Pesan Wasathiyyah Islam dari Al-Azhar
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Universitas Al-Azhar Mesir kembali memelopori Konferensi Internasional pada 2-3 Jumadilakhir 1441 H bertepatan 27-28 Januari 2020 M dengan mengeluarkan deklarasi tentang “Pembaruan Pemikiran Islam”. Tahun 2019 lalu Syeikh Al-Azhar Dr Ahmed At-Tayyeb bersama Paus Fransiskus juga menandatangani dokumen bersejarah, Deklarasi Abu Dhabi yang dikenal “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan” untuk mendorong hubungan yang lebih inklusif antara umat manusia khususnya sesama umat beragama.
Konferensi Internasional Al-Azhar tersebut dihadiri oleh para ulama, pemimpin, dan cendekiawan Muslim dari 41 negara. Konferensi tersebut melahirkan 29 poin penting, sebagian besar menyangkut pandangan wasathiyah atau kemoderatan Islam. Berbagai konferensi dan forum internasional dalam beberapa tahun terakhir ini banyak mengeluarkan pernyataan tentang pandangan Islam jalan tengah karena menguatnya paham dan praktik Islam yang radikal-esktrem, selain radikal-ekstrem lainnya.
Menurut Prof Amin Abdullah, apa yang dilakukan Muhammadiyah sebenarnya telah lebih maju dalam kurun seabad pergerakannya. Namun tidak ada salahnya deklarasi Al-Azhar menjadi bahan memperkuat dan memperluas wawasan pemikiran para pimpinan dan kader Muhammadiyah untuk memperkaya gerakan. Siapa tahu malah pada sejumlah hal sebagian pimpinan dan kader Persyarikatan ketinggalan, konservatif, dan ekslusif.
Agendanya bagaimana menyebarluaskan dan menjadikan pandangan wasathiyyah Islam dari setiap forum internasional dan nasional itu agar tidak berhenti di atas kertas, tetapi harus menjadi alam pikiran dan pola tindak umat Islam sedunia di dalam praktik sehari-hari. Jangan sampai rumusan-rumusan wasathiyah itu tidak mampu membendung keislaman yang ekstrem. Sebab sering elite dan warga umat berpikir dan bertindak ekstrem atasnama nahyu-munkar, jihad, dan dogma Islam yang dipahami verbal atau tekstual (bayani) tanpa diimbangi pemikiran yang luas dan kontekstual (burhani) serta moral-spiritual (irfani) yang mendalam dan melintasi.
Wasathiyyah Progresif
Di antara Deklarasi Al-Azhar yang menyangkut wasathiyah Islam ialah sebagai berikut. Point 4: Aliran-aliran ekstrem dan kelompok-kelompok teroris pro kekerasan, semuanya bersepakat menolak pembaruan. Propaganda mereka berdiri di atas pemalsuan pemahaman dan manipulasi istilah-istilah agama seperti konsep mereka mengenai sistem pemerintahan, al-haakimiyyah (Allah sebagai sumber hukum), hijrah, jihad, perang, dan sikap terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan mereka. Mereka juga banyak melanggar prinsip-prinsip agama dalam bentuk pelanggaran terhadap jiwa, harta, dan kehormatan. Akibatnya, wajah Islam pun tercoreng di mata orang-orang Barat dan orang-orang Timur yang berpandangan seperti mereka.
Banyak pihak menghubung-hubungkan kelakuan mereka yang menyimpang itu dengan ketentuan hukum syariat Islam, sehingga merebak apa yang disebut dengan Islamophobia di Barat. Oleh karena itu, lembaga dan masyarakat wajib mendukung negara untuk menumpas bahaya kelompok-kelompok itu. Pada Poin 5: Di antara pangkal kekeliruan berpikir kelompok-kelompok itu adalah penyamaan antara masalah-masalah akidah dengan hukum-hukum fiqih yang bersifat praktis, seperti anggapan bahwa perbuatan maksiat adalah kufur dan menganggap sebagian perbuatan mubah sebagai kewajiban. Inilah yang menjerumuskan masyarakat ke dalam kesulitan yang luar biasa dan sangat memperburuk citra Islam dan syariatnya.
