Negeri Sawit Tak Berminyak
Oleh: Deni Asyari
Akhir-akhir ini kebutuhan minyak goreng menjadi pusat perhatian masyarakat. Karena sejak Oktober 2021 hingga saat ini, harga minyak goreng terus merangkak naik. Biasanya dipasaran harga minyak goreng kemasan 1 liter 11.000- 13.000, kini rata-rata harga di pasaran mencapai 20.000/liter bahkan hingga 26.000/liter.
Pemerintah melalui menteri perdagangan Muhammad Lutfi telah mengeluarkan kebijakan untuk mensubsidi selisih harga minyak untuk 250 juta liter perbulan atau 1,5 milyar liter untuk 6 bulan ke depan dengan nilai 7,6 Triliun. Sehingga per tanggal 19 Januari 2022 kemarin, pemerintah menetapkan 1 harga minyak goreng untuk semua kemasan di pasaran dengan harga 14.000/liter.
Namun untuk harga 14.000 perliter ini hanya bisa diperoleh di jaringan ritel modern di bawah Aprindo seperti Indomart, Alfamart, Superindo, Hypermart, Alfamidi, Lotte mart, dll. Sementara di luar pasar retail, yakni warung kelontong dan pasar tradisional harga tetap mengikuti harga pasar, sekitar 20.000/liter. Karena harga minyak subsidi tersebut, berlaku kerjasama pemerintah dengan jaringan retail modern di bawah Aprindo.
Ironi Negeri Sawit
Naiknya harga minyak di dalam negeri tentu sangat ironi. Sebab selain Indonesia merupakan negeri penghasil minyak sawit terbesar di dunia setelah Malaysia, dan juga jutaan hektar lahan yang dikelola oleh perusahaan sawit merupakan lahan milik pemerintah (HGU), yang mestinya bisa dikontrol harga jual produsen ke pasar domestik.
Dengan dalih harga CPO ( crude palm oil ) dunia melonjak, perusahan-perusahan minyak sawit dalam negeri menaikan harga pasaran minyak goreng dalam negeri dengan angka yang sangat fantastis mencapai 20.000 – 26.000/liter. Padahal harga rata-rata sebelum kenaikan kisaran 11.000 – 13.000/liter.
Tidak hanya itu, perusahan-perusahaan sawit di Indonesia yang dikuasai segelintir orang (3 perusahaan besar), menurut data KPPU, mereka adalah pemilik dan pengelola kebun sendiri. Artinya jika tidak dinaikan pun harga CPO dengan pasar domestik, itu tetap masih stabil dan untung. Karena kebun adalah milik mereka sendiri, dan pasarnya juga di dalam negeri.
Namun menurut dugaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), ada kecenderungan perusahan-perusahan besar ini mementingkan suplay ekspor karena harga CPO dunia yang relatif tinggi. Sehingga dampaknya, suplai minyak dalam negeri jadi berkurang, dan disini berlaku teori suplay and demand, dimana ketika stok barang lebih sedikit dibandingkan permintaan pasar, maka harga akan naik.
Jadi kenaikan harga minyak sawit dalam negeri belakangan ini, bisa jadi dugaan KPPU tentang adanya kartel atau “permainan”perusahan-perusahan minyak goreng di dalam negeri adalah benar, walau ini perlu ada kajian dan investigasi lebih lanjut.
Subsidi Pemerintah
Kebijakan pemerintah melakukan subsidi dengan nilai 7.6 Triliun untuk menstabilkan harga minyak dipasaran memang patut diapresiasi. Karena bisa menstabilkan harga minyak sawit dipasaran kembali.
Akan tetapi sebagaimana yang kita ketahui, bahwa subsidi yang dilakukan pemerintah hanya sampai 6 bulan ke depan dengan jumlah pasokan 1,5 Milyar liter. Artinya bahwa kebijakan tersebut memang tidak diperuntukkan jangka panjang, alias untuk jangka pendek. Apalagi, sebaran distribusi baru sebatas di jaringan pasar modern di bawah Aprindo.
Karena trend yang tampak dari dulu hingga saat ini, jika CPO Global mengalami kenaikan, suplay dalam negeri diduga akan berkurang. Karena memang secara profit akan jauh menguntungkan dengan melakukan ekspor keluar negeri, apalagi pajak ekspor yang semakin kecil.
Oleh karenanya, untuk kebijakan jangka panjang, ada baiknya pemerintah harus melakukan proteksi terhadap problem pasar, dengan regulasi-regulasi yang memprioritaskan kepentingan dalam negeri.
Selain ke depannya, dibutuhkan political will untuk mendorong tumbuhnya pelaku usaha baru disektor perkebunan dan perusahaan minyak sawit kelas menengah ke bawah. Karena melihat regulasi yang ada seperti Permentan no 21 tahun 2017 yang mewajibkan 20% bahan baku dari kebun sendiri, sangat sulit diwujudkan.
Maka jika regulasi ini dicabut, pemerintah dapat mendorong pelaku usaha-usaha lokal kecil dan menengah, untuk mengurangi dominasi perusahaan-perusahaan besar dalam sektor ini di pasar domestik.
Dan tentu, kondisi ini juga menjadi momen dan kesempatan bagi masyarakat misalnya organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan untuk bisa memaksimalkan potensi-potensi lahan untuk pengembangan perkebunan, selain merespon penawaran Presiden Jokowi yang akan membagi penggunaan lahan untuk ormas-ormas Islam.
Sehingga dengan ikhtiar ini, setidaknya kita berupaya untuk generasi anak cucu ke depan, kalau negeri ini tidak jatuh pada negeri yang dikenal sebagai negeri sawit, namun tak berminyak. Wallahu’alam bishawab