Beragama Tampak Punggung
Bila kita melihat salah satu serial lukisan terbaru (2020) karya Jumaldi Alfi (Yogyakarta), yang diberi judul “Digital Spiritualism”, maka kita agaknya tak bisa menahan godaan untuk tidak menghubungkannya dengan kondisi sosial dalam kehidupan beragama saat ini di media sosial. Tapi, godaan untuk menghubungkan seperti itu tidak berarti bahwa serial lukisan ini hanyalah semacam “pamflet” belaka, yang katakanlah hanya mengedepankan pesan yang terang-benderang saja. Alih-alih, godaan itu muncul justru setelah kita mencoba menyelinap ke lapisan-lapisan strategi visual yang ditempuh pelukisnya dalam bertarik-ulur dengan tema spiritualitas dan dunia digital.
Bagi handaitolan yang familiar dengan kehidupan dalam surau di Minangkabau atau pesantren di Jawa, pasti tidak akan merasa asing dengan penampakan umum dari serial lukisan ini. Pada penglihatan awal-mula, kita bakal menemukan pemandangan lembaran-lembaran kitab tua berwarna krem dengan aksara Arab berwarna hitam dan merah, sebagian ditulis dalam arah vertikal dan sebagian lagi horisontal. Kemudian, bila kita terus saksikan, akan tampak bahwa semua lembaran kitab itu dicetak/tempel ulang pada kertas karton putih dan kemudian ditempel rapi pada sebuah kanvas menggunakan selotip.
Salah satu ciri khas karya Alfi dalam menghadirkan objek-objek, semenjak beberapa serial lukisan terdahulunya, adalah adanya kelenturan antara yang asli dan yang tampak-asli, yang manual dan yang imitasi-manual, yang spontanitas apa adanya dan yang spontanitas tiruan, dan sebagainya. Karakteristik seperti itu masih dapat kita temukan dengan baik dalam serial “Digital Spiritualism” ini dan dari hal itulah kita mendapatkan semacam jalan masuk pertama untuk memahami apa yang disebut pelukisnya sebagai spiritualisme digital.
Lembaran-lembaran kitab yang dicetak/tempel ulang dalam medium kertas karton dan kemudian ditempel di kanvas menggunakan selotip itu bukanlah objek asli, melainkan hanyalah pemandangan seakan-akan saja. Kitab itu hanyalah seakan-akan kitab asli yang seakan-akan dicetak/tempel ulang di seakan-akan kertas karton putih dan juga seakan-akan ditempelkan dengan seakan-akan selotip. Nyatanya, semua elemen visual itu (kitab, kertas putih, selotip) diciptakan pelukisnya dalam mekanisme yang sama: dari adukan cat, menggunakan tangan, ke permukaan kanvas. Bukan dengan melibatkan piranti emblem.
Strategi Alfi dalam mengajak kita untuk bertarik-ulur di antara yang asli dan tampak-asli tersebut tentu sahut-bersahut dengan karakter dunia digital itu sendiri, khususnya dalam arena penghadiran diri di media sosial. Semenjak kemunculannya sebagai salah satu teknologi utama dalam ranah komunikasi dan konsumsi, dunia digital telah memproduksi berbagai kritik atas dirinya sendiri beserta perilaku manusia di dalamnya. Pemujaan atas artifisialitas, perayaan atas banalitas, dan penghambaan atas keakuan, yang mana semua itu dirayakan secara terang-terangan, merupakan beberapa tema yang terus beranak-pinak dan semakin berjalin kelindan dalam wacana digital. Tak dapat disangkal, sampai saat ini, dengan suatu dan lain cara, semua tema itu masih hadir nyata di sekitar kita dengan begitu riuh-bising, dalam lalu-lintas yang padat, sela-menyela, seakan-akan tak ada lagi ruang untuk sejenak bersitenang, bersilambat, dan bersitahan dalam keheningan.
Namun begitu, serial lukisan Alfi ini bukanlah semacam ikhtiar untuk memperpanjang ataupun melipatgandakan keriuhan-kebisingan seperti itu ke permukaan kanvas. Sebaliknya, Alfi menghadirkan karakteristik artifisial dan imitatif itu justru dengan sapuan kuas yang sangat rapi, detail, dan terukur. Dengan cara seperti itu, pelukisnya jelas-jelas tidak sedang melakukan perayaan atas artifisialitas dengan cara mengekspos keartifisialan itu sejadi-jadi dan sevulgar-vulgarnya (katakanlah semacam ikhtiar lama untuk memposisikan segala yang sebelumnya dianggap “tidak seni” ke posisi yang secara setara dapat sama-sama disebut “seni”). Melainkan, ia mengajak kita untuk menemukan pengalaman yang berbeda, yakni dengan menunjukkan bahwa suatu keartifisialan tidak hanya bisa hadir bersamaan dengan kebanalan, tetapi juga bersemayam dalam kehalusan. Tema inilah yang menjadi usungan utama dari serial ini.