Poin 6: Konsep Haakimiyyah menurut kelompok-kelompok ekstrem adalah bahwa kewenangan untuk memutuskan hukum hanya milik Allah. Siapa yang memutuskan hukum berarti telah menyaingi Allah dalam wewenang ketuhanan-Nya yang paling khusus. Siapa yang menyaingi Allah berarti telah kufur, halal darahnya, karena telah menyaingi Allah dalam sifat-Nya yang paling khusus. Tentu saja ini merupakan penyimpangan yang terang benderang terhadap teks-teks keagamaan yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Sunah yang menguraikan secara gamblang adanya penyerahan wewenang penetapan hukum kepada manusia. Semua keputusan Ahlul halli wal aqdi (pembuat keputusan dan kebijakan) dianggap sebagai ijtihad yang bermuara pada hukum Allah.
Ibnu Hazm pernah berkata, “Di antara ketetapan hukum Allah adalah menyerahkan wewenang penetapan hukum kepada selain Allah.” Hal itu seperti tersebut dalam firman Allah Swt., “Maka kirimlah seorang hakim (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (juru damai) dari keluarga perempuan.” (An-Nisa’/4:35). Demikian juga firman Allah yang artinya, “…. Menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (Al-Ma’idah/5:95). Dengan demikian, pandangan masyarakat tentang konsep haakimiyyah harus diluruskan dengan cara menyebarkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dan penjelasan bahwa putusan hukum yang diambil oleh seorang manusia yang patuh terhadap prinsip-prinsip agama tidak bertentangan dengan hukum Allah, bahkan termasuk bagian dari hukum Allah.
Poin 7: Takfiir (pengafiran/mengafirkan orang lain) adalah musibah yang dialami oleh umat Islam dari dulu hingga saat ini. Tidak ada yang berani melakukannya kecuali orang yang kurang ajar/sembrono terhadap agama atau tidak mengetahui ajarannya. Teks-teks keagamaan menjelaskan bahwa tuduhan kafir bisa berbalik kepada pelakunya sehingga harus menanggung dosanya. Pengafiran adalah penilaian terhadap isi hati seseorang yang merupakan hak khusus Allah yang tidak dimiliki oleh pihak lain. Jika ada seseorang yang mengucapkan kata-kata yang berpotensi mengandung kekufuran dari 99 segi dan tidak mengandung kekufuran dari satu segi, maka tidak boleh dituduh kafir karena adanya unsur kemungkinan (beriman). Hal ini sejalan dengan kaidah “sesuatu yang ada karena keyakinan tidak akan hilang kecuali dengan keyakinan”.
Pada Poin 16: Salah satu kebajikan yang diserukan Islam kepada kita adalah mengucapkan selamat kepada kaum non-Muslim saat perayaan hari besar mereka. Hukum haram terkait itu yang dikatakan kelompok ekstrem merupakan sikap kaku dan menutup diri (eksklusif), bahkan kebohongan yang mengatasnamakan tujuan umum syariat Islam. Klaim keharaman ini masuk dalam kategori fitnah yang lebih keras daripada pembunuhan, dan menyakiti non-Muslim. Ucapan selamat kepada non-Muslim tidak bertentangan dengan akidah Islam sebagaimana dikatakan kaum ekstremis. Poin 17: Para pejabat yang berwenang harus menghentikan propaganda media yang berisikan pemikiran-pemikiran semacam ini, terutama pada saat-saat peringatan hari besar non-Muslim, karena bisa menimbulkan keresahan dan kebencian terpendam di antara para anggota satu kelompok masyarakat.
