Hukum Nikah Sirri Duda dan Janda

Hukum Nikah Sirri Duda dan Janda

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum w.w.

Saya memiliki ibu seorang janda berumur 67 tahun, beliau bertemu dengan jodohnya seorang laki-laki duda berumur 75 tahun. Apakah keduanya dapat melakukan nikah siri dengan niat mulia untuk mencari teman hidup di masa tua mereka?

Desty Pritasari (Disidangkan pada Jum‘at, 27 Rabiulawal 1442 H/13 November 2020 M)

Jawaban: 

Wa ‘alaikumussalam w.w.

Permasalahan nikah siri sebelumnya sudah pernah ditanyakan dan dijawab. Jawaban tersebut dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 8, halaman 45-52, cetakan II, Februari 2018. Di sini akan kami sampaikan kembali terkait hal tersebut.

Pernikahan siri yang dikenal oleh masyarakat sekarang ialah pernikahan yang dilakukan secara sah menurut agama, artinya syarat dan rukun-rukunnya telah terpenuhi akan tetapi tidak dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah selaku aparat resmi pemerintah atau aparat resmi pernikahan sehingga menyebabkan pernikahan tersebut tidak tercatat di Kantor Urusan Agama bagi pasangan suami istri muslim dan di Kantor Catatan Sipil bagi pasangan suami istri non-muslim. Akibatnya, tidak memiliki Akta Nikah yang dikeluarkan secara resmi oleh Pemerintah.

Pernikahan merupakan salah satu fitrah manusia yang tujuan utamanya adalah melakukan kewajiban syariat, yaitu membentuk keluarga sakinah yang didasari oleh mawaddah wa rahmah. Dengan pernikahan, nantinya diharapkan akan melahirkan generasi-generasi berkualitas. Dalam Islam sendiri, pernikahan diistilahkan dengan sebuah ungkapan yang kaya akan makna yakni Mitsaqan Ghalizha (akad yang sangat kuat). Hal ini menandakan bahwa Allah swt menegaskan, pernikahan merupakan ikatan pertalian yang sakral antara lawan jenis untuk  menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan bagian dari ibadah.

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Di dalamnya disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan, selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga disebutkan:

Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12 dan 13.

Dalam Pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur terkait pencatatan perkawinan dan kutipannya sebagai berikut:

Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, sedangkan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:

Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa peraturan perundangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditegaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundang-undangan hanya sebatas mengatur pernikahan dari aspek hukum formil, yaitu pernikahan sebagai suatu peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban, transparansi, dan kepastian hukum.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga diatur mengenai tujuan, tatacara, dan pencatatan perkawinan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sedangkan pada Pasal 4 mengatur tentang sahnya suatu perkawinan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang sebelumnya telah disebutkan. Adapun pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5:

Dalam Pasal 6 diatur mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dalam Pasal 5 dan kutipannya, yaitu:

Pada mulanya, hukum Islam tidak begitu tegas mengatur tentang pencatatan pernikahan begitu pun pada masa Rasulullah saw dan para sahabat. Satu-satunya pencatatan pernikahan hanya dengan cara diketahui oleh masyarakat luas baik melalui i‘lan maupun walimatul-‘ursy. Rasulullah saw bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ [رواه ابن ماجه].

Dari Aisyah (diriwayatkan), dari Nabi saw beliau bersabda: Umumkanlah suatu pernikahan dan pukullah rebana dalam rangka hal itu [HR Ibnu Majah Nomor 1895].

عَنْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ [رواه البخاري].

Dari Abdurrahman bin ‘Auf (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi saw bersabda: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR al-Bukhari Nomor 2048].

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya suatu pernikahan di kemudian hari, maka dapat dibuktikan pencatatan pernikahannya dengan akta perkawinan, sehingga dapat dilakukan upaya hukum untuk melindungi pihak-pihak yang terkait berserta akibatnya. Akta perkawinan merupakan bukti otentik bahwa pernikahan benar-benar telah terjadi. Pencatatan pernikahan selain substansinya guna mewujudkan ketertiban hukum, juga mempunyai manfaat preventif agar tidak terjadi penyimpangan syarat dan rukun-rukun pernikahan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan, tidak terjadi pernikahan antar mahram, dan menghindari pemalsuan identitas. Tindakan preventif ini, dalam peraturan perundang-undangan direalisasikan dalam bentuk penelitian kelengkapan persyaratan pernikahan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975. Selain itu sebagai pertimbangan kemaslahatan akta nikah ini juga menyangkut menganai kejelasan tanggung jawab antara suami dan istri, perkongsian pendapatan/penghasilan, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain lain.

Dalam Hukum Islam, keharusan pencatatan pernikahan dan pembuatan akta nikah    adalah mafhum muwafaqah dari pencatatan terhadap persoalan mudayanah atau utang-piutang yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, sebagaimana firman Allah swt. dalam Surah al-Baqarah (2) ayat 282 berikut ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ.

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Apabila utang-piutang atau hubungan muamalah diharuskan untuk dicatatkan, maka semestinya akad nikah yang begitu luhur, sakral, dan agung itu lebih utama untuk dicatatkan. Akad pernikahan bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjan yang sangat kuat. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt. Surah an-Nisa’ (4) ayat 21:

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu dari perjanjian yang kuat.

Dengan demikian, mencatatkan pernikahan mengandung kemaslahatan yang besar bagi kehidupan rumah tangga. Sebaliknya apabila pernikahan tidak diatur secara jelas dan terperinci dalam peraturan perundangan kemudian tidak dicatatkan, maka akan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang melakukan pernikahan hanya untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan pihak istri, anak-anak, dan keluarga besarnya. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaidah :

تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.

Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka wajib hukumnya untuk mencatatkan pernikahan yang dilangsungkan. Berkaitan dengan hal ini, diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah yang diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di antara sifat Muhammadiyah adalah “mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah”.

Pandangan Muhammadiyah tentang wajibnya melakukan pencatatan nikah sama saja dengan memutuskan bahwa hukum nikah siri adalah tidak sah. Dengan demikian, kesimpulan jawaban untuk pertanyaan di atas adalah demi kemaslahatan dan menghindari kemudaratan pencatatan pernikahan harus dilakukan sekalipun kedua mempelai sudah berusia lanjut atau pun berstatus sebagai duda dan janda.

Wallahu a‘lam bish-shawab

Sumber: Majalah SM No 15 Tahun 2021

Exit mobile version