Ingkari Janji, Israel Tetap Lanjutkan Pembangunan Pemukiman Ilegal

Israel Pemukiman

Ingkari Janji, Israel Tetap Lanjutkan Pembangunan Pemukiman Ilegal

Belum lama sejak dua Negara di Timur Tengah – Uni Emirat Arab dan Bahrain melakukan normalisasi hubungan dengan Israel dengan dalih mampu mendorong perdamaian Palestina, fakta yang muncul setelah momentum tersebut tidak mencerminkan apa yang diutarakan oleh ketiga pemimpin Negara tersebut. Rencana penundaan proyek pembangunan pemukiman illegal di West Bank oleh Israel nyatanya hanya bualan belaka.

Diketahui Israel melanjutkan untuk membangun 3000 lebih pemukiman di West Bank. Jumlah pembangunan pemukiman illegal oleh Israel pada 2020 dianggap menjadi yang paling fantastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perkembangan pemukiman illegal oleh Israel di Wesr Bank kurang lebih telah mencapai 50.000 pemukiman. Berbeda dengan pendahulunya, Presiden Amerika Donald Trump yang menjadi fasilitator dalam normalisasi hubungan antara Israel dengan UAE dan Bahrain tidak menganggap pemukiman tersebut sebagai sesuatu yang illegal.

Dalam pernyataan Menteri Luar Negeri UAE Abdullah Bin Zayed Al Nahyan terakait normalisasi hubungan tersebut menegaskan momentum tersebut mampu membuka prospek perdamaian dengan membawa Israel dan Palestina ke meja perundingan. Sedangkan Raja Bahrain Hamad bin Isa Al-Khalifa melalui Marc Schneier penasehat Raja Bahrain menekankan hal yang sama, bahwa momentum tersebut merupakan salah satu cara untuk mendorong solusi dua Negara dalam perdamaian di palestina.

Sebelumya, pemerintah Qatar telah menegaskan hal yang berbeda. Bahwa normalisasi hubungan Israel bukanlah jawaban untuk mendorong perdamaian di Palestina. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Qatar saat diwawancarai oleh Bloomberg. Dirinya secara lebih jauh mengatakan bahwa penyebab utama dari tidak tercapainya perdamaian di Palestina adalah kondisi kehidupan masyarakat setempat yang berada dalam pendudukan Israel yang semakin meluas dan brutal. Pemimpin Qatar Tamim bin Hamad Al Thani pasca normalisasi hubungan tersebut juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap respons dunia akan keberlanjutan pendudukan Israel dalam pidatonya di salah satu forum PBB. Menurutnya, komunitas Internasional dianggap tidak mampu merespons kebrutalan Israel salah satunya dalam pembangunan pemukiman illegal. Hal tersebut dianggap sebagai kegagalan Negara serta organisasi internasional dalam menentang pelanggaran yang dilakukan oleh Israel.

“Perdamaian hanya bisa dicapai apabila Israel berkomitmen sepenuhnya terhadap resolusi dan peraturan yang diterapkan oleh pihak internasional yang diterima oleh Negara-negara Arab yang menjadi landasan Arab Peace Initiative,” ungkapnya dikutip dari pernyataannya di PBB. Arab Peace Initiative merupakan rencana yang dirancang oleh Arab Saudi pada 2002 yang menegaskan bahwa normalisasi hubungan yang dilakukan dengan Israel harus dibayar dengan mengakhiri pendudukan di atas tanah palestina dan pendirian Negara palestina yang mengacu kepada batas-batas wilayah yang ditetapkan pada 1967 dengan Yerussalem Timur sebagai Ibu kotanya dan merancang solusi untuk pengungsi Palestina.

Keberlanjutan pembangunan pemukiman illegal oleh Israel di West Bank juga mendapat kecaman dari pemimpin negara-negara di Eropa. Dalam pernyataan bersama yang dilayangkan oleh Jerman, Perancis, Inggirs, Italia dan Spanyol, apa yang dilakukan Israel disebut sebagai pilihan yang kontraproduktif dengan upaya perdamaian di wilayah Timur Tengah. Dalam pernyataan tersebut, seluruh pihak mengecam Israel untuk menghentikan pembangunan pemukiman illegal di West Bank.

“Perluasan permukiman melanggar hukum internasional dan membahayakan kelangsungan solusi dua negara untuk mewujudkan perdamaian yang adil dan berkelanjutan bagi konflik Israel-Palestina. Seperti yang telah kami tekankan langsung dengan pemerintah Israel, langkah ini semakin merusak upaya untuk membangun kembali kepercayaan antara para pihak dengan tujuan untuk melanjutkan dialog.”

Di bawah Hukum Internasional pendudukan tersebut dinyatakan sebagai illegal dan dianggap oleh berbagai pihak sebagai penghalang utama dalam mewujudkan perdamaian di Palestina termasuk mengedepankan solusi dua negara.

Sebelumnya, 9 dari 12 staf United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) ahrus meninggalkan Israel dan wilayah Palestina karena penolakan Israel untuk memperbarui Visa mereka.  Pemutusan hubungan ini ditengarai karena penerbitan laporan OHCHR akan 100 perWest Busahaan yang bekerja dalam proyek pembangunan pemukiman Ilegal di West Bank. Meskipun demikian, Direktur salah satu lembaga HAM di Israel dan Palestina Omar Shakir mengatakan bahwa jelas-jelas bahwa memaksa kelompok pemantau hak asasi manusia untuk keluar dari teritori tersebut adalah bagian dari strategi untuk memberangus dokumentasi penindasan sistematis Israel terhadap Palestina. (Th)

Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2020

Exit mobile version