Gula Ku Tak Semanis Rasa Tebu
Oleh: Deni Asyari
Belum selesai dengan urusan harga komoditas minyak goreng, awal tahun 2022 ini, masyarakat juga dikejutkan dengan kelangkaan dan kenaikan harga gula yang cukup fantastis.
Sesuai data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis ( PIHPS ), per Minggu ketiga bulan Januari 2022, gula premium dibandrol seharga Rp. 15.500/kg. Sedangkan untuk gula pasir lokal dibandrol seharga Rp. 14.150/kg.
Harga ini jauh di atas harga pasar sebelumnya yang berkisar 10.800 – 11.500/kg. Dan juga berbeda dengan satuan harga nasional yang ditetapkan pemerintah sebesar 12.500/kg.
Kenaikan harga gula ini, sebenarnya sudah mulai dibayang-bayangi pada caturwulan ke III tahun 2021, dengan kelangkaan suplai gula dari beberapa pabrik. Bahkan produksi dan suplai gula lokal hasil petani, juga mulai tidak ada.
Anomali Harga Gula
Kenaikan harga gula di awal-awal tahun 2022, memang tampak membingungkan dan anomali. Sebab membandingkan stok gula nasional dengan tingkat kebutuhan masih mencukupi.
Sesuai data yang disampaikan PG Rajawali II, Dwi Purnomo Putranto, bahwa kebutuhan konsumsi gula per bulan, rata-rata 230 ribu ton. Sementara di awal tahun 2022, stok fisik masih tersedia sekitar 800 ribu ton.
Melihat data stok ini, mestinya kenaikan dan kelangkaan gula tidak mesti terjadi. Apalagi proses penggilingan gula biasanya dilakukan bulan Mei.
Walau memang, jelang penggilingan tebu, selalu dihantui kenaikan harga karena stok yang menipis. Namun itu biasanya terjadi pada 1 atau 2 bulan jelang masa penggilingan. Artinya jika masa penggilingan dilakukan pada bulan Mei, maka kelangkaan dan kenaikan harga gula terjadi pada bulan April.
Jika kondisi ini terus berlanjut hingga bulan Februari, maka bisa diprediksi harga gula akan terus merangkak naik. Apalagi bulan April sudah memasuki bulan Ramadhan. Dimana tingkat kebutuhan konsumsi gula semakin meningkat.
Oleh karenanya, kelangkaan dan naiknya harga gula pada awal bulan tahun 2022 ini, perlu disikapi serius. Sebab bisa jadi ada permainan distributor maupun PG untuk menahan peredaran gula di pasaran hingga jelang ramadhan.
Apalagi sampai hari ini rencana impor gula yang akan dilakukan pemerintah belum berjalan. Tentu kita khawatir jika impor dilakukan saat petani panen atau masa penggilingan tebu. Karena akan berdampak pula pada penghasilan petani.
Pemberdayaan di Hulu
Namun disamping soal stok yang masih tersedia, tantangan serius saat sekarang menurut kepala CIPs Felippa Amanta adalah, semakin menyempitnya perkebunan tebu nasional. Akibatnya, setiap tahun hasil produksi tebu juga berkurang. Pada tahun 2015 hasil produksi gula nasional mencapai 2,53 ton. Namun pada tahun 2019, produksi gula berkurang menjadi 2.23 Ton.
Walaupun Indonesia termasuk 10 negara di dunia penghasil tebu terbesar, akan tetapi, setiap tahun tingkat konsumsi gula dalam negeri selaku meningkat.
Maka hampir setiap tahun selalu terjadi selisih kekurangan kebutuhan gula nasional. Dan selama ini solusi yang tampak untuk mengisi kekurangan tersebut adalah, dengan melakukan impor gula dari beberapa negara.
Dalam kebijakan jangka pendek, tentu impor dianggap bagian solusi, namun untuk jangka panjang, kebijakan impor untuk mengisi kekurangan stok gula nasional tentu bukanlah jalan yang tepat.
Pemerintah mestinya juga memperkuat hulu dari produksi perkebunan tebu tersebut. Semangat pemerintah untuk membagi-bagi penggunaan lahan, mestinya juga diikuti dengan kebijakan pengelolaan untuk kebutuhan produk-produk straregis seperti gula dll.
Sebab, penyempitan lahan perkebunan tebu yang terus terjadi tiap tahun, lambat laun tidak menutup kemungkinan akan menggiring negeri ini, menjadi negara importir gula terbesar. Jika sudah demikian, tentu ke depan, gula di negeri ini, tidak lagi semanis tebu yang kita tanami.
Wallahu ‘alam bishawab