Hukum Vaksin Polio
Pertanyaan dari Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup, tentang status hukum vaksin, khususnya untuk imunisasi polio yang dicurigai memanfaatkan enzim dari babi.
(disidangkan pada Jum’at, 5 Jumadats-Tsaniyah 1430 H / 11 Juni 2009)
Jawaban:
Dasar Pemikiran
- Virus polio adalah virus yang masuk ke tubuh manusia melalui mulut, yang jika tidak ditanggulangi akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) atau kelumpuhan pada mereka yang menderitanya.
- Terdapat sejumlah anak balita yang menderita kelainan sistem kekebalan tubuh yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (IPV). Jika anak-anak yang menderita kelainan sistem kekebalan tubuh tersebut tidak diimunisasi, mereka akan menderita penyakit polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus polio.
- Vaksin adalah sebuah senyawa antigen yang terbuat dari virus yang telah dimatikan atau dilemahkan Pada dasarnya vaksin berfungsi untuk meningkatkan sistem kekebalan (imunitas) pada tubuh terhadap virus, yang biasanya dilakukan pada bayi, balita, dan ibu hamil. Adapun usaha memberikan vaksin ke dalam tubuh untuk menghasilkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit/virus disebut vaksinasi. Di Indonesia praktik vaksinasi yang dilakukan terutama pada bayi dan balita adalah hepatitis B, BCG, polio, dan DPT.
- Banyak jenis vaksin yang bersumber dari bahan-bahan yang diharamkan, terutama enzim tripsin yang berasal dari pangkreas babi. Menurut keterangan Prof. Dr. H. Jurnalis Uddin, bahwa dalam proses pembuatan vaksin polio diperlukan bahan dari babi yang disebut enzim tripsin. Tanpa enzim tripsin tersebut tidak mungkin vaksin polio dapat dibuat. Enzim tripsin babi bukanlah bahan baku vaksin, namun hanya dipakai sebagai enzim katalisator pemisah sel.
- Tidak digunakannya enzim tripsin sapi atau domba, menurut PT. Biofarma perusahaan yang memproduksi vaksin di Indonesia, karena memerlukan waktu penelitian yang cukup lama dan dana yang besar. Belum ada satu pun perusahaan farmasi di dunia yang memakai enzim tripsin selain babi. Artinya tidak ada pilihan lain, sementara untuk membentengi anak-anak dari serangan virus polio merupakan satu keharusan. Jika tidak, akan terjadi malapetaka yang akan diderita seumur hidup.
Dalil-dalil
Beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw yang dapat dijadikan sandaran untuk menghukumi masalah vaksin polio ini adalah sebagai berikut:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ [البقرة، 2: 195]
Artinya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, …” [QS. al-Baqarah (2): 195]
عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ. [رواه مسلم وأحمد والنسائي واللفظ لمسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, dari Rasulullah saw, bahwasanya beliau bersabda: Setiap penyakit ada obatnya, maka penyakit telah dikenai obat, semoga sembuh dengan izin Allah.” [HR. Muslim, Ahmad dan an-Nasai]
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ. [رواه أبو داوود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. dan menjadikan bagi setiap penyakit akan obatnya. Maka hendaklah kamu berobat, tetapi janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” [HR. Abu Dawud]
Analisis hukum
Mencermati dalil-dalil di atas, dapat diambil pengertian bahwa manusia harus senantiasa menjaga diri agar tidak terkena penyakit yang bisa merusak tubuhnya, dan sudah seharusnya berobat jika menderita sakit, sepanjang tidak berobat dengan sesuatu yang haram.
Dalam kasus polio, penyakit ini cukup berbahaya bagi manusia. Di sisi lain, vaksin yang merupakan sarana untuk menghindarkan diri dari penyakit yang berbahaya ini, mengandung unsur babi, – yang jelas haram dimakan dagingnya, – meskipun bukan merupakan bahan baku, melainkan sekedar alat (perantara) untuk memisah sel.
Dalam kajian hukum, menghindarkan diri dari penyakit polio merupakan hajah (kebutuhan), meskipun harus menggunakan vaksin yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ.
Artinya: “Kebutuhan itu menduduki tempat darurat.”
Demikian pula, babi adalah mafsadah, polio juga mafsadah. Menghadapi dua hal yang sama-sama mafsadah ini, harus dipertimbangkan mana yang lebih besar madlaratnya dengan memilih yang lebih ringan madlaratnya. Oleh karena itu, dalam rangka membentengi penyakit polio dibolehkan menggunakan vaksin tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah:
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا.
Artinya: “Apabila bertentangan dua mafsadah, maka perhatikan mana yang lebih besar madlaratnya dengan dikerjakan yang lebih ringan mafsadahnya.”
Sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi polio yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah mubah atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas dari enzim itu. Sehubungan dengan itu, kami menganjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang dan berkompeten agar melakukan penelitian-penelitian terkait dengan penggunaan enzim dari binatang selain babi yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga suatu saat nanti dapat ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari barang-barang yang hukum asalnya adalah haram.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2009