Menagih Janji Biden
Pada 8 November 2020 lalu, jalanan-jalanan di kota New York lebih semarak dari biasanya. Di beberapa pojok terlihat muda-mudi bersuka cita sembari menari diiringi dentuman musik accapela ‘Somebody to Love’ milik band legendaris Queen. Bukan hanya di New York, riuh kegembiraan juga tumpah ruah di sepanjang jalan di Pennsylvania, Philadelphia; Oakland, California; Downtown, Washington DC; New Orleans dan Chicago, Illinois, merayakan kemenangan Presiden Joseph Robinette Biden Jr atau yang akrab disapa Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Devi Harris.
Namun menit-menit penghitungan suara antara kubu petahana Donald Trump dan Joe Biden bisa dikatakan membuat banyak orang menahan napas beberapa detik setiap kali melihat jumlah perolehan suara terbaru. Jangankan di negara Paman Sam tersebut, di Indonesia contohnya, salah satu mahasiswa Magister di salah satu perguruan tinggi swasta bercerita dirinya turut merasakan kecemasan tersebut. Sahabatnya yang bermukim di Chicago, yang ayahnya merupakan imigran, turut harap-harap cemas apabila Trump kembali unggul di pemilu Amerika Serikat.
Pemilihan Umum AS kali ini disebut-sebut mampu menuai partisipasi pemilih terbanyak selama lebih dari 100 tahun terakhir. Perolehan suara terakhir menunjukkan hasil electoral vote 306 untuk Biden dan 232 untuk Trump serta 78,707,614 popular vote untuk Biden dan 73,125,996 untuk Trump. Salah satu laporan yang diterbitkan oleh Council of American-Islamic Relations (CAIR) menjelaskan bahwa 70 persen muslim di Amerika memberikan suaranya untuk Biden dan 17 persen untuk Trump. Bukan hanya komunitas Muslim, namun sebagian besar masyarakat Amerika mendambakan kemenangan Biden dalam pemilihan kali ini.
Bagaimana tidak, kepemimpinan Trump selama satu periode telah membuat Muslim dan kelompok minoritas lainnya resah karena sentiment-sentimen ‘anti muslim’ dan ‘anti white’ yang dilontarkannya bahkan jauh sebelum terpilih dalam pemilihan umum 2016. Tidak hanya itu, kebijakan-kebijakan kontroversial yang ‘memecah belah’ Amerika yang seharusnya menjadi sebuah melting pot bagi semua kalangan termasuk pendatang yang menginginkan harapan kehidupan yang lebih baik.
Bagi Muslim, salah satunya, kemenangan Biden dan Kamala menjadi angin segar dan membawa harapan baru. Guru Besar di Universitas of California Riverside Muhammad Ali, dalam video Webinar Cokro TV, juga mengatakan hal serupa. Biden dan Harris – yang seorang keturunan India juga Afrika, menunjukkan keragaman yang dipandang sebagai identitas Amerika. Di satu sisi, Muslim Amerika merasa lega dengan kemenangan ini, dan di sisi lain masih berharap-harap akankah Biden menepati janji-janjinya terkait masyarakat Muslim Amerika.
Dirinya menilai bahwa keragaman Muslim di Amerika membuat masih ada sejumlah Muslim yang memilih Trump. Hal tersebut tidak lain dikarenakan kedekatan pandangan konservatisme Trump dengan sejumlah kalangan Muslim seperti pandangan anti-aborsi juga LGBTQ. Sedangkan Demokrat sendiri dipandang terlalu liberal bagi sejumlah Muslim Amerika.
Sebelum terpilihnya menjadi presiden, Joe mengungkapkan sejumlah ‘janji’ kepada masyarakat Muslim di Amerika. Secara singkat Biden akan menghormati Islam sebagai salah satu agama yang besar yang ada di di dunia. Biden akan memperkuat keberagaman dengan melibatkan Muslim dalam setiap level pemerintahannya sebagai representasi. Biden juga akan menanggapi secara serius berbagai kasus kebencian berbasis agama yang beredar, juga menjanjikan untuk menyudahi kebijakan ‘Muslim Ban’ di hari pertamanya sebagai presiden, yang sebelumnya diterapkan oleh pemerintahan Trump.
Dalam satu kesempatan yang digelar oleh Muslim Advocates, Biden berencana untuk mengakhiri Muslim Ban melalui executive action ketika dirinya telah resmi menempati Gedung Putih. Direktur Eksekutif Muslim Advocates Farhana Khera dilansir dari laman muslimadvocates.org mengatakan bahwa,” Di hari Joe Biden menepati janjinya untuk mengakhiri Larangan Muslim, dia akan mengakhiri era kebencian dan patah hati bagi Muslim. Selama hampir empat tahun, Muslim Ban telah memisahkan puluhan ribu keluarga, melarang dokter yang tak terhitung jumlahnya untuk bertugas di AS dan menjadikan fanatisme anti-Muslim sebagai prinsip inti kebijakan imigrasi negara kita.”
Oleh karenanya, hal yang harus dilakukan oleh Biden adalah memenuhi janjinya untuk mengakhiri Muslim Ban, bahkan di hari pertamanya menjabat. Meskipun hal tersebut tidak akan mengurangi ancaman bahwa akan ada presiden-presiden lain setelahnya yang kembali memberlakukan kebijakan tersebut.
“Itulah mengapa Kongres harus mengesahkan UU Penghapusan Pelarangan dan memastikan bahwa tidak ada presiden lagi yang dapat memberlakukan larangan diskriminasi agama atau kewarganegaraan,” lanjutnya.
Shamsi Ali, seorang Imam juga Presiden Nusantara Foundation yang kini menetap di kota New York mengharapkan bahwa Biden akan menyudahi Muslim Ban saja namun juga membuka peluang perdamaian di Timur Tengah. “Harapan yang tidak saja bahwa Biden akan meniadakan “Muslims Ban”. Tapi juga harapan besar bahwa Biden juga akan meniadakan “Muslims Bom”. Dengan kata lain, harapan kami warga Muslim Amerika kepada Biden akan ada perubahan dan perbaikan secara domestik dengan menghapus Muslim Ban. Tapi juga harus ada perubahan kebijakan Amerika di Dunia Islam. Salah satunya hentikan “membom Umat Islam” (Muslims Bom).” (Th)
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2020