Bias Jihad dan Hijrah
Ajaran jihad dan hijrah yang dipahami secara bias atau parsial sering menjadi dasar sebagian umat dalam mempraktikkan agama sehingga lahir sikap ekstrem seperti membenarkan kekerasan, teror, permusuhan, dan sebagainya. Sikap keislaman yang sempit dan bias itu menjadi sorotan dalam Deklarasi Al-Azhar. Pada Poin 8: Seruan mereka untuk hijrah meninggalkan tanah air tidak memiliki pijakan sama sekali. Bahkan sebaliknya, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi, “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Makkah.”
Dari sini, ajakan kelompok-kelompok teroris kepada para pemuda untuk hijrah dari kampung halaman menuju padang pasir dan bergabung dengan kelompok-kelompok bersenjata karena lari dari masyarakat yang mereka anggap kafir adalah ajakan yang lahir dari kesesatan dalam agama dan ketidaktahuan terhadap tujuan-tujuan umum syariat. Ketentuan hukum agama yang dinyatakan oleh para ulama dari Al-Azhar adalah bahwa setiap Muslim berhak tinggal di tempat mana pun di negeri kaum Muslim atau negeri lain bila jiwa, harta, dan kehormatannya aman, serta bebas melaksanakan ibadah. Adapun makna yang benar dari hijrah menurut istilah keagamaan pada zaman kita ini adalah meninggalkan maksiat, hijrah untuk mencari rezeki, menuntut ilmu, memakmurkan bumi dan memajukan negeri.
Poin 10: Jihad dalam Islam tidak identik dengan perang. Peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya adalah salah satu jenis jihad. Perang itu bertujuan untuk menolak serangan yang dilancarkan para agresor terhadap kaum Muslim, bukan untuk membunuhi orang-orang yang berbeda agama sebagaimana anggapan kaum ekstremis. Ketentuan agama yang tetap dalam Islam adalah haram hukumnya mengganggu orang-orang yang berbeda agama dan memeranginya selama mereka tidak memerangi kaum Muslim.
Poin 11: Yang berwenang menyatakan jihad perang adalah pemerintah yang sah dari suatu negeri berdasarkan undang-undang dasar dan hukum, bukan kelompok atau perorangan. Kelompok yang mengaku memiliki wewenang ini, merekrut dan melatih para pemuda untuk dijerumuskan ke dalam pembunuhan dan peperangan serta memotong leher adalah kelompok perusak di muka bumi serta memerangi Allah dan Rasul-Nya. Instansi yang berwenang (di bidang keamanan dan hukum) harus melawan dan menumpas kelompok-kelompok semacam itu dengan tekad yang kuat.
Poin 18: Kejahatan yang dilakukan kelompok-kelompok teroris dan kelompok-kelompok bersenjata, terutama membunuh orang-orang yang tidak berdosa dari masyarakat sipil, tentara dan polisi serta orang-orang lain yang sedang melaksanakan tugas menjaga masyarakat dan tapal batas negara, juga menyerang properti umum dan khusus, merupakan kejahatan membuat kerusakan di bumi. Oleh karenanya, harus ada tindakan secara agama, hukum, keamanan dan militer. Juga harus diambil tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok teroris dan negara-negara yang melindungi dan menyokongnya.
Poin 21: Bunuh diri adalah kejahatan tercela yang muncul secara tidak biasa di masyarakat kita. Keburukannya melebihi keburukan membunuh orang lain. Orang yang membunuh orang lain, meski dianggap telah membunuh umat manusia seluruhnya, dia bisa jadi terhindar dari hukuman karena pengampunan para ahli waris, atau mendapatkan hukuman di dunia. Sedangkan orang yang bunuh diri, mati karena kejahatannya sendiri. Para ulama, pemikir, dan orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan, pengetahuan, dan kepemudaan harus mencari sebab-sebab yang mendorong sebagian pemuda untuk melakukan kejahatan keji ini, lalu mengajukan solusi-solusi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menghentikan kejahatan pendatang di dalam masyarakat timur kita yang agamis.
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2020