Mainstreaming Difabel dalam Tubuh Persyarikatan

Difabel

Foto Dok MPM

Mainstreaming Difabel dalam Tubuh Persyarikatan

Salah satu hasil dari Munas Majelis Tarjih dan Tajdid yang baru berlangsung bulan Desember 7 – 18, 2020 adalah Fiqh Difabel. Kelahiran Fiqh difabel harus dilihat sebagai tahapan baru dalam keterlibatan Muhammadiyah dan semua organisasi di dalamnya, dalam isu disabilitas, atau merujuk pada istilah yang di pakai dalam Fiqh ini: difabilitas. Sebagaimana kita tahu, sejak awal berdirinya Muhammadiyah difabel, dulu masih disebut penyandang catat, sudah menjadi bagian dari aktivitas sosial persyarikatan.

Sampai saat ini dalam daftar amal usaha Muhammadiyah tercatat ada 82 panti rehabilitasi penyandang disabilitas dan 71 Sekolah Luar Biasa. Sementara data amal usaha PPA menunjukan ada 18 Sekolah Khusus (SLB), dua panti khusus difabel: di Riau dan Sumatera Utara dan beberapa LKSA di tingkat Daerah (PDA) yang juga memiliki anak asuh dengan disabilitas seperti Wonosobo, Ponorogo, Tasikmalaya, Karanganyar dan lainnya.

Lantas apa yang baru dengan urusan difabel? Apa perbedaan, atau yang seharusnya berbeda, dari program dan amal usaha pesyarikatan terkait difabel pasca lahirnya Fiqh? Jawaban singkatnya adalah pentingnya Muhammadiyah melakukan manstreaming difabilitas. Isu difabilitas adalah isu lintas sektoral yang menyentuh semua aspek kehidupan sosial, dan karenanya Difabel BUKANLAH urusan satu Majelis saja, tetapi SEMUA Majelis dalam Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Bagaimana itu dilakukan? Tulisan singkat ini mencoba memaparkan.

Fiqh Difabel dan Perubahan Cara Pandang

Dalam dua dekade terakhir, cara pandang masyarakat internasional terhadap difabel mengalami perubahan yang cukup signifikan. Kalau dulu difabilitas dianggap sebagai problem individu yang bersumber dari kondisi fisik atau mental-intelektual seseorang yang berbeda, kini difabilitas lebih diposisikan sebagai isu lingkungan sosial: tatanan dan struktur masyarakat yang tidak memberikan ruang bagi difabel. (Oliver,1999; Ro’fah, 2014).

Perubahan cara pandang diatas memiliki implikasi yang luas bagi kebijakan disabilitas. Jika dulu narasi kebijakan didominasi oleh rehabilitasi (upaya untuk “mengoreksi) individu dengan disabilitas dan dilandaskan pada semangat karitatif ( derma/ amal) maka dalam paradigma baru arah dan prinsip kebijakan difabel ditujukan pada mewujudkan partisipasi dan inklusi sosial bagi penyandang disabilitas. Ini artinya program dan ‘pelayanan difabel haruslah di tujukan untuk mendorong partisipasi mereka pada ranah spasial (fisik), sosial, ekonomi dan politik sehingga mereka bisa menjadi bagian dari masyarakat. Yang terakhir ini kemudian dikenal dengan pendekatan berbasis hak ( human right based) yang kini dominan dalam kebijakan disabilitas di semua level.

Konvensi Hak – Hak Penyandang Disabilitas atau lebih dikenal dengan CRPD (Convention on the Rights of Person with Disabilities) sebagai kesepakatan internasional yang lahir pada 2007 adalah gambaran nyata dari upaya perubahan ini pada level dunia. Setelah Indonesia meratifikasi konvensi ini ditahun 2011, lima tahun kemudian lahirlah UU no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengantikan peraturan lama , yakni UU. No 4, 1997. UU no 8, 2016 disusun dengan mengadopsi semangat CRPD dan diwarnai dengan narasi dan pendekatan hak di semua aspek.

Semangat pemenuhan hak inilah yang diusung dalam Fiqh Difabel. Islam sebenarnya memberikan posisi yang netral bahkan positif kepada difabel dibandingkan dengan tradisi sebelumnya.  Namun dalam realitasnya antara teks dan pemahaman Muslim merupakan dua hal yang berbeda . Artinya semangat positif Al quran tidak selalu ditangkap dan dipraktekkan oleh Muslim dalam hubunganya dengan saudaranya yang difabel, terbukti masih dominannya diskriminasi dan peminggiran penyandang disabilitas. Berapakah masjid memiliki ram atau pintu yang aksesibel untuk pengguna kursi roda?

