Tapak Sejarah Islam di Swiss

Swiss

Tapak Sejarah Islam di Swiss

Oleh: Azhar Rasyid

Di Eropa dan dunia, Swiss menempati suatu posisi yang khas. Negaranya tergolong sangat kecil bila dibandingkan dengan tetangga-tetangga dekatnya. Dengan luas kurang lebih 41.000 km persegi (kira-kira enam ribu km persegi lebih kecil dari Provinsi Jawa Timur) dan jumlah penduduk sekitar 8,5 juta jiwa, Swiss berbatasan dengan jiran yang raksasa, seperti Italia di selatan, Perancis di Barat, dan Jerman di utara. Sementara negara-negara besar itu punya pesisir, salah satu hal yang membantu kemajuan ekonomi mereka, Swiss sama sekali tidak memilikinya, dan dikenal sebagai negara yang landlocked (negara yang tidak punya laut). Walaupun beberapa fakta di atas mengindikasikan tentang minornya posisi Swiss, pada kenyataannya negara ini sangat maju. Negara yang beken karena Pegunungan Alpennya yang bersalju ini dikenal sebagai salah satu negara termaju di dunia, dengan masyarakat yang sejahtera dan sangat terdidik.

Satu hal lain yang juga menarik dari Swiss adalah komposisi penduduknya. Negara ini adalah negara dengan persentase penduduk imigran terbanyak di Eropa. Hampir seperempat dari total penduduknya adalah orang asing, terutama dari tetangga-tetangganya serta para pendatang dari benua lainnya. Sebagian besar penduduknya menganut agama Kristen, diikuti oleh mereka yang mengaku tidak beragama. Islam berada di posisi ketiga (atau kedua, bila mereka yang tidak beragama tidak dihitung), dengan 5 % (kurang lebih 400.000 jiwa) dari total penduduk. Ini adalah suatu fenomena menarik, mengingat menurut satu sensus di tahun 1970, umat Islam di Swiss hanya berjumlah 0,3 % (16.353 jiwa) dari total penduduk. Bagaimana awal mula masuknya Islam di Swiss dan bagaimana perkembangan kaum Muslim di sana?

Kehadiran Muslim, dalam hal ini dikenal sebagai Saracens oleh orang Eropa, di Swiss sebenarnya sudah tercatat sejak abad ke-9 dan 10. Sejumlah individu Muslim juga datang ke sana di abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Tapi baru di paroh kedua abad ke-20 ada perkembangan cepat Islam di sana.

Pada akhir 1960an, Swiss membutuhkan tenaga kerja untuk pembangunan fisiknya. Ini terpenuhi dengan datangnya para imigran dari negara-negara berpenduduk Muslim, seperti Turki, Yugoslavia dan Albania. Mulanya, hanya pekerja pria yang datang. Tujuan mereka semata-mata untuk bekerja, dan setelah mendapatkan uang, pulang ke negara masing-masing.

Namun, di tahun 1970an pemerintah Swiss memperbolehkan para pekerja tersebut membawa serta keluarganya ke Swiss. Program reuni keluarga ini membuat jumlah Muslim di Swiss meningkat dengan cepat dan menempatkan Muslim sebagai salah satu elemen baru di dalam masyarakat Swiss. Perhatian masyarakat Swiss juga mulai muncul. Mereka tidak lagi menganggap para imigran sebagai pekerja musiman, melainkan sebagai sebuah komunitas tersendiri dengan segala macam tradisi dan ekspresi keberagamaannya.

Pada tahun 1963, sebuah masjid didirikan di kota terbesar di Swiss, Zürich. Namun, muncul tantangan berikutnya. Masjid ini oleh sebagian kalangan dicurigai sebagai usaha untuk memuslimkan negara itu. Tapi, perlahan-lahan respon negatif itu berkurang dengan semakin terbukanya komunitas Islam di sana. Beberapa waktu kemudian, sebuah masjid lain didirikan di kota kedua terbesar di negara itu, Jenewa. Pendirian masjid itu merupakan respon terhadap kebutuhan umat Islam yang bekerja di Swiss, di lembaga-lembaga internasional yang mempunyai kantor pusat di sana, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Masjid itu dibangun dari sumbangan sejumlah negara Muslim, terutama Arab Saudi. Masjid ini terletak di distrik Petit-Saconnex.

Menurut catatan, sejauh ini ada empat bangunan yang secara khusus didirikan sebagai masjid, dan masing-masingnya dikelola oleh komunitas Muslim dari negara berbeda. Pada tahun 2005, kaum Muslim asal Albania mendirikan sebuah masjid di Wintehur. Empat tahun kemudian, komunitas Turki membangun sebuah masjid di Wangen. Untuk menampung jamaah yang semakin banyak, ada dua ratusan ruangan di bangunan tempat tinggal yang dikondisikan sebagai masjid kecil.