Betapa sukarnya membedakan mana penceramah agama yang “asli” dan penceramah yang “tampak-asli”. Ini adalah keriuhan yang acapkali kita dengar dalam arena dakwah di media sosial saat ini. Yang dimaksud dengan perbedaan antara penceramah “asli” dan penceramah “tampak-asli” bukanlah semacam perbedaan antara mana manusia dan mana patung lilin, misalnya. Melainkan, perbedaan antara penceramah yang sudah dapat disebut layak, terukur, dan patut untuk berceramah dan penceramah yang masih perlu terlebih dahulu lebih mendalami ilmu agama. Di media sosial, yang sebenarnya “asli” memang tak jarang dianggap “tampak-asli” (begitu juga sebaliknya) dan barulah beberapa waktu kemudian, setelah sekian banyak kekacauan terjadi, perbedaan dan posisi jelas masing-masingnya pelan-pelan dapat terbaca. Tapi, fasilitas untuk menampilkan diri dan berkomunikasi di media sosial justru lebih sering membuat perbedaan krusial keduanya menjadi kabur.
Jumaldi Alfi terlihat sangat sadar sekali dengan perkara “menampilkan diri” dalam beragama di media sosial kita. Oleh sebab itulah, bersamaan dengan tampilan lembaran kitab tua pada kanvasnya itu, ia hadirkan juga suatu sosok manusia (dengan cara yang berbeda-beda) di tiap lukisan. Tapi, dalam memperkarakan sosok itu, Alfi secara khusus menghadirkan figur yang secara gamblang menunjukkan ke-artifisialan-nya sendiri. Salah satu modus kehadiran sosok manusia artifisial itu yakni melalui selembar foto yang juga tampak seakan-akan ditempelkan ke permukaan lembaran kitab itu.
Sosok tersebut tidak tampak dari depan, melainkan dari belakang. Manusia yang dihadirkan Alfi dalam serial lukisan ini memang hanya kita lihat sebagai “pemandangan punggung” saja. Tak ayal lagi, pilihan menarik yang ditempuh Alfi untuk menghadirkan sosok manusia dari penampakan belakang ini semakin mempertegaskan ikhtiarnya untuk bersoal dengan perkara “menampilkan diri” dalam beragama.
Dalam hal ini, Jumaldi Alfi menawarkan suatu ironisme yang ternyata melibatkan kita sebagai bagian darinya. Secara tersirat, ia menghadirkan sosok manusia yang menghadapkan muka ke kitab-kitab tua itu, tapi sekaligus secara gamblang di saat yang sama sosok itu hanya menghadapkan punggung kepada handaitolan yang ingin melihatnya. Sosok manusia-artifisial itu bermuka-muka dengan kitab-artifisial sembari membelakangi manusia yang asli—yaitu kita sebagai sang pemandang luksian demi lukisan tersebut.
Hal tersebut jelas-jelas memberikan kepada kita suatu tawaran makna atas apa yang dimaksud pelukisnya sebagai “Digital Spiritualism”. Praktik beragama ruang digital, seperti media sosial, menunjukkan bagaimana orang-orang “masuk ke tengah gelanggang citra” dengan fokus untuk menampilkan dirinya belaka di antara tatanan atribut agama. Serial lukisan itu mengingatkan kita, modus hubungan manusia dengan agama seperti itu hanya sebatas hubungan tempelan di atas tempelan. Dan dalam modus hubungan seperti itu pun, lagi-lagi ironisnya, manusia yang berusaha tampak bersenyawa dengan ayat-ayat itu hanya menyisakan punggungnya untuk kita.
Dengan demikian, pengalaman kita dalam memandang serial lukisan ini, yaitu pengalaman untuk membawa-serta suatu ketelitian dalam menilai yang asli dan yang tampak-asli, agaknya dapat juga menjadi suatu dorongan ketika kita berkecimpung dalam praktik beragama di media sosial, di mana kita mesti sama-sama teliti juga dengan apa yang tampak. Sebagaimana serial lukisan itu menampilkan elemen visual (kitab, kertas, selotip) yang tampak “meyakinkan” seperti asli, kehadiran kaum beragama di media sosial pun nyaris selalu tampak “meyakinkan”. Untuk itulah, lagi-lagi, seperti menikmati serial lukisan ini, kita pun perlu memandang dari dekat, bahkan dari dekat sekali, agar kita benar-benar tahu mana yang “asli” dan mana yang “tampak-asli”. Sebab, sebagaimana yang sering terjadi, sekalipun kita sudah terang-benderang menyaksikan bahwa banyak orang beragama dengan cara membelakangi orang lain, tapi hanya karena tampilannya tampak benar-benar asli maka kita pun sering terlanjur yakin bahwa apa yang tampak itu sungguh asli. Enak dilihat mata, dan juga enak didengar telinga saja, pada gilirannya, tidak pernah cukup. (Heru Joni Putra)