Berapakah Mesjid yang menyediakan penerjemah bahasa isyarat untuk khutbah jumat? Hampir bisa dipastikan jawabannya tidak lebih dari hitungan tangan, bahkan nol. Merujuk pada kondisi ini maka dalam Fiqh difabel, spirit  positif ini diterjemahkan dalam pembangunan landasan Muhammadiyah terkait isu difabel pada tigal level: nilai dasar, (al Qiyam al Asasiyyah) yang terdiri dari Tauhid, Keadilan dan Kemaslahatan, prinsip umum (Al usul Al Kuliyyah) yakni kemuliaan manusia, Inklusifitas dan Pengetahuann, serta dan pedoman praktis (al Ahkam Al Far’iyyah) yang meliputi: hak asasi, hak bermartabat dan Pengembangan Riset dan teknologi.

Tiga landasan ini memberikan pedoman yang komprehensif dari wilayah nilai dan prinsip yang membingkai cara pandang yang harus kita bangun terhadap difabel, sampai pada pedoman praktis yang menyentuh level strategi dan pendekatan kebijakan. Bahkan pemilihan kata “DIFABEL” (kepanjangan dari differently abled atau kemampuan berbeda) dan bukan Penyandang Disabilitas sebagaimana tercantum dalam UU no.8, 2016 merupakan refleksi dari komitmen serius Muhammadiyah untuk mengeliminasi semua pandangan negatif terhadap difabel.

Strategi Pengarustamaan Difabel

Difabel adalah isu lintas domain yang menyentuh semua aspek kehidupan sosial masyarakat: kesehatan, pendidikan, ekonomi, hukum dan politik, keagamaan dan semuanya. Upaya mewujudkan hak penyandang disabilitas dalam sektor ini tidak bisa dilakukan hanya oleh satu Majelis atau Lembaga, misalnya Majelis Pelayanan Sosial atau Majelis Pemberdayaan Masyarakat. Oleh karena pengarusutamaan (mainstreaming) isu difabilitas harus menjadi strategi yang dipilih. Singkatnya semua majelis perlu secara ekplisit menyasar isu disabilitas dalam semua program dan aktivitasnya.

Yang diperlukan adalah penguatan dan pemetaaan siapa melakukan apa sehingga terjadi sinergitas program dan layanan untuk memastikan tersedianya pelayanan yang integratif, tidak tumpang tindih (overlapping) atau berjalan sendiri-sendiri. Ini menjadi penting mengingat adanya kecenderungan ego sektoral (ego Majelis) yang kadang terjadi di tubuh Muhammadiyah. Sebagai ilustrasi, table dibawah ini sedikit menggambarkan program yang sudah dan yang perlu serta bisa dikembangkan di tiap tiap Majelis.

Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah menjalankan program Implemetasi Pendidikan Inklusif berupa Penyiapan Buku Panduan, Training Guru, dan Penyiapan Sarana Prasarana. Majelis Pelayanan Sosial menjalankan program Inklusifitas Panti (LKSA Inklusif dan Panti Lansia Inklusif), Pembangunan Pelayanan Penyandang Disabilitas Berbasis Masyarakat (Pengembangan Pelayanan Luar Panti dengan menyasar keluarga difabel, Home care dan Day Care P, dan Rehabilitasi berbasis MAsyarakat), Sosialisasi dan Advokasi Kebijakan Pemerintah terkait Disabilitas (Sosialisasi dan review UU dan peraturan lain  terkait disabilitas dan Aksesibilitas Bantuan Sosial kepada Penyandang Disabilitas).

Majelis Pembinaan Kesehatan Umum menjalankan program Aksesibilitas Layanan Kesehatan di Rumah Sakit dan Institusi Kesehatan Muhammadiyah dan Aisyiyah (Aksesibilitas fisik bangunan, Peningkatan kapasitas praktisi kesehatan ( dokter, bidan, perawat dan lainnya ) tentang isu disabilitas, Memasukkan isu disabilitas dalam kurikulum pendidikan dokter , perawat dan bidan, dan Pendirian unit tumbuh kembang) serta Kesehatan Reproduksi untuk penyandang Disabilitas.

Majelis Hukum dan HAM bisa menjalankan program Bantuan Hukum  dan Advokasi pada Penyandang  disabilitas yang berurusan dengan hukum  dan Aksesibilitas Hukum dan Pengadilan bagi Difabel. Majelis Tabligh menjalankan program Edukasi kepada masyarakat tentang disabilitas melalui berbagai forum pengajian dan kajian keagamaan dan Menyiapkan Panduan untuk aksesibilitas fisik Masjid dan aksesibilitas Kegiataan Keagamaan  (penerjemah Bahasa Isyarat pada khutbah Jumat dan Hari Raya, Pengajian yang aksesibel dll).

Majelis Pendidikan Kader Merekrut kader Difabel dan dapa menjalankan Edukasi difabilitas untuk kader (disability sensitivity training). Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan bersama Majelis Pemberdayaan Masyarakat dapat melaksanakan Pemberdayaan Ekonomi Difabel berupa Pelatihan Skill Kerja dan Enterprenership, Pendampingan Modal, dan Pendampingan Pemasaran  termasuk penyediaan pasar bagi produk kerja difabel.

 Ro’fah, PhD, Tim Penyusun Fiqh DIfabel MTT, Pusat Studi dan Layanan Difabel, UIN Sunan Kalijaga

Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2021

Exit mobile version