Ada faktor-faktor lain yang mendorong kenaikan jumlah imigran Muslim di Swiss. Ini terutama sekali berkaitan dengan terjadinya berbagai krisis di negara-negara berkembang yang berpenduduk Muslim, yang memaksa sebagian penduduknya mencari suaka atau perlindungan di Swiss. Di antara mereka adalah para imigran dari sejumlah negara Afrika, terutama Afrika Utara. Angka-angka statistik berikut memberi gambaran tentang perkembangan umat Islam di paroh kedua abad ke-20. Pada tahun 1980 terdapat lebih dari 56.000 Muslim. Sebelas tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi sekitar 135.000 jiwa. Pada tahun 2005, dari 7,4 juta penduduk Swiss, 330.000 di antaranya beragama Islam.

Muslim di Swiss berdomisili di kota-kota besar seperti Zürich, Jenewa, Bern dan Basel. Terjadi pengelompokan berdasarkan asal negara. Imigran Muslim dari Turki dan negara bekas Yugoslavia cenderung terkonsentrasi di wilayah utara Swiss yang menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa pengantarnya. Adapun imigran asal Afrika Utara, yang lebih familiar dengan bahasa Perancis, memilih tinggal di wilayah Swiss yang berbahasa Perancis, misalnya di Jenewa dan Vaud.

Belakangan ini, sejumlah tantangan harus dihadapi oleh umat Islam Swiss. Pada tahun 2009, ada larangan mendirikan menara masjid di Swiss. Mendapatkan daging yang halal juga tidak mudah mengingat ada aturan untuk melakukan anestesi terhadap hewan sebelum disembelih. Alternatifnya adalah dengan membeli daging yang dipotong sesuai anjuran Islam di negara lain. Kendati begitu, umat Islam Swiss terus menyuarakan agar makanan halal disediakan di tempat-tempat umum.

Dalam beberapa hal, suasana di Dunia Islam yang memburuk turut memunculkan sentimen negatif serta dampak lanjutan yang lebih buruk kepada umat Islam di Swiss. Dua contohnya adalah Revolusi Iran (1978-1979) dan Perang Sipil Aljazair (1991-2002), yang kemudian ditampilkan secara negatif di media-media Swiss. Stereotipe ini kemudian terbawa di dunia politik Swiss ketika para politisi mendiskreditkan kaum Muslim karena agama yang dianutnya dan karena berita negatif dari media. Islamofobia, dengan demikian, adalah tantangan yang harus dihadapi oleh Muslim Swiss, sebagaimana juga terjadi di negara-negara Eropa lainnya.

Per tahun 2017, data menunjukkan bahwa 12 % dari umat Islam Swiss telah menjadi warga negara Swiss. Mereka berasal dari etnik dan negara yang berbeda, dengan sebagian besar merupakan keturunan Balkan dan Turki. Namun, di beberapa wilayah di Swiss, proses umat Muslim untuk menjadi warga negara Swiss tidak selalu mudah. Islamofobia, salah satunya dengan mengaitkan masalah-masalah yang melibatkan sejumlah kecil umat Islam kepada seluruh komunitas umat Islam Swiss, telah membuat pengajuan kewarganegaraan Swiss oleh individu-individu Muslim, terutama keturunan Turki dan Albania, menjadi terhambat.

Namun, sebuah survei yang diadakan sebuah lembaga Jerman, Bertelsmann Foundation, pada tahun 2017 menunjukkan bahwa secara umum ada tren positif yang berkenaan dengan integrasi komunitas Muslim dengan masyarakat Swiss. Lembaga itu membandingkan keadaan Muslim di lima negara maju Eropa, yakni Swiss, Jerman, Perancis, Austria dan Inggris. Variabel yang diamati adalah kemampuan bahasa, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi sosial umat Islam di negara-negara tersebut.

Salah satu data menarik yang diperoleh adalah bahwa 98 % Muslim Swiss merasa punya ikatan dengan Swiss. Ini kemudian berdampak positif pada pekerjaan, karena Muslim Swiss bisa mendapatkan tempat yang cukup baik di bursa kerja di negara itu serta jauh dari diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan lantaran latar belakang agama dan etnisnya. Yang tak kalah pentingnya ialah bahwa baik umat Islam Swiss, maupun warga Swiss pada umumnya, bisa saling menerima kehadiran masing-masing sebagai tetangga. Ini merupakan modal baik dalam merekatkan hubungan antara kedua komunitas dan semakin menguatkan integrasi Muslim Swiss ke dalam masyarakat Swiss.

Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2020

Exit mobile version