Strategi Lain: Perdamaian Israel-Palestina

Strategi Lain: Perdamaian Israel-Palestina

Oleh: Hasnan Bachtiar

Urusan perdamaian Israel-Palestina ini seperti permainan catur yang sedang berlangsung. Bidak hitam ada di tangan elit Zionis, sementara bidak putih, ada dalam genggaman pemerintah Palestina. Dalam permainan catur, tentu sukar menemukan para petarung yang kemudian mengalah, apalagi membiarkan skakmat terjadi.

Di antara kedua pemain catur, adalah para pengamat. Ada para elit negara-negara adikuasa dan negara-negara lainnya yang berkepentingan, termasuk pula para petinggi korporasi multinasional. Namanya pengamat, tugasnya hanya mengamati. Tapi bukan berarti mereka tak punya kepentingan. Karena itu, sedikit banyak, selain berkomentar, menasehati, berbisik, juga menekan, memaksa dan mengancam, agar kedua pemain catur memenuhi kepentingan mereka.

Di sela-sela permainan ini, juga ada penikmat pertandingan. Mereka adalah para akademisi, sarjana dan intelektual, yang tugasnya hanya mengamati, berkomentar, mencatat setiap detil peristiwa yang ada, dan terkadang, menjadi penasehat para pengamat (yang lebih memiliki kuasa dan otoritas dalam mempengaruhi pertandingan).

Di dalam sebuah pertandingan ini, ternyata ada hal-hal yang lebih rumit. Pengendali bidak hitam (Israel) misalnya, ternyata tidak tunggal, tidak satu suara, dan satu sama lain, saling berkompetisi. Ada kelompok orang-orang Arab beragama Yahudi, yang mendukung dan menolak Zionisme. Sementara itu Zionis sendiri, tidak semuanya ingin menguasai seluruh tanah Palestina. Meskipun mayoritas institusi politik di sana, seperti Partai Buruh dan Partai Likud, baik secara ideologis maupun politis, mereka menghendaki hal itu. Namun kelompok sayap kiri konservatif seperti Meretz, sangat mendukung perdamaian ketimbang perang, mengakui kemerdekaan Palestina, mendukung pembagian wilayah dan memenuhi hak-hak asasi rakyat Palestina.

Bagaimana dengan bidak putih (Palestina)? Tampak dari jauh, hanya ada satu pengendali. Walaupun, kenyataannya bukanlah demikian. Para elit Palestinian National Authority (PA) sepertinya merupakan representasi yang paling diakui sebagai pemerintah Palestina yang sah. Tetapi, hati nurani rakyat, tidak sepenuhnya diserahkan ke tangan mereka. Sebagian ada yang dipercayakan kepada kelompok Hamas, Fatah dan ada pula yang secara tulus dan penuh keimanan bergabung dengan kelompok Mujahidin Palestina.

Bagaimana dengan para pengamat? Yang paling dominan mempengaruhi pertandingan adalah Amerika Serikat, negara-negara Eropa yang berkawan dengannya, negara-negara Arab yang bergantung kepadanya, serta negara-negara lainnya yang berkepentingan. Para pengamat ini, sembari mengamati, juga mengintip segala kemungkinan peluang yang ada, terutama untuk memperkuat mesin-mesin akumulasi kapital mereka masing-masing.

Saya ingin mempertimbangkan ulang, gagasan penting Ibnu Burdah, “Yerusalem dan Kematian Perdamaian” yang dirilis 12/3/2018 di media Geotimes, yang menyebut bahwa “tidak ada jalan keluar” bagi konflik Palestina-Israel. Sebenarnya kunci perdamaian Israel-Palestina, bukan hanya tergantung kepada kedua belah pihak yang tengah bertikai. Namun, juga para pihak yang selalu mencampuri urusan mereka. Terutama, Amerika Serikat.

Pasca pengumuman provokatif oleh Presiden AS Donal Trump bahwa Jerusalem harus menjadi ibu kota Israel, para pengamat melihat bahwa masa depan perdamaian Israel-Palestina semakin suram. Kendati demikian, bukan berarti hal itu mustahil diupayakan.

Masalahnya adalah, apakah Israel dan Palestina sendiri mau berdamai?

