Memupuk Sikap Tawadhu’ dalam Diri
Oleh: Dicky Septian Baihaky
Dalam Islam, sikap tawadhu’ adalah salah satu bagian dari akhlaq mahmudah. Sikap yang di dalamnya memiliki nilai-nilai luhur dan terpuji. Seseorang yang mempratikkan sikap tawadhu’ dalam keseharianya, menyadari bahwa segala sesuatu yang ia miliki baik bentuk rupa yang cantik atau tampan.
Ilmu pengetahuan yang luas, suara yang merdu, harta kekayaan, maupun pangkat, jabatan dan keistimewaan lainya. Semuanya itu adalah karunia dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Mengenai cara memupuk sikap dalam diri yang terlampau muluk-muluk dengan sikap tawadhu’ yang mana, pada era media sosial seperti saat ini. Pembahasan mengenai konflik dan intrik politik cenderung lebih menarik dan asik sehingga menggeser tema pembahasan tentang budi pekerti, akhlaql karimah atau tema sejenis lainya. Bahkan beberapa konten panjat sosial di beberapa platform media sosial menjadi trending topik di Indonesia.
Para Youtuber dan Influencer yang memiliki kekayaan berlimpah ruah dengan bangga memamerkan barang-barang mewah yang mereka miliki di channel-channel Youtube kebanggan mereka. Mereka seolah telah melangkakan salah satu sikap yang baik yaitu tawadhu’ dalam diri mereka. Namun, bukan berarti sikap tawadhu’ ini telah sepenuhnya hilang. Ia masih ada dan terus tumbuh seperti di lingkungan pondok pesantren.
Seperti yang sering kita kenal bahwa padi yang semakin berisi akan semakin merunduk, seseorang yang memiliki banyak kemampuan maka sudah seharusnya lebih bisa bertawadhu’ daripada orang yang sekirianya masih kurang daripada kemampuan yang ia miliki.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 53 :
وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ
“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan”.
Dengan memegang satu ayat di atas sebagai bentuk kesadaran dalam diri, maka tidaklah pantas bagi seorang muslim yang mukmin untun menyombongkan dirikepada sesama manusia. Lebih-lebih menyombongkan diri di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.
Seperti seseorang tidak ingin melaksanakan amalan-amalan sunnah karena merasa ia sudah cukup ganjaran dengan perintah amalan wajib yang ia kerjakan. Tentulah sebagai makhluk tidak seharusnya menyombongkan diri kepada sang khaliq yaitu Allah Subhanahu Wata’la.
Seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa padi akan semakin merunduk saat ia semakin berisi. Dalam pengaplikasianya, sikap tawadhu’ bisa menjadi sikap yang secara umum paling menonjol bagi orang yang beriman dan bisa pula menjadi sikap yang khusus bagi seorang penuntut ilmu.
Seseorang yang intelek, akan cenderung lebih banyak diam dan jarang berargumen terhadap sesuatu. Namun tak jarang seorang intelek yang juga selalu menyuarakan aspirasinya untuk kebaihak bersama, namun lebih seringnya seseorang yang intelek akan membahas sebuah permasalahan itu diluar diskusi publik.
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallah sendiri telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk bersikap tawadhu’ dan berperangai lembut dalam Al-Qur’an surat Asy-Syu’aro ayat 215 :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan rendahkanlah sayap engkau kepada orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang yang beriman”.
Maksud daripada merendahkan sayap adalah merendahkan gestur, seperti yang sering dilakukan orang yang lebih muda ketika melewati orang yang lebih tua daripadanya. Di beberapa pondok salaf, santri akan berjalan ngesot saat hendak menghampiri ustadz atau kiyainya, dan menunduk berhenti saat ada ustadz atau kiyainya lewat dan mendahulukannya
Prof Hamka dalam tafsirnya juga menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan merendahkan sayap adalah dengan merendahkan bahu yang dimiliki manusia yaitu bahu kanan atau bahu kiri.
Sikap tawadhu’ terdiri dari dua macam yaitu tawadhu’ yang terpuji dan tawadhu’ yang tercela. Tawadhu’ yang terpuji adalah sikap merendahkan diri kepada Allah dan tidak berbuat semena-mena atau memandang remeh terhadap sesama.
Adapun tawadhu’ yang tercela adalah sikap merendahkan diri di hadapan orang kaya dengan harapan mendapat sesuatu darinya. Oleh karena itu, orang kaya yang berakal harus senantiasa menghindari sikap tawadhu’ yang tercela baik dalam kondisi apapun. Ia harus senantiasa melasanakan sikap tawadhu’ yang terpuji dalam tiap aspeknya.
Syarat – syarat Tawadhu’. Harus diketahui, bahwa hamba Allah Subhanahu Wata’ala yang senantiasa berusaha untuk bersikap tawadhu’. Sesungguhnya akhlaq terpuji yang agung ini tidaklah bisa terwujud dengan benar, kecuali dengan dua syarat yang tertera pada hadits shahih yaitu :
1 Ikhlas karena Allah
(وماتواضع أحدٌ لله أالاّرفعهاللهعزّوجلّ)
“Tidaklah seseorang bertawadhu’ yang ditujukan semata-mata karena Allah Subhanahu Wata’ala, melainkan Allah akan mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim (no, 2588) dari Abu Hurairah RA)
2 Al-Qudrah (Kemampuan)
Berdasarkan hadis Rasulullah, bertawadhu’ juga akan bisa terwujud jika sesuai dengan kemampuan seseorang, hadis tersebut yaitu :
((من ترك اللِّباس تواضعاً للّهِ وهو يقدرعليه, دعاه الله يوم القيامة علي رءوس الخلائق, حتّى يخيِّر من أيِ حللِ الإيملن شاء يلبسها.)
“Barang siapa yang menanggalkan pakaian mewah karena tawadhu’ kepada Allah, padahal ia dapat (kuasa) membeinya, Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan sekalian manusia kemudian menyuruhnya memilih sendiri pakaian iman manapun yang ia kehendaki untuk dikenakan.” ( HR. At-Tirmidzi (no. 2481), Ahmad (III/439), al-Hakim (VI/183) dari sahabat Mu’adz bin Anas al-Juhani. Lihat : Silsilatul Ahadiits ash-Shahiihah (no. 718) )
Dengan adanya kedua syarat di atas, tentunya bersikap tawadhu’ bukanlah hal yang mudah baik bagi seorang muslim yang mukmin sekalipun. Karena ketawadhu’an yang dari hati hanya bisa di ketahui oleh Allah dan orang yang melaksanakan sikap tawadhu’ itu sendiri.
Namun, kita sebagai seorang muslim yang mukmin, harus selalu berusaha untuk memupuk sikap tawadhu’ dalam diri kita. Karena kesulitan yang kita lalui saat melaksanakan perintah Allah, insyaAllah akan bernilai pahala bagi kita. Wallahu a’lam bi asshawab (FRS)
Dicky Septian Baihaky, Mahasiswa STIQSI (Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains) Al-Ishlah Lamongan