YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah ‑ Belakangan kasus klitih kembali menggegerkan publik. Rantai kasus klitih di Yogyakarta patut menjadi perhatian bersama. Netizen lalu ramai-ramai memperbincangkan kasus ini di media sosial. Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta turut bersuara terkait masalah ini.
Melalui Ketua Umum DPD IMM DIY, Muhammad Akmal Ahsan, ia berpendapat bahwa rantai kasus klitih belakangan ini harus dianalisis secara multifaktor untuk merumuskan solusi yang multiaspek. Menurut Akmal, setidaknya ada 4 (empat) poin yang melatarbelakangi perilaku klitih yang mayoritas dari pelakunya adalah remaja usia pelajar.
Pertama, faktor ekonomi. Kesibukan orang tua untuk bekerja sering kali berimbas pada kurang perhatiannya orang tua terhadap anak.
“Desakan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan hidup sebuah keluarga di Yogyakarta ini cukup signifikan memantik munculnya klitih. Orang tua jadi sibuk nyari duit, luput membangun keharmonisan keluarga. Akhirnya para remaja itu cari ruang ekpresi dan kreativitas di luar rumah,” ungkap Akmal.
Poin latar belakang kedua adalah ketidakseriusan pemerintah dalam menanggulangi terjadinya aksi klitih. Menurut Akmal, pemerintah justru terlalu menganggap remeh kasus klitih dan cenderung apologi untuk mengatakan seolah keadaan masih baik-baik saja.
Faktor ketiga menurut Akmal ialah minimnya ruang kreativitas bagi pelajar. Julukan “kota pelajar” bagi Yogyakarta agaknya perlu ditinjau kembali. Pasalnya, Yogyakarta yang mestinya menjadi pusat kreativitas dan kebebasan bereskpresi pelajar, nyatanya justru jauh panggang dari api.
“Ini karena ruang ekspresi ditutup. Remaja bikin mural dilarang, demo dilarang. Pelarangan itu, alih-alih berdampak positif, justru akan hadirkan perlawanan dari remaja. Kelompok-kelompok reaksioner yang selalu lawan pelajar dan mahasiswa buat demo itu juga udah pada hilang. Padahal di situasi seperti ini mereka seharusnya bersuara,” tegas Akmal.
Terakhir menurut Akmal adalah faktor gender. Ia mengungkapkan bahwa budaya yang awet dan terawat di akar rumput ialah budaya patriarki. Sehingga laki-laki sering merasa perlu mengekspresikan maskulinitasnya dengan kekerasan.
Oleh berbagai latar belakang di atas, Akmal memberikan 2 (dua) rekomendasi bagi pemerintah dan pemangku kebijakan terkait yang diharapkan mampu menuntaskan kasus klitih di Yogyakarta.
Pertama, pemerintah mesti fokus pada penuntasan kasus. Perilaku klitih di Yogyakarta telah menjelma budaya bagi pelajar. Kelompok-kelompok klitih terus melakukan regenerasi dengan modus yang beragam. Mulai dari menjaga nama baik sekolah, hingga sekadar meneguhkan eksistensi kelompoknya.
Maka menurut Akmal, pemerintah sebagai penjamin keamanan, keselamatan, dan kenyamanan masyarakat harus merumuskan strategi penyelesaian yang matang dan serius dalam menyelesaikan kasus klitih ini. Dimulai dari upaya analisis kasus yang objektif dan mendalam, pelibatan berbagai elemen, serta peningkatan upaya preventif dari aparat.
Kedua, menurut Akmal, pemerintah perlu membuka seluas-luasnya ruang kreativitas bagi pelajar. Beban pelajar untuk bersekolah sudah cukup berat, maka semestinya kepenatan belajar itu dialihkan pada aktivitas-aktivitas kreatif.
“Yogyakarta harus selalu menjadi rumah bagi pelajar yang kreatif dan berbudaya. Hal ini toh juga dapat meningkatkan mutu pendidikan di Yogyakarta. Maka ruang kreatif bagi pelajar perlu dimasifkan dan kebebasan berekspresi pelajar harus terus dibuka seluas-luasnya. Jangan ada lagi oknum-oknum reaksioner yang menghambat terciptanya ruang bebas ekspresi bagi pelajar maupun mahasiswa,” tegas Akmal.
Terakhir, Akmal berharap agar kasus klitih di Yogyakarta mengalami penurunan sesegera mungkin. Di samping mengharap penuntasan kasus oleh pemerintah, Akmal menghimbau kepada masyarakat Yogyakarta, terutama kader-kader IMM DIY untuk tetap berhati-hati dan selalu meningkatkan kewaspadaan. (dpd imm diy)
Baca juga:
Jogja Kembali Nyaman Tanpa Klitih dan Tawuran
Selesaikan Geng ‘Klithih’ Harus Gunakan Pendekatan Multidimensi