Dari pihak Israel, kendati terdapat faksi (Meretz) yang sangat mendukung perdamaian, mengakui otonomi negara Palestina, dan mendukung penuh pelbagai resolusi perdamaian, namun mereka sangat minoritas. Mayoritas pengendali kebijakan Israel, secara ideologis, merupakan Zionis sayap kanan dan sebagian dari mereka yang tergabung dalam gerbong Zionis Revisionis, sangatlah konservatif, ekspansif dan sama sekali menolak adanya negara Palestina.

Sementara itu tidak berbeda dengan Israel, Palestina tidak satu suara dalam mendukung Resolusi 242. Faksi konservatif di dalam Palestina, terutama Hamas, jelas menghendaki kedaulatan penuh atas negara Palestina dan menolak Israel seutuhnya.

Tatkala Israel dan Palestina menemui jalan buntu, negara-negara di kawasan tersebut juga tidak mampu menyumbangkan peran yang signifikan. Bahkan, oleh karena pelbagai persoalan, terutama kontestasi penguasaan energi dan keseimbangan kekuasaan, negara-negara Arab, Persia dan Muslim, lebih suka bertikai masing-masing ketimbang membangun konsodilasi yang saling menguntungkan.

Juga sekiranya mereka mengangkat kembali isu agama untuk membangkitkan rasa persatuan bangsa-bangsa Muslim, sepertinya hal ini tidak akan berguna. Isu kebangkitan Islam misalnya, sedikit banyak, baik oleh karena kepentingan politik nasional, regional dan internasional, juga didorong oleh globalisasi dan proyek sekuritisasi Islam, akan menjadi bumerang bagi urusan domestik masing-masing negara.

Mengapa demikian? Pertama, mereka khawatir akan membangkitkan gerakan konservatif yang merepotkan urusan dalam negeri (seperti al-Qaeda, ISIS dan lainnya). Kedua, di antara mereka sendiri, tidak ada kesepakatan yang sah mengenai siapa yang memimpin bangsa-bangsa Muslim, bahkan menciptakan kontestasi lain, seperti yang sudah terjadi pada kasus Irak-Iran, Irak-Kuwait dan saat ini, Saudi-Iran. Ketiga, secara lebih realistis, rezim-rezim politik di Timur Tengah lazim melakukan instrumentalisasi agama untuk melindungi kekuasaan mereka masing-masing, ketimbang mengindahkan nilai agama untuk perdamaian.

Di lain pihak, negara-negara adikuasa tentu lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri, terutama mengenai perkara ekonomi dan politik, ketimbang berkontribusi dalam membangun tatanan dunia yang lebih damai, makmur dan sejahtera.

Sebagai contoh, Irak, Yaman dan Suriah telah menjadi arena politik, adu kekuatan militer dan yang paling jelas, menjadi penentu “ketergantungan” negara-negara kawasan. Konflik yang terjadi di proxy states tersebut, menjadikan AS dan para pesaingnya, Rusia, Tiongkok, Inggris dan seterusnya, lebih mudah mengendalikan urusan keamanan regional, mengontrol pasar minyak dan gas, serta menjamin sustainabilitas pelbagai bentuk “perbudakan” politik negara-negara kawasan.

Secara ideal dan konstruktif, sebenarnya perdamaian bisa dimulai dari Palestina sendiri, lalu Israel, negara-negara Timur Tengah dan negara Muslim lainnya, serta negara-negara adikuasa, khususnya Amerika Serikat.

Dari Palestina, Hamas harus menjadi pioner yang paling legawa dalam menerima pelbagai resolusi perdamaian, mengambil pelajaran dari kekalahan perang, mengakui Israel sebagai suatu negara yang sah dan bergandengan tangan dengan Fatah dalam rangka membangun negara Palestina yang lebih baik. Tentu setelah membereskan urusan domestik berkenaan dengan kelompok Jihadis ultra konservatif. Dan yang paling penting, para elit mereka harus berhenti berperilaku korup: berhenti menikmati insentif konflik (sumbangan internasional) dengan cara yang kotor dan tidak transparan untuk kepentingan pribadi-pribadi tertentu.

