Masalah Klasik Umat Islam Indonesia

Masalah Klasik Umat Islam Indonesia

Oleh Prof Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.

Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 di Pangkalpinang Bangka Belitung yang berlangsung 26-29 Februari 2020 mengangkat tema penting, yaitu “Strategi Perjuangan Umat Islam untuk Mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Maju, Adil, dan Beradab”. Tema tersebut sangat penting dan banyak pemikiran-pemikiran strategis yang berkembang dari para narasumber. Bagianan umat Islam yang mayoritas di negeri ini menjadi kekuatan yang unggul dan berkualitas dalam berbagai aspek kehidupan sehingga dapat membawa Indonesia menjadi negeri yang maju, adil, dan makmur sebagaimana komitmen KUII.

Penulis memperoleh kesempatan menyampaikan pemikiran yang persis  sama dengan tema. Dua hal utama disampaikan, pertama tentang problem umat Islam, yang kedua tawaran strategi perjuangan umat Islam Indonesia. Masalah umat Islam mesti dibahas sebelum mewacanakan tentang strategi. Sebab, strategi apapun tidak bersifat vakum, lebih-lebih menyangkut umat Islam yang tentu saja terkait dengan kebangsaan dan bahkan dengan aspek global dalam urusan kemanusiaan semesta. Kondisi dan dinamika internal serta eksternal yang menyertai denyut nadi kehidupan umat Islam akan mempengatuhi pola strategi yang dipilih dan tingkat keberhasilan dalam perjuangan umat Islam Indonesia.

Permasalahan Krusial

Umat Islam Indonesia memang mayoritas secara jumlah sehingga disebut dengan muslim terbesar di dunia. Namun kebesaran dari segi jumlah tidak otomatis sama dengan kualitas. Umat Islam di negeri ini masih tertinggal dalam sejumlah aspek strategis, terutama ekonomi dan politik. Karenanya sebelum menyusun langkah strategis maka diperlukan pemetaan dan penyelesaian masalah-masalah klasik yang krusial di tubuh umat Islam sendiri. Sebab, sering karena persoalan-persoalan krusial atau yang sifatnya rumit itulah di tubuh umat Islam sering terjadi perbedaan-perbedaan pandangan yang berakibat pada pertentangan satu sama lain, sehingga tidak produktif dan tidak dapat melangkah bersama.

Pertama, masalah “Relasi Islam dan Negara”. Umat Islam Indonesia jika ingin leluasa melangkah ke depan dalam perjuangan keumatan dan keindonesiaan harus menyelesaikan urusan mengenai hubungan dirinya dengan   Negara Kesatuan Republik Idonesia. Secara umum relasi Islam dan negara sudah selesai, tetapi pada segmen umat dan orientasi paham tertentu masih tampak ada masalah, ganjalan, dan kecanggungan. Organisasi besar seperti Muhammadiyah mendeklarasikan Dokumen Resmi Muktamar (2015) tentang Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah.

Nahdlatul Ulama memiliki pandangan NKRI sebagai Final. Ormas dan kekuatan umat Islam lainnya tentu pandangan dan sikapnya sama, yang memerlukan penegasan sikap teologis-ideologis yang resmi mengakui keberadaan NKRI dengan segala aspeknya dan tidak berpikir lain yang bertentangan dengan Konstitusi RI. Termasuk dalam menerima Pancasila agar tidak mempertentangkan terus menerus antara Islam dan Pancasila. Jangan sampai ada paham yang menganut ideologi Khilafah atau Negara Islam di Indonesia  serta memandang NKRI sebagai sistem thaghut atau bertentangan dengan Islam.

Jika masalah yang berkaitan dengan relasi negara tersebut tidak selesai akan menjadi “duri dalam daging” serta umat Islam akan terus terpecah dan dianggap anti-NKRI atau tidak menerima NKRI sepenuh hati. Padahal perjuangan umat Islam untuk kemerdekaan, berdirinya RI, dan pembangunan bangsa luar biasa. Solusinya semua kekuatan umat Islam yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan kelompok-kelompok sosial-keagamaan lainnya penting memposisikan dan memiliki sikap dan pandangan resmi mengenai pengakuan NKRI sebagai negara yang dalam rujukan fikih siyasah Islam sejalan dengan jiwa ajaran Islam atau negara Islami (Darr al-Salam). Keberadaan NKRI  harus menjadi kesepakatan kolektif yang “qothiy” serta tidak boleh diinkari, bersamaan dengan itu harus diisi atau dibangun menjadi Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur sejalan dengan cita-cita nasional yang diletakkan fondasinya oleh para pendiri negara tahun 1945.

Kedua, masalah “Format Politik Islam”. Dalam konteks ini terdapat problem klasik Politik Islam antara aliran “Islamisme” dengam “modernisme” dan “liberalisme-sekularisme”. Khusus parpol Islam juga masih terjebak masalah lama tentang bentuk “aliansi politik” atau “kerjasama politik”, karena ketidakmungkinan atau kesulitan serius untuk lahirnya satu wadah partai politik Islam. Kekuatan politik umat Islam sebagaimana terepresentasikan dalam parpol Islam hasil Pemilu 2019: 171 di DPR (29,26%). Maukah membangun “aliansi strategis” yang dapat mensinergikan kekuatan politik Islam tanpa terjebak pada ekslusivisme, terutama dalam menyuarakan kepentingan besar umat Islam yang bersifat sepesifik: legislasi yang tidak merugikan umat Islam/Rakyat, penguatan aspirasi politik Islam, penguatan ekonomi umat, dan sebagainya.

Perlu terobosan langkah kolektif semua kekuatan politik Islam menyatukan visi dan langkah strategis politik untuk mewujudkan aspirasi dan kepentingan umat Islam sebagai mayoritas di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan tetap berada dalam spirit iknlusif  dalam Bhineka Tunggal Ika jangan sampai umat Islam sebagai penduduk mayoritas laksana orang yang “kesempitan” pakaian, bersamaan dengan itu tumbuh aura Islamofobia di negeri muslim terbesar di dunia ini. Karenanya penting pula  dikembangkan politik Islam yang inklusif serta dibangun relasi cair dengan kekuatan politik nasional lain yang sejatinya juga mayoritas elite dan pendukungnya beragama Islam. Dalam kaitan ini tentu kekuatan politik Islam penting meniscayakan perjuangan politiknya bersifat integratif yang menyatukan keislaman dan keindonesiaan untuk terwujudnya Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, makmur, dan berkeadaban. Di sinilah pentingnya “ijtihad politik baru” dalam dunia politik Islam Indonesia.

Ketiga, masalah  “Visi Keislaman dan Kebangsaan”. Umat Islam secara teologis memiliki cita-cita keumatan dan kebangsaan yang bersifat spesifik seperti terkandung dalam konsep Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur, Khyaira Ummah, Ummatan Wasatha, Rahmatan lil-‘Alamin, dan sebagainya. Namun bersamaan dengan itu sebagai entitas bangsa umat Islam telah bersepakat menjadikan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945 dengan segala kaitan ketatanegaraan lainnya yang mengikat secara konstitusional. Visi keislaman yang bersifat teologis tersebut penting didialogkan dan menjadi visi kolektif umat Islam Indonesia agar jelas secara ideologis dan tidak bersifat pragmatis belaka dalam berbangsa-bernegara, tanpa terjebak pada ekslusivitas ideologi Islam yang vis a vis dengan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.

Visi teologis ini harus terintegrasi ke dalam Keindonesiaan dan bukan disintegrasi. Golongan kebangsaan lainnya penting pula menghargai visi kebangsaan Islam ini dan jangan memandang sebagai identitas keislaman yang mengancam keindonesiaan. Visi teologis dan ideologis Islam tersebut niscaya menyatu dengan keberadaan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila  yang memiliki cita-cita mewujudkan kehidupan kebangsaan-kenegaraan  yang  merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur!

Keempat, masalah “Visi Kemajemukan/Pluralisme”. Umat Islam Indonesia penting memiliki pandangan yang final mengenai hidup berbangsa-bernegara dan bermasyarakat dalam kemajemukan/Bhineka Tunggal Ika. Bagaimana memandang golongan agama/kepercayaan lain: Ahlul Kitab atau apa yang dibenarkan secara teologis, jangan sampai ada Takfiri terhadap umat beragama lain. Golongan lain dan Negara/Pemerintah juga perlu memiliki pandangan yang moderat terhadap umat Islam sebagai mayoritas. Ini soal baju, jangan sampai umat Islam kesempitan baju karena paham pluralisme absolut.

Muhammadiyah: “Kemajemukan agama adalah realitas objektif dalam kehidupan sosial-keagamaan sebagai sunnatullah. Penolakan terhadap kemajemukan agama berdampak sikap yang tidak toleran, menafikan eksistensi pihak lain sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan umat dan masyarakat. Muhammadiyah menerima pluralitas agama tetapi menolak pluralisme yang mengarah pada sinkretisme, sintesisme, dan relatifisme. Karena itu, umat Islam diajak untuk memahami kemajemukan agama dan keberagamaan dengan mengembangkan tradisi toleransi dan ko-eksistensi (hidup berdampingan secara damai) dengan tetap meyakini kebenaran agamanya masing-masing. Setiap individu bangsa hendaknya menghindari segala bentuk pemaksaan kehendak, ancaman dan penyiaran agama yang menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Pemerintah diharapkan memelihara dan meningkatkan kehidupan beragama yang sehat untuk memperkuat kemajemukan dan persatuan bangsa.”.

Bagimana mengaktualisasikan konsep “ahlul-kitab” di Indonesia dalam spirit kemajemukan beragama. Umat Islam Indonesia sebagai mayoritas perlu memiliki sikap yang jelas dan tidak ambigu dalam memposisikan dan memandang pluralitas dan pluralisme beragama serta menyikapi golongan agama lain di Republik ini. Dalam hal ini Deklarasi Al-Azhar 2020 (baca:  Bingkai SM dua nomor yang lalu) tentang hubungan dengan golongan agama lain termasuk bagaimana mengucapkan selamat kepada penganut agama lain sangat progresif dalam hal ini, yang berbeda dengan pandangan Majelis Ulama Indonesia dan banyak kalangan muslim di negeri ini.

Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2020

Exit mobile version