Babak Baru UU Cipta Kerja
Oleh: Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Polemik Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) masih bergulir sekalipun Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 yang mencantumkan klausula inkonstitusional bersyarat atas UU Cipta Kerja.
Walaupun dikatakan inkonstitusional, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan waktu sebagaimana yang telah ditentukan yakni selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini dibuat. Sontak hal tersebut mencuri perhatian oleh berbagai pihak. Bahkan sebagian orang berpikir putusan MK tersebut ‘bak dagelan’ karena tidak menunjukan kewibawaan lembaga MK sebagai guardian of constitution.
Putusan inkonstitusional bersyarat merupakan satu diantara jenis atau model-model putusan MK. Putusan inkonstitusional ini kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Dengan demikian pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK.
Munculnya putusan model inkonstitusional bersyarat tidak dapat dilepaskan dari tidak efektifnya putusan model konstitusional bersyarat karena kesalahan addressat putusan MK dalam memahami putusan model tersebut. Addresaat putusan MK seringkali mengabaikan bagian pertimbangan sebagai dasar atau alasan yang menentukan diambilnya putusan yang dirumuskan dalam amar (ratio decidendi) dikarenakan dalam amar putusan atau dictum dinyatakan permohonan ditolak sehingga addressat putusan MK menganggap tidak ada yang perlu ditindaklanjuti atau diimplementasikan.
Putusan model inkonstitusional bersyarat yang dibuat oleh MK bukanlah hal baru ditemukan. Sebelumnya MK sudah menerapkan putusan inkonstitusional bersyarat dalam dalam Perkara Nomor 4/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Maret 2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 58 huruf f UU Pemda yang melarang seseorang untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala jika pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
MK berpendapat bahwa pemberlakuan pasal-pasal tersebut melanggar asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law), melanggar hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu dalam amar putusannya MK menyatakan bahwa Pasal Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 58 huruf f UU Pemda bertentangan dengan UUD secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (i) tidak berlaku untuk jabatan yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) hari sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan nara pidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Lahirnya model putusan inkonstitusional bersyarat didasarkan pengalaman tidak efektifnya putusan konstitusional bersyarat sehingga secara karakteristik kedua model putusan tersebut tidak ada perbedaan. Putusan inkonstitusional bersyarat merupakan model terbalik dari model putusan konstitusional bersyarat untuk mengabulkan permohonan pengujian undang-undang. Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat pada dasarnya merupakan model putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran (interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sifat deklaratif putusan tersebut merupakan pernyataan permulaan yang digantungkan kepada pelaksanaan norma yang diuji ataupun pembuatan undang-undang yang diuji di mana harus didasarkan pada tafsiran, arah, pedoman, dan rambu-rambu yang diberikan MK. Jika syarat yang ditentukan MK dipenuhi maka norma tersebut tetap dapat dipertahankan keberlakuannya (conditionally constituonal) meskipun pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi (conditionally unconstitutional). Dengan demikian secara karakteristik, model putusan konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat secara substansial tidak berbeda.
Diberlakukannya model inkonstitusional bersyarat dalam UU Cipta Kerja tidak berarti membuat UU Cipta Kerja dapat dibatalkan. Pengujian atas substansi atau materiil dari UU Cipta Kerja yang dianggap merugikan tenaga kerja, lingkungan dan bertendensi ‘menganak emaskan’ pemilik modal tenyata tidak menjadi perhatian para punggawa konstitusi. Pada pokoknya MK hanya menilai UU Cipta Kerja ‘cacat formil’ atau procedural dalam pembentukannya. Metode omnibus law yang tidak dikenal dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, proses yang terburu-buru atau terkesan ‘ghaib’ karena dilakukan tertutup tanpa partisipasi masyarakat sipil menjadi perhatian para hakim MK. Oleh karenanya UU No. 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus direvisi dengan mencantumkan metode omnibus law sebagaimana metode yang dipakai dalam perubahan atau perbaikan UU Cipta Kerja.
Tidak hanya itu, perbaikan UU Cipta Kerja tidak hanya terkait saat proses formil atau pembentukan peraturannya saja, melainkan juga memperhatikan substansi atau materi pasal demi pasal yang tertuang dalam UU Cipta Kerja yang ternyata ditemukan perubahan pasal-pasal ‘misterius’ setelah disahkan oleh rapat paripurna parlemen. Mereka mencontohkan halaman 151-152 RUU Cipta Kerja hasil pengesahan antara DPR dengan pemerintah yang membahas tentang perubahan Pasal 46 pada UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Akan tetapi, Pasal 46 tidak termuat dalam UU No. 11 tahun 2020 di halaman 227-228.
Selain itu, ada juga perubahan substansi di halaman 388 RUU Ciptaker yang disetujui DPR dan presiden mengubah UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Aturan tersebut mengubah ketentuan Pasal 7 ayat 8 yang semula berbunyi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah.”
Namun pada halaman 610 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 7 ayat (8) diubah menjadi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.” Perubahan tersebut menghilangkan kata “menengah.” Jika ini disebut sebagai pelanggaran konstitusi, seperti apa hukumannya, apa motifnya? Lalu siapa yang bertanggungjawab atas pelanggaran ini.
Adapun diktum atau bunyi putusan MK yang tak kalah mencuri perhatian adalah bilamana dalam 2 (dua) tahun tidak diperbaiki maka semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja otomatis berlaku kembali. Hal tersebut berpotensi menimbulkan kebingungan hukum. Jika UU Cipta Kerja dianggap bermasalah walaupun hanya permasalahan yang katanya procedural mengapa MK tidak membatalkan dari sekarang UU Cipta Kerja ini, kenapa menunggu waktu 2 tahun sampai UU Cipta Kerja ini inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi. Kekosongan hukum tidak mungkin terjadi karena MK dapat memberlakukan aturan yang lama. Tak pelak putusan ini dianggap ‘setengah hati.’
Putusan MK tentang UU Cipta Kerja dianggap ‘politik jalan tengah’ yang diambil oleh ‘para wakil Tuhan’ di bumi sebab mau tak mau MK tidak mungkin mengabaikan permohonan uji formil omnibus law yang ‘cacat’ terang-terangan. Akan tetapi juga ragu untuk menerima uji substansi UU Cipta Kerja ini. Dengan demikian langka yang diambil adalah dengan membuat putusan inkonstitusional bersyarat dengan menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja, lantas bagaimana dengan status PP yang berjumlah 45 dan 4 Peraturan Presiden sebagai aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja ini, apakah ikut ditangguhkan juga? Lalu jika UU Cipta Kerja sudah diperbaiki secara formil apa 49 aturan pelaksana itu dapat diberlakukan surut terhadap Revisi UU Cipta Kerja?.
Sejatinya meskipun putusan MK ini menyatakan inkonstitusional terhadap UU Cipta Kerja, namun itu tidak dimaknai sebagai ‘kemenangan rakyat’ yang menolak sedari awal pembentukan dan penyusunan UU Cipta Kerja. Seyogyanya MK bersikap tegas dengan membatalkan UU Cipta Kerja tanpa syarat.
Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara & Dosen FAHUM UMSU