, dan Keindonesiaan
Oleh: Erik Tauvani
Corak gerakan moderasi atau jalan tengah yang dipilih Muhammadiyah dalam konteks keindonesiaan telah menempatkannya pada posisi sentral dalam penyatuan ragam suku bangsa, agama, ras, dan antargolongan di nusantara yang menyatu menjadi sebuah bangsa besar bernama Indonesia.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam banyak kesempatan selalu menguatkan identitas moderasi di Muhammadiyah. Perbedaan yag menjadi keniscayaan di dalam kehidupan manusia di muka bumi memerlukan sikap adil, proporsional, dan tengahan. Dalam Al-Qur’an disebut sebagai ummatan wasatha.
Moderasi tersebut dijiwai oleh semangat dakwah Islam dan tajdid. Pembaharuan Muhammadiyah yang berkemajuan merefleksikan etos Al-‘Ashr (Azaki Khoirudin). Muhammadiyah mengisi kehidupan bangsa dengan iman, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran.
Beragam suku dan budaya di lebih dari tujuh belas ribu pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, lalu menyatukan diri menjadi sebuah bangsa besar bernama Indonesia adalah anugerah yang harus dirawat dengan penuh rasa syukur dan ketulusan jiwa yang autentik.
Tanpa upaya penyatuan diri untuk sebuah tatanan masyarakat yang berkeadaban dengan cita-cita yang sama yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, maka primordialisme hanya akan membuka peluang pertikaian antar suku bangsa yang tiada berkesudahan.
Sudah menjadi fakta sejarah bahwa bangsa ini, sebelum adanya kesadaran yang sama untuk menjadi sebuah bangsa yang satu, kerap terlibat dalam pertikaian politik kekuasaan pada kerajaan-kerajaan yang pada akhirnya menenggelamkan kerajaan itu ke dalam lautan sejarah yang kelam.
Di saat yang sama, hegemoni penjajah dari luar semakin memperparah keadaan. Namun setelah sama-sama merasakan penderitaan yang sama selama bertahun-tahun dijajah, akhirnya menyadarkan kita bahwa kemerdekaan, persatuan, dan kedamaian adalah cita-cita bangsa yang harus diperjuangkan.
Kemunculan Muhammadiyah kemudian memberi warna dalam proses penyatuan suku dan budaya di Nusantara. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial, pendidikan, dan keagamaan ingin mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, termasuk di antaranya melalui jalur kebudayaan atau kultural. Dalam hal ini, misalnya, pada Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1929, memakai pakaian tradisional masing-masing daerah adalah salah satu aturan bagi peserta Muktamar.
“Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing jang tidak melanggar Sjara’. Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja.” (Programma dan Agenda Congres Moehammadijah ke-XVIII jang terbesar di Solo 1929) (Najib Burhani).
Adalah Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, menuturkan bahwa muktamar merupakan salah satu wadah bagi bangsa ini untuk menjadi Indonesia melalui Muhammadiyah. Di saat muktamar, warga Muhammadiyah dari seluruh penjuru tanah air berkumpul menjadi satu. Kemudian terjadilah perkenalan budaya, bahasa, makanan khas, dan lain sebagainya.
Peran Muhammadiyah bagi bangsa ini tidak diragukan. Perlu digali lebih dalam lagi bahwa yang dilakukan Muhammadiyah sudah sangat banyak. Namun belum tentu warga Muhammadiyah sendiri paham akan sejarah persyarikatannya. Yuanda mengatakan bahwa semakin tua sebuah institusi, seharusnya semakin ia mengenal sejarahnya sendiri.
Ketika banyak umat Islam melihat Islam dari dalam, Yuanda mencoba untuk melihat Islam, khususnya Muhammadiyah dari luar: “Saya berusaha melihat Muhammadiyah dari negeri Belanda, 12.000 km dari Indonesia. Orang luar melihat kita dengan sangat apresiatif, khususnya atas pencapaian dalam bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan. Hal-hal semacam ini dapat ditemukan pada arsip nasional Belanda di Den Haag.”
Sebagai peneliti sejarah alumnus Universitiet van Amsterdam, Yuanda mengajak kita agar tidak hanya melihat Muhammadiyah dari dalam. Lihat juga dari luar. Sejarah yang kritis, bagi Yuanda, diperlukan Muhammadiyah agar warganya tidak hanya ingin mendengarkan yang ia senangi saja. Pasti ada pahitnya. Meskipun sejarah itu tidak ideal, namun kita akan mendapat banyak pelajaran darinya. Sejarah telah memberi kabar kepada bangsa ini untuk menengok kembali bagaimana menjadi Indonesia melalui Muhammadiyah.
Ikhtiar yang dilakukan oleh Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya melalui berbagai aspek pada kenyataannya mampu meneguhkan keindonesiaan. KH Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo, KH Ibrahim, Jendral Sudirman, Ir Djuanda, Buya Hamka, dan sederet nama pejuang lainnya adalah muncul dari persyarikatan Muhammadiyah.
Menjadi Indonesia lewat Muhammadiyah adalah sebuah komitmen kuat untuk menjadikan Indonesia yang berkemajuan, Indonesia yang menggembirakan, Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, serta rahmatan lil’alamin.
Tentu dengan demikian seyogianya warga Muhammadiyah sudi membaca dan mempelajari rumusan ideologis persyarikatan yang telah disusun sejak masa awal agar tetap teguh dan tidak oleng hanya karena kedatangan ideologi dari luar dengan segala bentuk rupanya.
Rumusan ideologis itu di antaranya adalah Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Khittah, Pernyataan Pikiran Abad Kedua, dan lainnya.
Dengan membaca dan mempelajari rumusan ideologis tersebut, kita akan diajak untuk melihat dan menghayati sejarah Muhammadiyah dari masa ke masa, Muhammadiyah saat ini, dan berpikir serius untuk Muhammadiyah di masa depan.
Ketika orang di luar sana mengapresiasi Muhammadiyah atas peran kemanusiaan dan kebangsaan yang mengesankan, dan sebagian lagi memberikan kritikan, Muhammadiyah yang telah berusia lebih dari seabad ini tetap akan istiqamah berbuat untuk memajukan dan menggembirakan dakwah Islam demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Konten ini hasil kerja sama Suara Muhammadiyah dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI