PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah – Prodi Pendidikan Sejarah Fakutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), kembali menggelar Forum Grup Discussion (FGD) bertajuk “Perangkat MBKM dan Hasil Temuan-temuan Kampus Mengajar 2021” di R.M. Oemah Tahu Sumedang Pak Eman Tambaksogra, Purwokerto, Sabtu, (25/12/2021) lalu.
Kepala Program Studi Pendidikan Sejarah Sumiyatun Septianingsih M Pd mengatakan, kegiatan merupakan rangkaian penelitian Hibah Kegiatan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Kampus Mengajar (KM) periode 2021, yang diselenggarakan atas kerjasama dengan FKIP UMP, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masayrakat (LPPM) UMP, dan Kemendikbud RI.
Kegiatan FGD diawali penjelasan dan materi tentang Bagaimana Menyusun Perangkat MBKM dan Implementasinya, dengan menghadirkan pembicara inti yaitu Suwarsito SPi MPi dari Prodi Pendidikan Geografi FKIP UMP.
Pembiacara lain yakni Tim Hibah Prodi Sejarah, yang fokus membahas hasil temuan. Diantaranya, Arifin Suryo Nugroho, MPd memaparkan materi Hasil Temuan Data Arsip Program Kampus Mengajar. Sumiyatun Septianingsih MPd fokus memaparkan Hasil Temuan Data Instrumen program tersebut.
“Peserta FGD dihadiri para dosen, mahasiswa, dan mitra sekolah Kampus Mengajar program studi Pendidikan Sejarah,” katanya.
Sementara itu, Ketua Program Studi Pendidikan Geografi FKIP UMP yang juga sebagai pemateri ini Suwarsito SPi MPi menyampaikan MBKM merupakan program Kemendikbud di tahun 2020, yang harus dilaksanakan oleh Prodi.
“Prodi harus melakukan peninjauan dan atau perubahan kurikulum sebagai tahap awal penyesuaian MBKM tersebut, Tidak mudah karena harus mendapatkan izin juga dari semua dosen mata kuliah (MK),” katanya.
Dijelaskan hasil temuan bahwa dari 34 responden guru penggguna di sekolah Mitra, dan 56 siswa, dari 9 Sekolah Dasar Negeri peserta KM, menyatakan bahwa proses komunikasi awal hingga akhir kegiatan, belum efektif. Kegiatan ini dianggap sebagai KKN mahasiswa.
“Kemendikbud sebagai pihak penyelenggara harus aktif menjelaskan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan melalui tim-nya. Sekolah yang menjadi tempat kegiatan juga tidak tepat sasaran, karena mahasiswa yang mengikuti kegiatan tersebut hampir 90% adalah berasal dari jenjang pendidikan non PGSD,” pungkasnya. (*)