Palestina secara umum, harus belajar dari pelbagai upaya resolusi yang sudah dilalui (baik yang dilalui oleh Palestina, maupun negara-negara Arab lainnya), seperti Camp David 1979, Oslo 1993, Madrid 1993, Oslo 1995, Camp David 2000. Artinya, jika mereka bersatu padu dan satu suara, maka kesepakatan perdamaian akan lebih mudah dilakukan.

Dari Israel, kedua partai besar, seperti Likud dan Partai Buruh, juga harus berpikir dan bertindak secara lebih manusiawi setelah segala hal yang telah mereka dapatkan. Menduduki tanah Israel yang dijanjikan (Eretz Israel), berarti juga berkewajiban menjalankan prinsip-prinsip beragama Yudaisme yang menjunjung kemanusiaan, keadilan, kebebasan beragama dan pluralisme. Kebijakan keamanan dan makna serta persepsi mengenai “ancaman” harus diterjemahkan ulang secara lebih arif, bijaksana dan sesuai dengan nilai-nilai luhur agama Yahudi.

Konsekuensinya, mereka harus menganggap rakyat Palestina sebagai saudara muda, sahabat dan kawan akrab dalam pembangunan di kawasan. Hal fundamental yang harus mereka lakukan adalah, mengakui hak-hak asasi warga Palestina dan otonomi negara Palestina, secara lebih jujur dan lapang dada.

Sementara itu, para penganut Yahudi dan Zionisme yang taat, terutama yang berdiaspora di Amerika dan memiliki kekuatan di Partai Republik dan Demokrat, diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan Timur Tengah AS, agar mendorong perdamaian Israel-Palestina. Jika hal ini dilakukan, tentu sama sekali tidak akan merugikan kepentingan AS terhadap Timur Tengah secara lebih luas.

Di pihak lain, negara-negara Arab yang ada, tidak semestinya bersaing secara rakus dan beringas menikam saudaranya sendiri, demi kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang tidak seberapa. Mereka harus bekerjasama dan berdamai, lalu membangun konsolidasi, persahabatan dan persaudaraan demi kemajuan semua bangsa, tentu lebih utama dari segala kompetisi yang dehumanistik.

Bagi Amerika Serikat, semestinya mulai menggagas kebijakan luar negeri (Timur Tengah) yang mengedepankan spirit humanisme ketimbang kalkulasi rasional ekonomi dan politik yang hampa makna. Jika Amerika berkehendak memimpin peradaban global, maka sebagai pemimpin, mereka berkewajiban mendorong segala bangsa untuk bersatu padu dan maju. Secara lebih praktis, mereka harus segera menghentikan segala perilaku adu domba, memicu dan mengobarkan perang, serta menindas bangsa-bangsa yang tidak memiliki cukup kedigdayaan militer.

Kendati demikian, preskripsi konstruktivisme ini tidak akan berguna sama sekali tatkala berhadapan dengan realitas kompleks perebutan kekuasaan yang ada, baik yang terjadi di internal Palestina, Israel, negara-negara Timur Tengah, dinamika regional di kawasan, dan kompetisi antar negara adikuasa.

Jika kita bersasumsi bahwa, Amerika merupakan kunci utama pelbagai konflik di Timur Tengah (Irak, Suriah dan Yaman), maka Amerika pula yang paling berpotensi mampu mewujudkan perdamaian. Dalam kasus Israel-Palestina, maka siapa yang mampu menetralisir Partai Republik dan Demokrat dari rongrongan Kristen-Zionis (Evangelis-Zionis konservatif), mempengaruhi kongres, mendorong kebijakan Timur Tengah AS yang menghendaki perdamaian, maka itulah yang akan menjadi kunci masa depan kemanusiaan di Palestina.

Menurut perspektif realis, kasus ini memang sangat sulit, menguras energi dan membuat orang putus-asa. Tapi kita harus yakin bahwa, harapan selalu ada. Karena itu, maka segala upaya harus terus dilakukan, demi terwujudnya tatanan dunia yang lebih damai dan beradab.

Hasnan Bachtiar, Aktivis JIMM, Ketua PCI IMM Australia, Mahasiswa di The Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), the Australian National University (ANU), Australia

Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2018

 

Exit mobile version